Bab Delapan Belas, Bagian C:
Siapa Dia?Boas menghela napas berat ketika keluar dari ruang operasi. Jika hari-hari sebelumnya ia sangat bersemangat untuk pulang ke rumah, maka kali ini kebalikannya. Boas rasa-rasanya enggan melepaskan diri dari ruang operasi. Karena hanya di sanalah Boas bisa meninggalkan sebentar beban pikiran dan hanya berfokus pada pasien yang dibedahnya.
“Boas? Mukanya kusut banget, ada masalah, ya?” celetuk Andre, dokter spesialis anastesi yang mengejarnya dari belakang. Mereka memang bukan teman dekat, hanya teman di rumah sakit. Tapi, akhir-akhir ini, mereka mulai dekat.
Boas tersenyum tipis. “Hmm, gitulah. Lagi enggak baik-baik aja.”
“Anjir. Kata-kata lo udah kayak cewek senja aja.” Andre terkekeh pelan. “Sama bini, ya?” tebaknya, tepat sasaran.
Boas tidak menjawab, ia hanya diam saja sambil terus berjalan melewati ruang tunggu dan berbelok ke sebelah kanan, dimana keluar dari ruang operasi dan menuju ke ruangan dokter Bedah.
“Coba komunikasi baik-baik sama bini lo. Setau gue setelah hampir tiga tahun nikah, komunikasi dan pengertian adalah kunci utama dalam hubungan pernikahan. Saling respect.” Celetuk Andre lagi seraya menepuk pundak Boas, juniornya dalam urusan pernikahan. “Gue lihat tadi di OK lo kurang konsentrasi seperti biasanya, ya, walaupun lo aja tetap keren, tapi, ya, sebagai teman sesama suami, gue cuma mau bilang gitu, sih.”
Boas menoleh ke arah Andre. “Thanks banget.” ucap pria itu tulus. Andre memang benar adanya. Make it make sense. Mungkin setiap tindakan Naomi ada alasannya. Yang perlu Boas lakukan adalah mengetahui alasan mengapa ia tidak jujur malam itu.
••••
Boas tiba di rumah, dan satu informasi penting tentang keberadaan Naomi seketika membuat Mood pria itu buruk. Bagaimana bisa, perempuan itu tidak menghubunginya untuk memberitahu bahwa ia turut serta dalam acara penghargaan tersebut diadakan.
Boas mendesah gusar sambil merebahkan diri di atas ranjang. Aroma tubuh Naomi, pun sampoo yang harum bercampur keringat terhidu di indera penciuman pria itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa, Boas sangat tersiksa karena masalah ini, dan ia begitu merindukan Naomi. Namun, ego pria itu terlalu tinggi untuk memulai percakapan duluan. Ia mau, Naomi yang menyadari kesalahannya dan segera mengajaknya berbicara.
“Papa? Papa?” Suara Anastasya mengudara di pendengaran Boas. Pria itu membalas panggilan anaknya dengan gumaman tidak jelas.
Tak lama kemudian, Anastasya sudah berbaring di samping dan memeluk erat sang ayah. “Mama cantik banget tadi, Ayah. Seperti Barbie!”
Boas mengubah posisi tidur hingga kini berhadapan dengan Anastasya. Mendengar penuturan si anak yang bersemangat, mau tidak mau Boas ikut tersenyum. Naomi memang sangat cantik, apalagi kalau pergi ke acara penghargaan seperti itu. Boas berdecak jengkel, kadang-kadang ia tidak rela kecantikan Naomi dilihat banyak orang.
“Tasya senang sama Mama?” tanya Boas sembari mengelus rambut Anastasya yang terurai.
Anak gadis berusia lima tahun tersebut mengangguk kencang. “Mama yang terbaik, Pa!”
“Terima kasih.”
••••
Terhitung sejak sejam yang lalu Boas berdiri di balkon kamar sembari memegang gelas susu cokelas--Boas tidak suka kopi--menunggu kepulangan Naomi. Jarum jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, akan tetapi perempuan itu belum juga kembali. Ada kegelisahan yang luar biasa Boas rasakan kini. Ingi sekali ia menelpon perempuan itu, dan bertanya apakah acara tersebut akan terus berlanjut atau dirinya akan pergi ke sana dan menjemput Naomi pulang?
Membayangkan bahwa Naomi sedang duduk sendiri di ujung kursi tanpa ada teman, juga rubik yang selalu ia bawa uang mengisi rasa kebosanannya, sudah cukup menyumbangkan seutas senyum lebar di bibir Boas.
Tak lama waktu berselang, sebuah mobil terparkir di depan rumah. Boas mengernyit heran ketika pintu pengemudi mobil terbuka dan menampilkan sosok pria berjas putih turun dan membukakan pintu penumpang di sebelahnya.
Deg. Seketika Boas mengeraskan genggaman tangan pada gelas. Rahangnya mengeras. Boas menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Hal seperti ini, demi Tuhan sangat memengaruhi emosi Boas. Pria itu juga tidak mengerti! Ia selama ini tidak pernah seperti ini.
Boas bukan pria yang suka mengekang kebebasan perempuan, apalagi istrinya. Tentu saja, Naomi boleh melakukan apapun selama itu baik baginya. Boas senang jika perempuan itu maju dan menghasilkan nilai-nilai positif. Yang Boas sesali untuk saat ini adalah, mereka tengah dalam masalah besar namun Naomi malah pulang dengan seorang pria yang demi Tuhan Boas tahu arti tatapan orang itu kepada Naomi.
Siapa Dia? Apa dia tidak tahu Naomi telah bersuami? Apa dia kekasih Naomi? Jangan-jangan, dia mantan Naomi yang tiba-tiba kembali lagi? Kenapa selama ini Naomi tidak jujur jika memiliki kekasih? Ah, pernikahan mereka memang bukan sesuatu yang penting bagi perempuan itu.
Jika seperti ini, hilang sudah keinginan Boas untuk berbicara dengan kepala dingin kepada Naomi.
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...