🍇 [7B] Go to Museum

556 34 5
                                    

Bab 7, Bagian B:
Go to Museum

Bab 7, Bagian B:Go to Museum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••

Boas mengerutkan kening ketika punggung seorang gadis berambut hitam legam, yang sedikit berombak berjalan tidak jauh dari hadapannya. Perempuan yang tidak asing lagi untuk Boas akhir-akhir ini.

Sudut bibir pria itu terangkat, tampak tersenyum penuh arti. Tanpa dipungkiri, ia senang berpapasan dengan perempuan itu. Melebarkan langkah untuk mendekat si pemilik jaket mantel hitam itu, Boas pun kini berjalan di sampingnya.

Sengaja Boas tidak bersuara, dan hanya mengikuti langkah perempuan itu, yang sudah jelas searah dengannya. Hingga beberapa menit kemudian, perempuan yang entah tengah memikirkan apa, hingga raut wajahnya sangat serius itu menoleh ke samping dan melebarkan mata, disusul dengan langkah yang tertahan.

“Huh? Om, ngikutin gue?”

No, but not totally right. Maybe, ya, 25 persen bener.” Boas tidak salah, kan? Sejak awal ia memang mau ke Museum. Pria itu menyukai museum. Jadi, berada di sini merupakan salah satu agenda yang pria itu lakukan sesempat mungkin sebelum kembali ke Indonesia dan bergulat dengan pisau bedah.

“Jalan sendiri sana, Om!” usir Naomi, mendelik tidak suka ke arahnya. Entahlah, sifat kanak-kanak Naomi saat ini tengah meronta-ronta keluar, membuat ia sama sekali tidak terlihat bertingkah sesuai looks yang ditampilkan.

“Udah dari awal saya sendirian, kok. As it happens, mungkin tempat yang kita tuju sama.” Boas menjelaskan, berharap perempuan itu paham.

“Om suka museum?” Naomi bertanya sambil terus berjalan.

Boas ingin sekali mengacak rambut Naomi saat itu juga, mendengar nada bicara Naomi yang sebelas dua belas seperti Tasya, agaknya menyumbangkan banyak rasa gemas pada Boas.

“Hmm, kinda.” Ada sorot kesedihan di mata Boas.

“Om artist??” Sudah jelas Naomi asal sebut, terlihat dari sorot mata yang sama sekali tidak tertarik membahas tentang pria itu.

“In reality, sangat disayangkan, I'm not the one of lucky guy.” Boas mengembangkan bibir, lalu membuang napas panjang.

“Hmm.” Naomi mengangguk tanpa menoleh lagi ke arah pria itu dan berseru. “Enggak papa, Om sekarang kan udah punya banyak uang, bisa belajar hal-hal yang belum sempat om lakuin sejak dulu. Umur bukanlah penghalang, kata orang sih, gitu.”

Entah karena Naomi yang terlalu peka dengannya atau dirinya yang tiba-tiba terbuka dihadapan perempuan patah hati tersebut.

“Kamu bisa menyumpahi saya nanti. But, saya percaya bahwa beberapa orang memang ditakdirkan sebagai individu yang gagal—sampai ia mati. Dimulai dari kelahiran yang tidak menguntungkan, katakanlah, di keluarga kaya raya di sebuah rumah mewah, bergelimang harta. Diikuti dengan genetik yang terbaik yang didapatkan dari orang tua sejak di kandungan hingga dewasa, semua keunggulan itu hanyalah investasi. Maksud saya, kamu tidak jarang melihat mereka yang memiliki harta melimpah hidup dengan bebas sejak lahir, kan? Banyak kegagalan yang mereka alami karena beban moral sebagai anak orang kaya, keluarga ningrat yang dituntut serba bisa di tengah-tengah kelelahan fisik dan batin. Kegagalan? Sudah pasti banyak dilalui.”

Sambil terus berjalan menuju museum yang semakin terlihat gagah di depan mereka, Boas tetap melanjutkan perkataannya.

“Saat lebih besar, daftar kegagalan yang mereka alami lebih banyak lagi. Mereka mampu mendapat prestasi akademik, namun dijadikan sebagai piala hidup yang dielu-elukan—memuakan sekali, mereka gagal dalam hubungan pertemanan dan percintaan—yang ini sudah jelas karena hidup mereka dijadikan sebagai boneka yang bisa dikendalikan oleh orang tua atas dasar nama keluarga, dan mereka bahkan tak berani bermimpi sebab tahu bahwa mereka akan gagal lagi. Gagal untuk meraih apa yang sebetulnya mereka inginkan.”

Naomi mengigit bibir bawah tanpa sadar, ada sedikit cubitan tak kasat mata di dadanya mendengar penuturan Boas. Ia langsung teringat Odette dan Belinda.

“Mereka terus mencoba keluar dari jurang kegagalan, tetapi tidak pernah berhasil. Mereka terus dikalahkan oleh keadaan. Pada akhirnya, mereka hanya menatap tembok yang dibangun di sekitar mereka, mengalah, menerima bagaimana kehidupan terus mempecundangi mereka, menunggu titik kehancuran tiba. Mereka adalah epitome dari kegagalan itu sendiri. Gagal sebagai teman. Gagal sebagai anak. Gagal sebagai siswa. Gagal sebagai warga negara. Gagal sebagai umat agama. Gagal dalam kehidupan seutuhnya.

Namun, mereka bisa apa? Mereka enggak punya pilihan lain selain memperlakukan kegagalan sebagai sepotong kue dengan krim tebal dan badam bertaburan yang akan membuat mereka sakit jika saya jejalkan ke mulut saya lebih dari satu suap. Namun, mereka tetap makan sedikit demi sedikit. Mereka nikmati dengan teh lemon yang hangat dan menenangkan sampai habis tak bersisa. Sampai mulut mereka kebas, sampai perut mereka meledak, sampai mereka mati karena tubuh mereka tak mampu menahannya lagi. I treat failure just like I treat my cake. I eat them whole and left no crumbs.”

Naomi mengedipkan mata beberapa kali. Ia bukan orang bodoh, bukan juga sepintar Holmes yang dapat menarik kesimpulan berdasarkan deduksi cerdasnya. Tapi, mendengar cerita panjang dari Boas sudah bisa disimpulkan bahwa pria itu menceritakan kisah hidupnya.

“Hidup emang panggung komedi yang paling satire.”

To be Continued

To be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A.n:
Aku punya pertanyaan ke kalian. Apakah cerita ini membosankan? Jika iya, tolong dikasih tau, ya. Terus apa yang bikin kalian masih Membaca cerita ini?

Sekian, gitu aja. Terima kasih karena masih membaca kisah Naomi dan Boas.

—your rose.

Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang