Adrian POV.
Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secarateratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya.
Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok didepannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik.
Masih dengan posisi yang sama, kuselimuti setengah tubuhnya yang tertidur miring itu. Logika-ku tak berjalan sekarang, entah kenapa aku masih ingin berlama-lama menatapnya tanpa menimbulkan suara. Kembali tanpa sadar kuulurkan tanganku, menyibak beberapa anak rambut berantakan yang menutupi sebagian wajahnya. Agar aku bisa melihat wajah itu dengan jelas tanpa terhalang apapun.
Mungkin karena terganggu dengan gerakanku, tiba-tiba ia membuka mata. Terlambat! Aku tak bisa menghindar. Kami saling menatap dan terkunci beberapa saat. Bola matanya yang bulat menatapku dengan terkejut. Sedetik kemudian, wajahnya tiba-tiba memerah. Lucu sekali melihat ekspresinya sekarang. Benar-benar lucu sampai aku menahan tawa.
"Akh....kamu sudah bangun." Setelah mengucapkan kalimat pembukanya, ia segera menegakkan tubuh. "Maaf, aku tak menyadari kalau kamu sudah bangun."
Aku mengangguk kaku, lalu berdiri. "Aku akan mandi." Kataku kemudian.
"Biar aku siapkan!"
"Tidak usah. Aku ingin hidup normal mulai sekarang." aku mengambil handuk di dalam lemari lalu masuk ke dalam kamar mandi. Menghidupkan kran dengan deras dan mengguyur tubuhku sedikit lebih lama. Aku tidak mengerti dengan kalimat terakhirku tadi. Tapi tiba-tiba saja aku tidak ingin terlihat menjadi pria lemah di depannya.
Aneh, meskipun semalam aku mengalami mimpi buruk lagi namun pagi ini perasaanku jauh lebih baik. sangat baik malah. Aku bisa merasakan sebuah semangat yang membakar diriku, padahal biasanya aku tidak mau peduli lagi dengan hidupku. Apa yang terjadi denganku?
Setelah puas mengguyur seluruh tubuhku, aku bergegas keluar dari kamar mandi. Namun belum sampai aku melangkah masuk ke dalam kamar, dia sudah berseru.
"Tunggu!"
Aku mengangkat dagu. Dia berlari ke arahku dengan sebuah handuk lantas menutupi kepalaku dengan handuk itu.
"Rambut kamu basah Adrian, nanti membasahi lantai." Dia menarikku untuk duduk di pinggiran kasur sementara dia berdiri di di depanku. Tangannya sangat lincah menggosok-gosok rambut basahku, sedangkan aku hanya duduk tegak menerima perlakuannya tanpa menolak sedikitpun.
"Sudah...." Dia menarik handuk itu dari atas kepalaku. Namun sebelum tangannya benar-benar turun, aku mencekal pergelangannya. Tatapan kami kembali terkunci. Tanpa kompromi kutarik tubuhnya pelan kearahku, lantas kukecup bibir merahnya dengan penuh perasaan.
Aneh!Apa yang kulakukan sekarang? Kenapa sejak terbangun dan melihat wajahnya, tiba-tiba aku merasa ingin sekali menyentuhnya, ingin mengusap rambutnya dan bahkan ingin menciumnya. Apakah sekarang aku benar-benar gila dengan menginginkan hal itu dari seorang gadis bernama Elisabeth?
Tunggu! Apa yang salah denganku? Aku ingin menghentikan ciuman ini, dan menyatakan ribuan maaf karena sudah lancing menciumnya tanpa ijin. Tapi aku tidak bisa. Bibir mungil ini terasa begitu lembut dan menggairahkan.
"Adrian!" tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku. Sedetik kemudian, kesadaran mulai melingkupi kepalaku.
******
Elisabeth pov.
Gila! Apa yang dia lakukan? Kenapa tiba-tiba dia melakukan hal ini padaku. Menciumku? Apakah aku sedangbermimpi, dan anehnya kenapa aku justru tak masalah dengan hal ini. aku menikmati saat benda kenyal itu menyentuh bibirku dengan menekannya dengan lembut. Jantungku berdentam hebat dan perutku terasa menggelitik. Rasanya aneh, tapi aku suka.
