Elisabeth pov.
Aku menggeliat bangun saat ponsel di sampingku berdering nyaring. Jidatku berkerut, sebuah nomor baru di pagi hari sudah menyapaku.
"Haloo..." suaraku masih terdengar serak.
"Ini aku." Suara itu tidak asing, dan tentu saja berhasil membuat bibirku melengkungkan senyum padahal ini masih sangat pagi.
"Adrian?"
"Simpanlah. Ini nomorku."
"Kamu punya ponsel sekarang?"aku menegakkan badanku. Kantuk ku tiba-tiba sirna ketika mendengar suaranya yang lembut di pagi ini.
"Ya...agar aku bisa menghubungimu jika kamu seharian tak pulang seperti kemarin."
Aku hanya tertawa.Ejekannya berhasil membuat jantungku berdetak kencang.
"Maaf...."Sahutku kemudian, dan hanya Adrian jawab dengan deheman kecil.
"Baiklah, cepatlah mandi. Pagi ini aku ingin sarapan bersamamu." Dia mematikan teleponnya bahkan sebelum aku menjawab kalimatnya.
"Ck...apa-apaan itu?" aku menatap layar ponselku yang membisu sebelum akhirnya beranjak turun dari kasur menuju kamar mandi.
****
"Aku bosan."
Aku yang sedang sibuk dengan novel di tanganku menoleh. Melihat Adrian yang mematung di depan pintu. hari ini dingin, dan aku tidak mengijinkannya membuka pintu. Cukup melihat pemandangan taman dari dalam kamar saja.Bahkan ketika pria itu menginginkan member makan merpati, aku menolaknya dengan tegas. Aku hanya tidak ingin mendapatkan omelan dari Margareth karena mengajak tuan muda di luar kamar padahal cuaca begitu dingin.
"Ayo kita keluar." Rajuknya lagi, entah sudah ke berapa.
Aku meletakkan novelku di atas sofa tanpa menutupnya. Kuperhatikan langkahnya yang mendekatiku.
"Ayolah kita keluar." Katanya lagi saat dia sudah berdiri di depanku.
"Kemana?"
"Terserah. Tapi aku benar-benar bosan sekarang."
Aku belum menyahut. sedang berfikir kira-kira mana tempat yang bisa kukunjungi dengannya. Tempat yang hangat dan membuat ia nyamantentusaja. Aku takingin salah lagi dan membuat ia kembali teringat hal-hal buruk seperti waktu di pameran lukisan itu.
"Aku ingin menghabiskan waktu seharian di cafe sambil minum kopi." Adrian menatapkusungguh-sungguh. "Bagaimana?"
Aku berfikir sesaat. Mungkin jika pergi ke café, Margareth pun tak akan keberatan. Tiba-tiba aku punya ide. Kenapa tak kuajak saja bertemu Rebecca, bukankah gadis itu bekerja di cafe?
"Oke." Aku beranjak dari dudukku. "Aku punya rekomendasi cafe yang nyaman untukmu." Senyumku mengembang. Setelah menyuruhnya ganti baju, aku segera menuju kamarku untuk bersiap-siap.
*****
"Sialan!" umpatku kesal. Buru-buru kututup mata Adrian dengan telapak tanganku ketika sebuah pemandangan tak senonoh di dalam cafe menganggu indra penglihatan kami.
Kami baru saja turun dari mobil, namun dari balik kaca, kami sudah disuguhi pemandangan Rebecca yang sedang asyik mengulum bersama seorang pria. Tak tanggung-tanggung, mereka melakukannya di depan mesin kasir. Padahal ini siang bolong, apa mereka tidak bisa lebih menjaga privasi?Apa Rebecca tidak takut akan ada pelanggan yang kabur melihat keintimannya saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...