Bab Sepuluh, Bagian B:
Panti Asuhan•••••
“Boas itu baik banget, Nak. Jangan sakiti dan sia-siakan orang sebaik dia.” Tiba-tiba Bu Mina berucap demikian.
Naomi yang ikut memandang kepergian Boas pun kembali memusatkan perhatian kepada wanita berjilbab merah tersebut dengan senyum canggung.
“Dulu, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, ada anak panti yang sakit parah dan dilarikan ke rumah sakit. Kebetulan yang jaga itu Nak Boas, waktu itu masih jadi residen bedah ya, kalau enggak salah. Waktu itu juga panti lagi krisis banget, pokoknya mau dibubarkan karena enggak ada donatur, dan hari-hari semakin berat. Lalu, Nak Boas ini entah dari mana datangnya, sepertinya dia malaikat yang Tuhan kirimkan kepada kami, orang panti, ia membantu membayar biaya rumah sakit salah satu anak panti kami, dan saat itu saya sempat curhat ke nak Boas, pokoknya waktu itu saya yang penting cerita aja, gitu, mau berbagi keluh kesah, dan sama sekali enggak berharap apa-apa dari nak Boas, karena dia sudah banyak membantu kan. Ealah, nak Boas menawarkan diri sebagai Donatur. Ya, Tuhan. Semoga hal baik selalu menyertai dirinya.” Cerita Bu Mina dengan mata berkaca-kaca.
Naomi ikut tersentuh mendengar cerita Bu Mina tentang Boas. Siapapun pasti akan tersentuh, apalagi yang pernah merasakan putus asa dalam hidupnya yang berkaitan dengan finansial, apalagi mengenai kehidupan anak-anak yatim piatu. Menatap punggung lebar pria itu, yang gagah, dan tampan, harus diakui itu. Namun terlintas di kepala Naomi, mengapa pria setampan dan sebaik hati Boas tidak memiliki kekasih sehingga harus berakhir dengan perjanjian konyol dengannya. Pasti, sangat pasti, banyak wanita di luar sana yang mengantri untuk menjalin hubungan dengannya.
Selain itu, dimana istri Boas? Apa mereka bercerai? Atau? Boas tidak mengungkit masa lalunya, dan Naomi pun tidak berani bertanya, ia malu dan tidak punya hak bertanya tentang privasi Boas. Lagi pula, jika pria itu ingin bercerita, ia akan memberitahukan kepada Naomi semuanya. Ya, tapi, kembali lagi, di sini Naomi bukan siapa-siapa bagi Boas, selain perjanjian mereka, kan?
Tiba-tiba Boas berlari ke arah Naomi dan Bu Mina setelah mengangkat telepon. Sepertinya ada keadaan penting sekali sampai-sampai ia berwajah sedikit panik ketika berbicara saat menerima panggilan tadi.
“Bu, saya izin harus pergi duluan, ya. Anak yang darurat di rumah sakit.” Boas menghela napas berat setelahnya. Ia kemudian menolah ke samping, menatap Naomi yang paham betul dengan maksud Boas, sebagai mantan pacar dari seorang dokter, kalimat itu terasa sudah biasa di telinganya.
Bu Mina pun ikut panik. “Enggak papa, Nak. Ayo, ke rumah sakit segera, pasien kamu lebih penting.”
“Naomi, ayo, ikut saya?” suruh Boas seraya menarik tangan Naomi menuju ke arah mobil.
Di depan mobil, Naomi melepaskan tangannya yang digenggam Boas. “Gue bisa pulang sendiri. CITO, kan, Om?”
Boas berdecak kesal sambil menarik rambut kasar. “Enggak papa?”
“Masih ada hari lain, kok, buat anterin gue. Kalem, Om.” Naomi berusaha mencarikan suasana, agar perasaan bersalah Boas sedikit berkurang.
“Udah sana, Om. Pasien anda itu prioritas.”
“Hati-hati, ya. Sekali lagi maaf.” Sorot mata Boas memancarkan keengganan untuk membiarkan Naomi sendiri.
“Udah sana, ah!” Usir Naomi, kemudian berjalan meninggalkan Boas. Jika tidak, entah kapan ia mulai menyalakan mesin dan pergi.
Satu kesimpulan yang Naomi tarik, bahwa menjadi pasangan seorang dokter, entah itu istri atau pacar, maka siapapun pasangan-pasangan dokter harus paham dan mengerti bahwa mereka harus bersiap-siap untuk ditinggalkan dalam keadaan tertentu, bahkan dalam momen paling menyenangkan sekali pun. Its okay, Naomi paham, dan mengerti.
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...