"Adrian....!" Aku mendorong tubuhnya menjauh sebelum kewarasanku benar-benar hilang. "Aku....aku belum mandi." Ujarku kemudian. Tanpa kembali menatap matanya, aku langsung berbalik arah dan melesat masuk ke dalam kamarku.
Aku mencoba menormalkan degup jantungyang tak seperti biasanya. Tapi sialnya, sampai kami bertemu lagi di dalam mobil yang akan mengantarnya untuk check-up, justru mukaku memerah. Padahal dia terlihat biasa saja, wajahnya sama sekali tak menyiratkan apapun dan sejujurnya aku sedikit merasa kesal.
Kami tak saling bicara di dalam perjalananan. Aku membuang pandang ke tempat lain begitupun dia. mataku larut dengan hujan rintik-rintik di luar sana, dan aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Di depan kami—di kursi pengemudi, Justin melajukan kendaraannya dengan tenang. Membelah kota Budapest yang indah dan cantik. Pria itu tak tahu jika sebenarnya hatiku terus berteriak padanya agar mengemudi dengan cepat dan lekas sampai di rumah sakit, supaya aku bisa terbebas dari kecanggungan ini.
Sesampainya di rumah sakit, aku memilih menunggunya di cafetaria. Selain masih merasa canggung, perutku juga lapar karena tadi pagi tak ada sesendokpun makanan yang masuk ke dalam mulutku karena syok atas apa yang terjadi tadi pagi.
Mungkin sekitar tigapuluh menit aku menunggu, tiba-tiba kulihat sosoknya masuk melewati pintu kaca dengan langkah tegap. Jika dilihat dia sama sekali tidak terlihat jika sakit. Mungkin karena tubuhnya yang bersih dan wajahnya yang tampan. Apalagi saat menciumku tadi pagi, dia terlihat baik-baik saja. Ciumannya sungguh memabukkan dan memberikan efek candu untukku karena diam-diam aku menginginkannya lagi.
Elisabeth! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku cepat. mencoba mengenyahkan pikiran absurd yang muncul mendadak di otakku.
"Apa kamu bisa menyetir El?" suaranya memecah monolog liar di kepalaku.
"Hah....menyetir?" aku yang masih mencoba menyeimbangkan otakku merasa bingung dengan pertanyaannya. "Iya....iya...aku bisa."
"Apa kamu punya SIM internasional?"
Aku kembali mengangguk. untung tahun lalu aku sempat membuatnya, dan ternyata sekarang berguna juga.
"kalau begitu baiklah." Dia menghela nafas lega.
"Baiklah apanya?" aku mendongak menatap wajahnya yangbediri tepat di depanku.
"Kita bisa jalan-jalan." Katanya lugas. "Aku sudah menyuruh Justin untuk pulang." Dia memperlihatkan sebuah kunci mobil padaku.
"jalan jalan kemana?" please El, jangan pernah menganggap ini kencan! Dia hanya menyuruhmu untuk menemaninya. Tak usah berlebihan. Dan tentang ciuman itu? Akh lupakan! Apa kamu tidak tahu style kebarat-baratan? Ciuman itu biasa, bahkan antara orang yang tak dikenal sekalipun.
Mungkin mulai hari ini aku yang gila. Bukannya dia.
"Aku dengar ada pameran lukisan di pusat kota hari ini." gumamnya membuyarkan lamunanku. "Entah mengapa setiap mendengar kata lukisan aku merasa sangat antusias."
Awalnya aku ingin menolak, namun saat kulihat seulas senyum muncul dari bibirnya, hatiku tak kuasa untuk berkata tidak. Anggap saja ini sebagian dari terapi. Bukankah nenek Anna juga akan sangat bahagia jika Adrian bisa kembali layaknya manusia normal dan bisa segera bekerja di perusahaan?
"Baiklah...." aku beranjak dari kursiku. "Tapi kita tidak boleh pulang terlalu malam. Mengerti?"
Dia mengangguk lantas menyerahkan kunci mobil itu padaku.
"Iya. Aku mengerti." Katanya patuh.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...