🥖 [15D] Drama Rumah Tangga

509 36 3
                                    

A.n:
Haiii, mina-sannn! I'm back!🌴
Gimana-gimana, ada yang nungguin? Ngarep banget ya aku?☺️ Ya, enggak apa-apa, kan, sesekali (bulshit 🌛).

Btw, jangan lupa vote dan komen, ya. Kalau bisa share cerita ini ke teman-teman kalian. 🌼 Dengan kalian melakukan itu, aku jadi senang kembali!☺️ Okidoky?

Segitu aja, deh. Makasih yaaaa. —with love, Rose.

Bab 15 Bagian D:
Drama Rumah Tangga

•••••••

Suasana kembali hening, baik Naomi dan Boas sama-sama diam, entah pikiran mereka membawa mereka berkelana mencari makna dari kebersamaan yang sedang mereka rasakan saat ini. Nyaman dan tentram, bagaikan berada dalam tumpukan awan kapas yang meneduhkan.

Terlintas di kepala Boas tentang sesuatu. Maka pria itu berseru dengan suara rendah dan hati-hati. “Kamu punya standard tentang pasangan? Misal umur?”

Entah kenapa, Boas sedikit terganggu dengan usia mereka yang cukup terpaut jauh. Ia penasaran, apakah Naomi memedulikan interval umur saat mencari pasangan atau sebaliknya.

“Hmm, ada, Mas.” Naomi menengok sebentar ke samping, menandingi Boas yang masih bersandar pada sandaran ranjang bersama tab kesayangannya.

Boas mengangguk pelan. “Sepeti apa kira-kira, kalau saya boleh tahu?”

Naomi tersenyum kecil. Entah kenapa, perkataan Boas akhir-akhir ini terlihat manis di telinganya, terkesan sopan, dan membuat hati Naomi bergetar. Seperti contoh, barusan Boas meminta izin bertanya dengan lembut, tanpa nada memaksa yang sangat jarang Naomi temui.

Merubah posisi tidurnya, Naomi kini berhadapan dengan Boas, menatap mata pria itu yang juga sedang melihatnya.

“Based on my problem di masa-masa pacaran yang lalu. I need a man yang punya kesamaan pikiran dengan aku atau mindset, hobi, value yang kita anut juga sama passion. Emosi juga, sih. It's hard because aku harus cari yang balance. Enggak masalah dia mau introvert atau ekstrovert, jago masak atau enggak.” Naomi menarik napas sebentar, mencari-cari arti tatapan Boas yang masih saja sama seperti awal, meneduhkan hatinya. “ Nilai-nilai aku untuk pria yang aku harapkan, sebisa mungkin, harus bisa bertanggung jawab sama dirinya sendiri, udah dewasa dalam pikiran alias bijaksana sehingga tahu harus berbuat apa demi masa depannya. Bisa diajak kerja sama. Kalau dia sudah bisa bertanggung jawab sama diri sendiri, dan bisa membedakan mana egois yang harus dipertahankan dan yang harus ditinggalkan, juga gengsinya dibuang.”

“Kamu enggak masalah sama umurnya?” tanya Boas, menarik satu alisnya ke atas.

Naomi menggeleng. “Sejuah ini, enggak ada si patokan aku soal umur. Asal kriteria di atas memenuhi.”

“Kaya sama miskin? Kamu mau pasangan yang kek gimana?” Kembali Boas memancing pertanyaan di kepala Naomi.

Entah mengapa, ada kesenangan tersendiri menyelami pemikiran Naomi. Jujur, Boas tidak menyangka jika perempuan itu akan sedalam ini mempertimbangkan pasangan hidupnya. Jika dilihat dari penampilannya, Naomi ini seperti tipikal perempuan yang kolot pada umumnya, tapi ternyata berbeda. Menarik sekali.

Terdengar tawa pelan dari Naomi sebagai reaksi awal setelah mendengar pertanyaan Boas. “Sebagai pasangan yang baik, aku berharap pasangan aku kaya. Naif banget kalau aku bilang miskin. Karena why? Rantai setan di dunia ini adalah kemiskinan!”

Boas mengangguk paham. Ia tidak sabar menunggu jawaban selanjutnya dari Naomi ketika memperbaiki ikatan rambutnya saat berbaring dan membiarkan Surai hitam itu tergerai bebas di atas bantal.

“Karena aku udah memilih pasangan yang kaya, harus aku lanjutin dong, ya, alasannya. Karena kalau dia udah stabil secara finansial, setidaknya salah satu beban terbesarnya udah bisa dikontrol. Enggak jarang orang-orang cerai karena ekonomi keluarga yang enggak stabil, dan setidaknya pasangan aku udah stabil secara finansial. Tentu bukan untuk memenuhi kebutuhan aku sebagai istrinya, walau iya memang itu salah satu tanggung jawabnya.

Tapi terlebih dari itu, aku mau dia aman dulu di situ, dan membuat keluarga kami aman. Kalau aku, ya, aku bakal cari kerja sendirilah. Aku enggak biasa nunggu diam aja di rumah, pulang-pulang suami kasih uang. Enggak bisa. Lagian emang sekarang perempuan enggak harus bergantung sama laki-laki sebagai sumber keuangannya, kan? Selagi ia bisa menghasilkan uang dan menjaga rumah tangga dengan baik. Why not? Lagian, kalau bisa sama-sama menghasilkan uang demi menjamin masa depan anak-anak, ya kenapa harus ragu? Kita kan enggak tau kedepannya dunia bakal gimana.”

Naomi menghela napas setelah menjelaskan panjang lebar tentang alasannya itu. Biasanya, ia jarang membahas tentang ini, bahkan dengan mantan-mantan perempuan itu sebelumnya.

Di sisi lain, Boas tersenyum lebar, menatap Naomi bangga. Ternyata Naomi memang berbeda. “Good. I wish you have one like that.”

Amen!”

Boas meletakkan Tab di atas meja. “Btw, saya mau kemping besok, kalau kamu enggak keberatan dan berkeinginan untuk ikut? Please join.”

“Huh? Mas tau darimana aku suka kemping?” Naomi bangun dari tidurnya saking terkejut dengan ajakan Boas.

“Hmm? Excused? Saya bahkan enggak tau. Kalau saya, memang sesempat mungkin saya pergi berkemah. Kalau enggak percaya, tanya mama di bawa.” Boas tersenyum geli melihat Naomi salah tingkah, apalagi rona merah di wajahnya.

Really?” Naomi berusaha untuk tidak menunjukkan salah tingkahnya.

Am i look like Fraud?” Boas mendengus pelan.

“Kalau gitu, besok antar aku balik ke rumah, ya Mas? Eh, enggak usah deh, aku Pake Gocar aja.” Naomi melambaikan tangan, bertanda bahwa ia tidak jadi meminta tolong kepada pria itu.

“Mau ngapain?”

“Ya mau ngambil peralatan kamping aku, Mas. I'm so excited!”

“Saya aja yang antar, kita sekalian jalan ke perkemahan.”

“Emang kapan perginya?”

“Besok.”

What?!” Naomi berdecak jengkel.

To be continued

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang