Bab Tujuh Belas, Bagian C:
Terbawa Arus••••
Boas menatap jam tangan yang belum dilepaskan, padahal seharusnya pria itu sudah melepaskan penanda waktu itu sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Boas sama sekali tidak bisa memejamkan mata barang sejenak pun, meskipun kelelahan--melakukan 3 kali Operasi dalam hari ini--yang tengah menderanya habis-habisan.
Bagaimana bisa Boas memejamkan mata ketika teman tidurnya entah ada dimana sekarang. Naomi hanya mengatakan ia pergi dan akan mengidap di apartemen Odette. Boas tentu memahami kebaikan istrinya itu, untuk menemani Odette yang sedang dalam masalah besar. Boas sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, sungguh. Pria itu, hanya sedikit rindu ingin melihat Naomi, atau sekedar mendengar suara perempuan itu.
Sejak tadi, Boas sudah mengirimkan pesan singkat kepada Boas, baik melalui SMS atau WhatsApp, akan tetap, Naomi tak kunjung membalas satu pun pesan tersebut, apalagi di WhatsApp, pesannya hanya centang satu. Menunggu dengan gelisah, Boas memutuskan untuk menelepon, namun, nomor telepon perempuan itu tidak aktif. Boas memejamkan mata frustrasi.
Yang benar saja, umurnya sudah menginjak kepala tiga, dan kenapa sikapnya seperti remaja puber yang baru merasakan jatuh cinta? Sungguh menggelikan sekali.
Boas mengubah posisi berbaring, menatap sisi sebelah, yang mana tempat Naomi berbaring sambil tersenyum tipis. Tangannya terangkat, mengelus lembut sisi tersebut. Lama-lama jika seperti ini terus, Boas pikir dirinya-lah yang harus dijadikan sebagai pasien rumah sakit jiwa. Pria itu terkekeh geli. Perlahan ia mulai memejamkan mata dan membayang Naomi ada di sisinya.
Tidak lama kemudian, suara ponsel Boas berdering, membangun pria tersebut, yang sebenernya belum tertidur pulas. Boas dengan cepat menarik ponsel yang ada di nakas, samping tempatnya berbaring dan menatap penuh harap Naomi yang meneleponnya. Namun beberapa detik kemudian, Helaan napas panjang seiring dengan padangan yang sendu. Lalu, Boas mengangkat panggilan tersebut dengan setengah hati.
“Kenapa?” Tanpa beramah-tamah untuk menyapa si pemanggil, Boas langsung bertanya.
Terdengar suara ribut, dentuman keras musik, dan suara orang-orang di sekitar menjadi pembukaan yang Boas dengar. Sepertinya sahabatnya itu ada di Club malam. As always. Boas tidak heran lagi, karena dulu, sebelum memiliki Tasya, ia adalah satu member di sana.
[“Bini lo di club malam woi, lo dimana anjir?” seru pria tersebut, berteriak di tengah-tengah keramaian. ]
“Huh?” Boas tidak dapat menutupi keterkejutannya. “Lo jangan ngacoh. Mabuk berat, nih.” Boas tidak percaya ucapan Daniell. Mana mungkin Naomi ada di club malam, bukanlah perempuan itu ada di apartemen Odette? Boas percaya, Naomi tidak akan berbohong kepadanya.
[“I swear! Naomi ada di sini! Dia sama temannya lagi ngobrol sama Natan!” ucap Daniell, kukuh. Jika pria ini kukuh, maka ia tidak berbohong. Boas tahu betul itu.]
Boas terdiam sesaat, mencerna semua kejadian yang terjadi menjadi satu kesimpulan. Pikirannya seketika kacau. Benar-benar berantakan sekarang. Mengapa Naomi tidak jujur kepadanya jika ia dan Odette berencana untuk pergi ke club malam? Lalu apa yang sedang perempuan itu lakukan di sana? Apa Naomi memiliki kekasih? Berbagai macam anak pikiran membentuk cabang-cabang tak beraturan di kepala Boas. Pria itu memejamkan mata, menahan diri agar tidak berpikir lebih jauh.
Terlebih dari semua itu, bagaimana jika perempuan itu mabuk? Dimana otaknya?! Boas memejamkan mata dengan tarikan napas kasar.
