Bab Sebelas, Bagian B:
Pertemuan Pertama•••••
Boas berdiri di depan pagar rumah orang tua Naomi, yang mana masih menjadi tempat Naomi tinggal setelah kos-kosannya yang lebih dekat dengan tempat kerjanya dulu, sebelum memutuskan keluar karena beberapa alasan. Rumah sederhana yang tidak memiliki halaman luas tapi entah mengapa terlihat hangat, dan nyaman.
Pria itu menarik napas panjang, sebelum kembali melangkah mendekati pintu utama rumah orang tua Naomi. Jantung Boas kembali berdegup kencang. Ternyata perasaan ini tetap ada meskipun umurnya telah menginjak 34 tahun, usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi.
Baru saja Boas hendak mengetuk pintu, namun benda itu malah terbuka sendiri dan menampilkan perempuan yang sebentar lagi akan ia nikahi.
“Masuk, Mas.” Naomi mempersilakan Boas masuk.
Mata pria itu mengedar ke seluruh penjuru ruang tamu. Hal utama yang dicari pria yang memakai pakaian rapi tersebut adalah menemukan orang tua dan saudara Naomi. Namun tidak ada. Alhasil, Boas teralihkan dengan foto-foto keluarga Naomi, serta hiasan rumah yang terbuat dari kayu seperti gantungan, pot bunga artifisial. Ada juga gambar Tuhan Yesus bersama para murid makan malam terakhir atau Last Supper karya Leonardo Da Vinci yang dibuat pemahat kayu entah siapa. Hingga foto terakhir, yang berada di atas meja bersama beberapa foto lainnya, seorang perempuan remaja memakai Dobok dengan ban berwarna hitam, memegang sebuah mendali dengan riang.
“Kamu?” tanya Boas, tanpa mengalihkan padangan dari foto tersebut.
“Iya, jadi Om jangan macam-macam sama gue,” gertak Naomi, yang terdengar seperti kucing menggemaskan di telinga Boas, buktinya pria itu tidak tersinggung sama sekali melainkan tersenyum lebar.
“Ehem!”
Boas dan Naomi sama-sama memalingkan wajah ke arah suara tersebut. Boas buru-buru mendekati pria paruh baya tersebut dan menyalim tangan yang sudah keriput tersebut. Tidak jauh dari sana seorang wanita tersenyum lebar berjalan ke arahnya.
“Wah, ganteng sekali Nak Boas.” Puji Natalia sembari melirik Naomi dengan ujung mata. “Duduk dulu, Nak. Sebentar lagi, kakak-kakaknya Naomi datang.”
Boas pun menyalim tangan Natalia sebelum duduk di sofa tua yang ajaibnya masih terawat dengan sangat baik, dan empuk.
“Naomi ke belakang buat minum, ya.” Naomi berseru canggung di antara Boas dan kedua orang tuanya. “Mau minum apa O—Mas?” Hampir saja Naomi keceplosan memanggil Boas dengan sebutan Om.
“Air aja, Naomi.”
“Jangan! Buatkan es teh atau jus sirup di dapur Na.” Bunda Natalia menyahut. “Jangan sungkan nak.” Kali ini Natalia menoleh ke arah Boas.
Naomi pun pamit ke dapur untuk membuat minuman untuk Boas dan kedua orang tuanya. Jujur, sejak malam Naomi sangat gugup. Ia takut ayah dan bundanya melakukan hal aneh sehingga membuat Boas ifeel, atau sebaliknya. Banyak sekali spekulasi di kepalanya, sampai-sampai ia tidak tidur nyenyak semalaman. Huft. Ternyata hari ini datang juga, suatu hal yang tidak terpikirkan akan terjadi secepat ini.
Naomi berusaha untuk tidak menghasilkan suara agar bisa mendengar percakapan antara Boas dan orang tuanya. Helaan napas panjang keluar ketika suara ayahnya terdengar. Naomi tanpa sadar menahan napas mendengar pertanyaan sederhana namun sangat sulit untuk dijawab, apalagi, mengingat tidak hubungan apa-apa yang terjalin di antara mereka berdua. Tidak ada percakapan serius atau hal-hal yang dilakukan pasangan lainnya sehingga mengetahui kebaikan atau interes lebih lanjut untuk menuju ke arah pernikahan.
Teringat semua kekonyolan yang menimpa Naomi sejauh ini, dan semua tindakan, perilakunya kepada Boas. Sungguh, tidak ada baiknya.
“Kenapa kamu mau menikahi anak saya, Naomi?” tanya ayah Naomi.
“Saya tahu, jawaban saya ke Om mungkin terdengar diplomatis, bahkan naif. Tapi ini jawaban paling jujur dari saya, kenapa saya memilih Naomi? Karena Naomi adalah Naomi. Saya enggak menemukan perempuan lain yang sama seperti Naomi. Dia marah ya marah, kesal ya kesal, senang pun senang.” Boas menjeda ucapannya. Tampak senyum tulus terpancar di wajahnya.
“Saya merasa enggak ada alasan untuk menunda keinginan kami untuk menikah. Seperti tujuan saya datang ke sini sekalian mau minta izin menikahi Naomi. Terlepas dari kesepahaman yang saya dan Naomi waktu itu. Saya benar-benar membutuhkan Naomi sebagai istri saya. Saya enggak sempurna, memiliki satu anak perempuan berusia lima tahun.” Boas berbicara dengan jujur, kata-kata itu keluar begitu saja.
Karel berusaha mencari-cari kesungguhan di baik mata pria yang sedang berusaha meyakinkan dirinya. Sebagai semasa pria, Karel setidaknya tahu mana pria yang serius dan hanya bermain-main dengan putri satu-satunya yang sangat ia sayangi. Biarpun ia memiliki banyak kriteria bahwa calon suami Naomi harus dokter, namun jika pria itu brengsek, maka tidak ada toleransi baginya untuk menerima pria seperti itu untuk menemani Naomi seumur hidup.
Satu hal yang Karel temui dibalik wajah ramah pria di hadapannya, tergambar keseriusan di sana. Tidak ada keraguan.
“Buktikan jika kamu benar-benar tidak sekedar bermain dengan anak saya, buktikan kamu akan menjadi suami yang mencintainya, menyayangi dan mengerti dirinya. Saya sebagai ayah tidak meminta lebih daripada itu. Perlakukan dia seperti gelas kaca yang sangat kamu sayangi,” pinta Karel.
“Kamu kerja apa?” tanya Andika, yang masih menggunakan pakaian Khaki, khas PNS pada umumnya. “Coba ceritakan sedikit tentang kamu biar saya ada gambaran kamu seperti apa. Soalnya Naomi tidak pernah bercerita tentang kamu sebelumnya.”
Natalia melirik Andika dengan tatapan mendelik, ini salahnya juga yang tidak menceritakan sedikit tentang calon Naomi.
Sama halnya dengan Andika, kedua abang Naomi lainnya pun penasaran. Melihat itu, Boas menarik napas sebelum menjawab pertanyaan tersebut.
“Saya sekali lagi, izin memperkenalkan diri saya sebagai calon suami Naomi.” Boas menatap bergantian Benjamin, Andika, dan Gatot. “Nama saya Boas Sardi. Umur saya 34 tahun, pekerjaan saya Sebagai dokter. Saya memiliki seorang anak perempuan berusia 5 tahun, namanya Anastasya.”
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...