Bab Dua Belas, Bagian A:
Officely Married!•••••
Tibalah hari dimana Naomi dan Boas mengikat janji suci di hadapan altar. Semua berjalan seperti hari pernikahan pada umumnya. Pemberkatan di gereja pada hari Sabtu, yang dihadiri keluarga dan kenalan dari pihak Boas dan Naomi.Banyak ucapan selamat yang diberikan oleh para tamu hadirin. Ada yang tidak percaya atas pernikahan mereka, ada juga yang turut berbahagia. Intinya, perasaan Naomi dan Boas tidak bisa dideskripsikan. Semuanya begitu cepat dan penuh kebahagiaan. Jujur saja, Naomi dan Boas sama-sama lupa tentang alasan mereka menikah. Ada kesedihan, kebahagiaan, kelucuan, keraguan, dan perasaan aneh lainnya tentang apakah keputusan mereka untuk menikah adalah pilihan yang terbaik? Mengingat pernikahan adalah komitmen seumur hidup dalam agama, bukan sebuah permainan yang diikrarkan di hadapan Tuhan, Pendeta dan jemaat sebagai saksi.
Setelah serangkaian acara pemberkatan dan resepsi di hari yang sama usai. Naomi dan Boas bergegas ke kamar hotel yang sudah dipesan khusus untuk mereka setelah acara di ballroom selesai.
Sekujur tubuh Naomi sakit dan pegal. Kepalanya juga pening, yang ia inginkan sekarang adalah merendamkan diri di dalam air hangat bersama aroma terapi yang menenangkan, lalu berbaring di atas ranjang dan larut dalam dunia mimpi.
“Jadinya ini harus banget, ya, Om tidur bareng?” tanya Naomi setibanya mereka di kamar hotel.
Perempuan itu membuka heels putih yang membuat kakinya menangis kesakitan dan pegal. Ia lalu duduk di meja rias, membuka hiasan di wajah dan kepala perlahan-lahan. Sebisa mungkin ia membuat dirinya sibuk dan meredamkan kegugupan dan pikiran nyeleneh di kepalanya.
“You and I Officely Married right now, we should trying like Husband and wife, Naomi. Malah aneh kalau enggak sekamar.” Boas membuka kancing teratasnya dan menyematkan jas putih pada hanger kayu yang berada di dalam lemari hotel, lalu menarik lengan baju putihnya hingga sesiku.
Melihat itu dari kaca rias di hadapannya, Naomi tidak kuat menahan decakan lidah karena kesal. Entah kesal karena apa.
“Kenapa enggak tinggal di rumah om aja, sih?” Naomi kembali bersuara.
Boas duduk di ranjang, sambil membalas tatapan Naomi dari cermin. “Orang tua saya udah tua, enggak bisa saya tinggalin gitu aja. Selain itu, kalau saya lebih banyak di rumah sakit, kasian Tasya sendirian nanti kalau di rumah saya.”
“Sekarang, kan, gue udah ada Om, balik aja ke rumah om.” Demi apapun. Setelah mengetahui mereka akan tinggal di rumah orang tua Boas dan berbagi kamar yang sama, pikiran Naomi berkecamuk. Naomi tidak mau, titik.
“Kamu sanggup sama anak kecil? Tasya kadang aktif banget. Kita di sini beberapa bulan aja, setelah kamu udah terbiasa sama anak kecil, kita pindah, okay?” Boas mencoba bernegosiasi.
“Bener juga, sih, oke, deh, Om.” Naomi belum berpengalaman dengan anak kecil. Selama ini pun, ia tidak begitu dekat dengan batita di sekitarnya. Apalagi, melihat banyak cuwitan-cuwitan keresahan ibu rumah tangga yang harus mengurus anak dan rumah saja sudah cukup membuat Naomi sakit kepala sebelah.
Eh, tapikan, Naomi dan Boas tidak benar-benar menikah dalam arti sesungguhnya? Namun, mau bagaimana lagi, jika ia sudah menikah dengan Boas dan demi meyakinkan kedua bela pihak keluarga, ia harus terjun dalam segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga.
“Tidur di tempat tidur,” seru Boas. “Saya di sofa aja.”
“Makasih Om.”
Tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang dari luar. Naomi yang hendak berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri pun mengurungkan niat. Boas yang berada di dekat pintu kemudian berjalan dan membuka benda tersebut. Tampaklah wajah berseri-seri nan tanpa dosa bersama sebuah bungkusan plastik kertas yang diarahkan kepada Boas.
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...