[“Lo enggak tau? Wih, bini lo cantik banget! Gue bisa lihat banyak orang yang pengen nelan dia. Swear, deh, kalau bukan istri lo udah gue ajak m—”]
“Shut your mouth.” Boas mendesis dingin, tangannya terkepal erat bersama dengan rahangnya yang mengeras. Membayangkan Naomi memakai pakaian sexy, dan berjalan di tengah-tengah lautan orang yang sedang dalam keadaan mabuk membuat Boas naik darah.
[“Owh. Child Dude! She is yours.”]
“Share loc sekarang!”
••••
“Awh, Mas! Sakit,” seru Naomi menahan sakit pada pergelangan tangannya yang digenggam begitu kencang oleh Boas.
“Masuk!” perintah Boas sambil membuka pintu mobil dengan kasar.
Aura dingin Boas tak bisa dibendung sejak pertama kali Naomi memandang kedatangannya di club ini, lalu menariknya keluar tanpa berbicara. Naomi benar-benar takut sekarang. Pandangan pria itu berubah menjadi tak bersahabat, sangat dingin dan menusuk hingga rasanya hati Naomi bisa hancur, sakit sekali. Apalagi, Naomi tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini dari Boas selama mereka menikah.
Setetes air mata lolos dari pelupuk mata Naomi, segera perempuan itu menghapusnya. Ia tidak mau Boas melihatnya menangis. Ia mau terlihat tetap kuat dan tidak takut. Ia ingin tampak biasa saja. Walaupun sebenarnya, tidak sama sekali.
Boas melaju dengan kecepatan tinggi, yang demi Tuhan Naomi pikir jika malam itu adalah hari kematiannya. Naomi terdiam dan sesekali melirik ke arah pria itu.
“Bisa pelan-pelan, aja, enggak sih?” Naomi membuka suara. Ia tidak bisa membiarkan apa yang dilakukan Boas terus berlanjut.
Tidak ada tanggapan dari Boas, pria itu masih melaju dengan kecepatan tinggi. Seakan-akan Naomi tidak pernah berbicara.
“Kalau enggak saya lompat dari mobil!” ancam Naomi seraya membuat ancang-ancang hendak membuka pintu mobil.
Cittttt! Seketika Boas menghentikan mobil di pinggir jalan. Karena tindakan itu, Naomi dan Boas sama-sama tersentak ke depan.
“Mas apa-apaan, sih!” bentak Naomi setelah menetralkan deru napas yang tak beraturan, juga detak jantung yang menggila. Perempuan itu mendelik tajam ke arah Naomi.
Boas hanya diam, tangannya menggenggam erat setir mobil hingga kuku-kuku jarinya memutih. Mata pria itu masih terpejam.
“Kenapa kamu berbohong?” tanya Boas pelan.
Naomi menelan Saliva dengan kasar. Kini, Boas telah menoleh ke arahnya, tatapan pria itu sama sekali tidak bisa tebak, namun Naomi tahu, Boas sedang marah besar atas tindakannya. Tapi, Naomi tidak benar-benar berbohong, ia memang akan menginap di apartemen Odette setelah menyelesaikan misi mereka.
“Aku benar-benar mau menginap di rumah Odette, Mas.” Naomi berseru.
Boas menghela napas. “Okay, fine.”
Boas kembali menjalankan kemudi. Jujur, yang ingin Boas dengar dari bibir Naomi adalah pengangkutan, bukan pembelaan terhadap dirinya. Apa berkata jujur dan meminta maaf kepadanya setelah berbohong adalah hal yang sulit dilakukan oleh Naomi? Sebesar itukah Ego Naomi? Boas tertawa getir dalam diam. Shit, sakit sekali.
Setibanya di rumah, Boas memutuskan untuk tidur di kamar tamu. Sebelumnya, ia mengambil tab-nya yang berada di kamar. Boas sama sekali tidak memedulikan keberadaan Naomi. Pria itu sedang butuh waktu sendiri saat ini untuk menenangkan diri.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Doctor (Senin & Rabu)
Romance"Kalau kamu enggak mau serius sama saya, bilang dari awal Naomi. Jangan buat saya jadi seperti ini." Itulah kalimat terpanjang yang Boas ucapkan. "Hal yang paling bikin aku kecewa adalah, kita sama-sama belum dewasa dalam pernikahan ini." -Naomi. ...