Bab Dua Puluh, Bagian A:
Semakin Asing"Ayah! Ayah!" Tasya berseru riang menyambut ayahnya yang sudah rapi dengan setelan kerja dari meja makan.
Tasya sendiri masih menggunakan piyama berwarna biru dengan corak warna biru. Sementara itu, Naomi yang sedang membantu Bibi membawa makanan dari dapur ke meja makan pun, tidak berinisiatif untuk melirik Boas yang semakin mendekat. Sejak beberapa hari lalu, hubungannya dengan Boas benar-benar bisa dikatakan asing.
Tidak ada tatapan hangat pria itu di saat malam hari, tidak ada senyumannya yang kadang membuat Naomi seperti disengat ribuan aliran listrik. Tidak ada lagi pria yang selalu mengingatkan Naomi untuk tidak lupa memakai insulin-nya, atau membantu Naomi. Tidak ada lagi deeptalk yang biasanya mereka ceritakan di saat menjelang tidur.
Ah, mereka kembali seperti semula. Ya. Naomi mengigit bibir bawahnya, dan bergegas kembali ke dapur untuk mengambil gelas air. Tepat saat itu, Boas juga sampai di meja makan. Mereka hanya saling bertatapan sesaat, sebelum Naomi memutuskan untuk berjalan cepat ke dapur.
"Papa?" Panggil Tasya seraya menengok ke belakang, mengikuti arah perginya Naomi. "Mama sakit, ya?" Lanjut anak itu polos.
Sepertinya, seisi rumah juga menyadari perang dingin yang dilakukan Naomi dan Boas. Bagaimana tidak? Jika mereka yang dulunya terlihat sangat serasi berdua, saling tertawa, dan tersenyum saat berpapasan seperti orang kasmaran, kini berubah 180 derajat menjadi seperti orang tak saling mengenal.
Boas duduk di samping Tasya sembari mengacak rambut anak itu. "Nenek sama kakek belum turun, ya?" Boas sama sekali tidak menjawab pertanyaan Tasya.
Tasya mengangguk. "Katanya Nenek masih mau tidur dulu sama kakek, jadi kita sarapannya duluan."
Aneh. Tidak biasanya kakek dan nenek Anastasya seperti ini. Tapi, mungkin saja, orang tua memang butuh waktu bersantai bersama sambil mengenang masa-masa Muda mereka bukan? Boas kembali sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan dari grup rumah sakit. Dan sepertinya, mulai Minggu depan, Boas akan membuka tempat praktek di sekitaran Senopati bersama salah satu teman semasa SMA-nya yang kini baru pindah dari Surabaya dan ingin membuka Apotek di sana.
Sebisa mungkin, Boas akan menyibukkan diri dengan pekerjaannya sehingga masalah yang sedang dihadapi pria itu tidak berlanjut lebih lama. Boas akan melakukan apapun untuk menenggelamkan dirinya pada kesibukan. Terbukti, selama beberapa hari ini ia selalu pulang di atas jam 10 malam. Kadang jika jam kerja malamnya ada, ia selalu berada di RS tanpa berminat pulang. Seperti saat ini, ia akan melakukan hal itu lagi.
"Papa?!" Tasya berseru lebih kencang.
Boas meletakkan ponsel di atas meja. Lalu kini berfokus pada sang anak. "Ya, sayang?"
"Mama sakit, ya?" ulang si anak, masih kukuh ingin mengetahui keadaan wanita yang disayanginya itu.
"Kenapa enggak tanya langsung ke mama?" tanya Boas balik. Sejujurnya, ia tidak tahu, dan sedang berusaha mematikan rasa penasarannya kepada Naomi. Itulah mengapa ia mengabaikan pertanyaan Tasya tadi. Namun, jika seperti ini terus, dan juga omong kosong bila Boas bisa dengan mudah mengabaikan keadaan Naomi begitu saja.
"Kemarin mama pingsan, Pa!" bertahu Tasya, yang menyumbangkan banyak kerutan di kening Boas. Rentetan pertanyaan muncul di kepala Boas. Ada apa dengan perempuan itu sampai bisa pingsan? Ck.
"Mama juga kayak sakit gitu, Pa. Enggak bersemangat seperti biasanya. Mama sakit, ya?"
Boas hanya diam, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Perlahan kepalanya menoleh ke dapur, di sana Naomi masih sibuk dengan bibi untuk membuat bekal dan juga entah apa lagi. Yang jelas, semua hal yang dilakukan Naomi sekarang adalah upaya dalam menghindari pertemuan di antara mereka sesering mungkin.
"Kata Nenek, mama lagi hamil, Pa!" sahut Tasya blak-blakan.
"Huh?" Hamil? Sejak kapan berciuman dapat membuahi sel telur perempuan? Memangnya Salivanya dan Naomi ada sel telur dan sperma?
Boas diam untuk beberapas esaat, kemudian ia menghela napas sebelum menjelaskan secara sederhana kepada Tasya. "Tasya tau hamil itu apa?"
"Sakit kan, pah?" Jawab Tasya polos, sesekali ia menggaruk kepalanya.
Boas tersenyum lembut. "Hamil itu, artinya sebentar lagi Tasya mau punya adik. Nanti adiknya ada di perut mama dulu, sampai adiknya udah kuat, baru deh keluar dari perut mama."
Seketika mata Tasya berbinar cerah. "Horeee!! Mama hamil, kan, Pa?! Tasya mau punya adik, kan?!"
"Sssttt. Mama enggak hamil sayang." dan enggak akan pernah hamil. Boas tersenyum perih.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...