Bab 1 Bagian A: I Asked Life, Why Are You So Difficult?
“Banyak hal yang terjadi, pasang surut garis kehidupan membawa kita pada teka-teki tiap hari, memaksa untuk menyerah dan mendadak ia berbaik hati pada subuh.”
••••
Naomi membuang wajah ke luar lapisan bening, kaca yang menghalanginya dengan pemandangan jalan di luar sana. Jakarta Selatan sore ini dari lantai tiga memang indah dengan berbagai aktivitas manusia. Kafe ini terletak di Dragon Flames, Kemang, dengan konsep rooftop yang cukup nge-hits, buktinya banyak orang di sini, entah berpasangan, berkelompok, bahkan ada yang sendirian seperti Naomi. Namun, jika bukan karena ingin bertemu dengan dia, Naomi jamin ia tidak akan pernah tahu keberadaan tempat ini. Sama sekali.
Terlintas sejenak di kepala Naomi tentang wabah kasus Corona--setelah melihat banyak aktifitas yang kembali normal---yang awalnya ditetapkan sebagai KLB di Wuhan, dan tersebar di seluruh benua pun mengganti gelar menjadi Pandemi. Selama beberapa tahun belakangan ini, semua bisa dibilang terhambat, hingga Perlahan virus Novel Corona .... mereda. Butuh waktu yang lama dan menguras energi untuk bisa pulih dan kembali normal.
Terbukti dengan kasus yang menurun, diikuti dengan pemberian Vaksin yang rutin diadakan. Banyak orang kembali beraktivitas seperti semula, mahasiswa kembali kuliah daring, pun siswa dan pekerja PNS dan pegawai lainnya, tidak seperti diri Naomi yang sejak awal bekerja dari rumah, menggunakan kamera dan alat make up kesayangannya, benda-benda luar biasa yang mampu membuat ia percaya diri di depan banyak orang, dan menutupi sedikit masa lalunya yang kelam.
Dari banyaknya kasus yang terjadi, dampak buruk, mulai dari PHK massal, kantor yang bangkrut, dan penghasilan yang merosot drastis hingga keadaan yang membuat hilang arah.
Naomi perlahan mencoba melihat dari sudut pandang positif. Mungkin, pada masa Pandemi, detik-detik di mana langit Jakarta terlihat lebih cantik? Bahkan menjadi pembicara hangat di Twitter. Walaupun kualitas udara saat itu masih dalam kategori sedang hingga tidak sehat untuk mereka yang sensitif. Bahkan, Jakarta berada di peringkat kelima untuk ibu kota di dunia dengan kualitas udara (PM 2.5) terburuk menurut laporan IQAir (Air Visual) yang diluncurkan pada Februari 2020.
Selain itu, sanitasi lingkungan hidup mulai diperhatikan kebersihannya, kelayakannya. Bersamaan dengan itu, pola hidup higenis seperti mencuci tangan sebelum makan dan bahan makanan sebelum diolah. Orang-orang mulai memakai masker, yang mana sebenarnya itu baik untuk diri sendiri.
Bahkan, mungkin beberapa orang merasa lega karena harus berdiam di rumah, tidak perlu berhadapan dengan banyak orang yang kadang membuat pusing. Kalau ini, Naomi salah satunya.
Naomi percaya, segala sesuatu pasti ada buruk dan baik. Sengaja buruk diawal, karena Naomi jarang memikirkan hal-hal baik setelah menginjakkan kaki di ibu kota ini.
“Hei? Lagi mikirin apa? Serius banget?” seruan itu datang bersama dengan tepukan halus di pundak Naomi.
Wanita bernetra cokelat terang itu tersenyum kaku menyangkut sang kekasih yang telat satu jam.
“Hmm, mikirin deteriorasi lukisan." Naomi menjawab asal, meskipun tidak sepenuhnya.
Deteriorasi lukisan adalah perubahan mutu atau kualitas pada objek karya seni lukis yang mengarah pada kerusakan. Banyaknya bahan yang digunakan dalam pembuatan lukisan membuat kondisi objek tidakseluruhnya stabil.
Benjamin duduk berhadapan dengan Naomi. Tersenyum kecil. Tampak gelagat aneh dari tatapan Benjamin yang bergerak tak tentu arah, juga jari-jari tangannya yang mengetuk permukaan meja berbahan mahoni, yang menjadi pemisah antara mereka.
“Sorry, ada pasien emergensi,” ucap pria itu dengan tarikan napas panjang.
“Sorry, ada pasien emergensi.” Naomi berseru dengan wajah tersenyum biasa.
Terlalu sering Naomi berada di posisi ini, sampai-sampai ia hafal betul dengan kalimat yang diucapkan Benjamin, kekasihnya sejak 25 September 2 tahun lalu.
“Besok ada waktu enggak?” tanya Naomi, berharap mendapatkan jawaban ‘ya’ dari sang kekasih.
“Sorry enggak bisa.”
Bisa dikatakan, dalam hubungan mereka, melakukan kencan adalah hal paling langka terjadi. Entah selalu saja, Benjamin selalu beralasan sibuk, jika pun ada, mereka hanya berkencan tidak lebih dari satu jam. Bayangkan, makan ayam geprek di kawasan Mampang Perapatan, di tengah-tengah menikmati sambal dan ayam harus menerima kepahitan Benjamin berpamitan karena panggilan darurat, yang entah, Naomi tak paham sendiri.
Seperti biasa, Naomi tersenyum lebar, menutupi kesedihannya. “It's okay. Lain waktu, aja.” Semoga, imbuhnya dalam hati.
“Maaf, Mi. Kamu tahu kan, aku banyak kerjaan, pasien adalah nomor satu."
Wait. Naomi bahkan tidak sedikit pun menunjukkan ketidaksukaannya atas keterlambatan sang kekasih, walaupun ia sangat ingin melakukannya.
“No. Gue tahu,” sahut Naomi lembut. Entah cinta atau karena sudah putus asa tidak mendapatkan pasangan hingga wanita itu mau saja menahan diri untuk kesal.
Demi hubungan yang baik, dan keluar dari pertanyaan kapan menikah dari sang Bunda.
“Aku mau kita putus.”
To be Continued
A.n: Hey, akhirnya saya update! Semoga kalian senang, ya. Nantikan kisah Naomi dan Boas di bab berikutnya! Jangan lupa tekan tombol vote!! Komen di sini dong, kalau kalian baca cerita ini!🤗
–Your, Rose.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...