Sorry lama baru update. Wkwkwk janji deh besok aku update!!🌝
Bab 16, Bagian B:
Starry Night••••••
Boas dan Naomi sedang duduk bersantai di salah satu sisi wilayah perkemahan yang terdapat beberapa batu yang bisa duduki sambil menikmati mie hangat yang baru saja Boas masak dengan peralatan kemping yang seadanya.
Tiba-tiba, teman Naomi bernama Tama yang juga ada di situ, datang dan menghampiri mereka dengan gaya sok akrab yang sangat membuat Naomi muak seketika. Sejak kapan pria munafik ini menjadi temannya?
“Lo udah nikah? Anjir! Gue kagak diajak?”
“Sorry, gue lupa.” Naomi benar-benar lupa, ia juga tidak memiliki kontak Tama yang mempermudah dalam pengiriman undangan pernikahannya. Terlebih dari itu semua, Naomi memang tidak ingin untuk orang seperti Tama datang.
“Lo masih kayak dulu aja, ya?” Tama tertawa keras setelah bertanya. Kemudian, ia berbalik arah dan menatap Boas. “Dia suka mukul enggak? Dulu suka berantem dia. Gue masih ingat, kakak kelas dihajar habis-habisan sampe masuk UGD. Ngerih gue waktu itu.”
Tama masih tertawa lepas, entah apa yang ditertawakan pria itu, namun Naomi dan Boas sama sekali tidak memberikan reaksi yang sama dengan pria itu. Boas sendiri sudah hilang respect dengan Tama. Sejak awal, ia sudah mencium aroma-aroma tidak baik yang ada pada Tama.
“Lo bisa diem nggak?” Naomi berseru ketus. Rasa-rasanya Naomi ingin melayangkan satu tendangan bebas ke arah pria itu agar menjauh dari hadapannya jika tidak mengingat umur dan statusnya sebagai istri seorang pria dewasa yang duduk di sampingnya.
“Lah? Emang kenapa? Faktanya emang gitu, kan? Lo kan suka ikut tawuran dulu, masih ingat juga gue, lo diajak anak-anak SMA buat berantem. Gila!” Tama berdecak kagum seraya bertepuk tangan, memberikan tanggapan hiperbola. “Apalagi siapa tuh, mantan lo, ketua geng kan? Gila sih, gue kira kalian berdua bakal nikah Terus bentukin keluarga kecil bahagia yang semuanya jago berantem.”
Tidak ada tanggapan dari Naomi. Perempuan itu sudah malas merespon Tama. Jika orang seperti ini terus digubris, malah tidak akan berhenti dan terus saja mengatakan masa lalu Naomi yang sama sekali tidak ingin perempuan itu ungkit lagi. Itu masalah lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam dan tidak perlu diumbar-umbar. Apalagi, kini ia bersama dengan Boas. Rasa-rasanya, Naomi tidak mau kebiasaan buruk dan masa lalunya yang tidak baik didengar. Ia tidak mau Boas beranggapan tentang dirinya dengan stereotipe yang telah dilabeli oleh orang-orang mengenai dirinya dulu.
“Tenyata, sekarang lo ngincar dokter kaya raya, ya? Mana sekarang lo udah jadi vloger terkenal. Makin sombong aja. Matre juga, lagi.”
Boas hendak bersuara, namun Naomi yang tahu tentang tindakan apa yang akan Boas lakukan, segera perempuan itu menahan tangan Boas, memberikan tanda supaya sang pria diam. Tanpa suara, Naomi menatap Boas dengan harapan arti tatapannya bisa dimengerti Boas, bahwa ia bisa menangani semua ini.
“Lu juga masih sana, ya? Mulutnya masih nyampah.” Naomi memutar bola mata malas. Terlihat ia sama sekali tidak nyaman dan kesal dengan perkataan Tama.
“Iya, kan soalnya cewek tuh pada matre sekarang. Lo juga?” Tama malah menatap Naomi dengan satu alis terangkat.
Boas mendengus jengkel. Tangannya sudah gatal ingin melepaskan bogem mentah di mulut kurang ajar Tama. Demi Tuhan, jika bukan tangan Naomi yang tiba-tiba menggenggamnya erat, dan memberikan isyarat tenang, sudah pasti Boas akan mengusir perusak suasana itu dari sana.
“What the?” Naomi mendengus jengkel sambil merotasi mola matanya jengah. “Then why, cowok masih ngeliat cewek dari fisiknya?”
Suasana semakin hening.
“Make it fair. Kalau cowok lihat cewek berdasarkan fisik, yaudah, kenapa cewek enggak bisa ngeliat cowok dari isi kantongnya? Jangan jadi orang nggak mampu, geli gue dengernya. Ya, kalau lo ngerasa mampu, ya, lo enggak usah insecure. Kan, balik lagi, lo ngasih dia duit, duitnya dipake buat beli skincare, plus bahagia then makin cantik, lo juga yang seneng kan? Make it simple.” Naomi mengangkat kedua bahunya.
Naomi kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Ayo sayang, kita balik aja. Lama-lama di sini, aku makin enek.”
Boas tanpa menunggu lama, pun bangkit dan berdiri di samping Naomi. Tidak lupa tangannya yang kekar itu melingkari pinggang mungil Naomi. “Senang berkenalan dengan anda. Saya harap, kedepannya, anda bisa lebih banyak belajar lagi soal bagiamana menyapa teman lama tanpa memberikan kesan seperti barusan.”
Setelah itu, Boas membawa sang istri menjauh dari sana. Tidak peduli dengan tatapan Tama yang entah jengkel atau malu. Mereka sama-sama tidak peduli dengan orang sinting itu.
“Saya suka kamu yang seperti tadi,” bisik Boas pelan, saat mereka masih dalam perjalanan kembali ke tenda. “Tapi jangan pernah melakukannya tanpa saya.” Untuk ucapan terakhir ini, Boas tanpa bersungguh-sungguh, terlihat jelas dari raut wajahnya yang mengeras dengan genggaman pada pinggang Naomi yang mengencang.
“Kenapa?” tanya Naomi. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini. Tentu, Naomi kebingungan.
“Enggak ada yang tahu niat orang, Naomi. Saya enggak mau hal buruk terjadi sama kamu.”
“Aku bisa jaga diri, Mas. Kalau mas lupa.” Naomi kembali menimpalinya.
Boas mengangguk, mengerti bahwa Naomi bukan wanita biasa yang gampang diremehkan. “Kamu tetap perempuan di mata saya, sejauh apapun kamu mampu melawan orang. Saya enggak bisa lihat kamu sendiri dibentak.”
Shit! Naomi terdiam kaku mendengar ucapan Boas. Sumburan merah di kedua pipinya kembali menyala di tengah hari menjelang malam.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...