Bab 6, Bagian A:
Masalah Besar!
Naomi membalikkan tubuhnya ketika sinar mentari dari balik jendela menembus kelopak matanya, juga sensasi hangat yang sedikit menganggu. Tidak lama waktu berselang, getaran bersama suara nada dering panggilan teleponnya berbunyi, memenuhi ruangan bernuansa klasik tersebut.
Masih dalam keadaan tengah sadar, Naomi dengan mata sipitnya menghela napas saat mengambil ponselnya dari atas dan segera mengangkat telepon video dari sang bunda, Natalia.
”Pagi, Bunda,” sapa Naomi dengan suara serak. Ia masih belum sadar akan kejadian semalam. Yang ia tahu, sekarang ia berada di kamar dan kepalanya teramat berat dan sakit, ia butuh meletakkan kembali kepala di atas bantal.
[“Ka ... SIAPA ITU!?” teriak Natalia dari seberang sana].
Spontan Naomi menjauhkan ponselnya dengan kening mengernyitkan. “Apa, sih, Bunda?”
[APA, SIH? KAMU GILA, YA?! ITU LAKI-LAKI DI SEBELAH KAMU! KAMU NGAPAIN, NAK?!” Masih dengan nada berteriak, Natalia membentak sang anak dengan dada naik turun.]
Barulah, Naomi membuka lebar matanya dan menoleh ke samping, dimana seorang pria memakai baju putih yang setengah kancingnya terbuka, dengan celana hitam bermerek.
“HUH?!” Naomi mendorong kencang tubuh pria itu hingga terguling dan jatuh ke lantai. Sedangkan ia segera bangkit dari tempat tidur dan meneliti pakaiannya yang berubah menjadi baju kebesaran dan celana pendek di dalamnya.
[“NAOMI! BUNDA BUTUH PENJELASAN KAMU!” teriak Natalia, membuyarkan kebingungan Naomi.]
Naomi mengambil ponselnya yang sempat jatuh saat mendorong Boas. Buru-buru iae jawab. “Bunda, nanti Naomi jelesin, ya. Naomi butuh waktu sendiri bentar.”
Barulah sedetik setelah panggilan diakhiri secara sepihak oleh Naomi, pintu kamar diketuk oleh seseorang. Sialan. Naomi butuh penjelasan semua ini. Ia tidak mengingat apa yang terjadi semalam selain ia meneguk tiga gelas minuman beralkohol dan menangis sambil berjalan ke kamarnya. Tapi kenapa berakhir di sini?
Boas yang masih menyesuaikan mata dan ingatannya yang membaur akibat masih mengantuk namun dijatuhkan dari atas tempat tidur berdiri seraya mengusap rambutnya.
“Apa ini? Kenapa saya ada di kamar ini?” tanya Naomi penuh selidik. Tak ada raut wajah menyenangkan di sana selain tatapan membunuh.
“Saya bisa jelasin, tapi kamu duduk dulu.” Boas melirik kasur, mencoba lembut dengan Naomi yang dipenuhi amarah.
“Gue butuh penjelasan, Om. Bukan duduk!”
Menghela napas panjang, Boas memijat pangkal hidungnya. “Kamu mabuk tadi malam, dan pingsan di depan lift. Sebagai manusia yang memiliki simpati, saya nolongin kamu. Cuma segitu. Saya enggak berbuat aneh ke kamu.”
Naomi masih tidak percaya, sebab pakaiannya yang tiba-tiba berubah sungguh mengusik otaknya untuk tidak berpikir baik-baik saja.
Paham dengan isi kepala Naomi. Boas berseru lagi. “Saya enggak gantiin baju kamu. Saya minta tolong staf hotel buat gantiin baju kamu pakai pakaian saya. Soalnya, kunci kamar kamu enggak ada waktu saya pakaian kamu diganti.”
“Bukti saya bisa percaya sama omongan Om apa?” tuntut Naomi, masih tidak percaya.
“Kamu lihat ke tubuh kamu sendiri. Bagaimana bisa saya tega sama kamu yang nangis dalam pelukan saya, yang butuh insulin di malam hari? Saya ayah satu anak perempuan, dan enggak ada keinginan saya untuk berbuat macam-macam sama kamu sama sekali. Saya tahu diri.”
Kembali pintu yang tadinya sempat diketuk kembali berbunyi, namun kali ini berbarengan dengan terbukanya gagang pintu kamar.
“Apa-apaan ini? Kamu? Kalian? Ada apa?”
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...