34

60 3 0
                                    

Untuk kesekian kalinya Samantha kembali menghabiskan waktunya dengan berlama-lama di depan cermin kemudian memilih baju paling pantas yang akan dipakainya hari ini untuk bertemu Adrian. Sudah beberapa kali ia menggantikan papanya untuk pertemuan bisnis dengan pria itu. itupun bukan tanpa sengaja, karena Samantha sendiri yang memohon-mohon pada papanya agar bisnis yang berhubungan dengan Adrian dialah yang menggantikannya. Jacob Clark menyetujuinya, namun dengan syarat Samantha harus mau belajar bisnis di perusahaan agar suatu saat ia bisa menggantikan dirinya. Begitulah yang terjadi, Samantha menerimanya dan melupakan prinsipnya tentang seseorang yang berhasil seharusnya berusaha membangun usahanya sendiri, bukan menerima warisan dari orang tua.

Wajah gadis itu berbinar ketika melihat sosok Adrian masuk ke dalam restoran. Ia memang sengaja datang lebih awal agar Adrian tidak berlama-lama menunggunya.

"Apa kamu menunggu lama?" tanya Adrian ketika ia sudah berada di depan gadis itu.

Samantha berdiri lalu mengangguk. "Tidak. Aku baru saja sampai." Dalihnya, padahal ia sudah berada di restoran lebih dari satu jam.

Adrian mengangguk, mempersilakan Samantha kembali duduk sedang ia sendiri juga mengambil duduk di seberang gadis itu.

"Apa jalannya macet?" tanya Samantha kemudian, seorang waiters datang membawakan buku menu dan gadis itu menerimanya.

"Tidak, hanya saja tadi ada beberapa keperluan di kantor."

Samantha mengangguk. Ia lantas memesan beberapa menu untuk dirinya sendiri.

"Kamu mau pesan apa Adrian?" tanyanya setelah waiters selesai dengan pesanannya.

"Sama sepertimu saja." Sahut Adrian. Ia sebenarnya tidak begitu antusias dengan acara makan siang ini. Permintaan neneknya tadi pagi begitu menyebalkan, bahkan ia juga menjadi malas bertemu dengan Samantha. Karena Adrian lihat jika gadis itu senang bertemu dengannya. Terlihat dari senyumnya yang sejak tadi terukir jelas dari sudut bibirnya.

Saat di jalan tadi, ia sudah menimbang akan membatalkan acara ini. Namun niat itu ia urungkan ketika ada pesan notifikasi dari Samantha, bahwa ia sudah sampai di restoran dan menunggunya.

Meskipun tujuan makan siang ini adalah untuk mendekatkan Adrian dan Samantha, namun mereka berdua tetap professional dengan pekerjaan dan pura-pura tidak tahu dengan maksud itu. Sebelum makanan tersaji di meja makan, mereka bahkan sudah menyelesaikan kerjasama tentang satu proyek.

"Adrian, kenapa wajahmu memerah?" Samantha meletakkan sendoknya ketika melihat wajah Adrian memerah dan bibirnya mendesis. Pandangan gadis itu beralih pada piring makan Adrian yang makanannya sudah berkurang beberapa sendok. "Apa kamu tidak tahan dengan merica?!"

Adrian tidak menyahut. Lidahnya serasa terbakar. Memang sejak kecil ia tidak doyan sesuatu yang pedas. Entah itu dari cabai ataupun dari merica. Pedas itu sangat menyiksa, dan salahnya adalah kenapa tadi ia tak bertanya tentang jenis makanan yang sudah dipesan Samantha.

"Maafkan aku!" Samantha memandangnya dengan wajah bersalah, apalagi saat melihat gelas berisi air milik Adrian yang sudah kosong.

"Aku panggil waiters dulu untuk mengisi gelasmu Adrian." Serta merta gadis itu bangun dari duduknya dengan panik, dan naasnya ketika ia tiba-tiba berdiri dan hendak mengangkat tangannya, seorang waiters yang membawa nampan berisi air panas lewat di sampingnya.

Praang!

Sebuah gelas jatuh ke lantai dan pecah berantakan, setelah sebelumnya air panas di dalam gelas itu mengguyur kakinya dan menyisakan rasa panas yang terbakar.

Samantha menjerit. Membuat seisi ruangan dan tentu saja Adrian bangun untuk melihat apa yang terjadi.

"Kakimu terbakar Samantha?!" tergopoh Adrian berjongkok di depan gadis itu, dan melupakan rasa pedas yang tadi membakar mulutnya. Ia melihat betis putih Samantha berwarna merah dan melepuh.

"Kita harus ke rumah sakit." Adrian mendongak. "Kalau enggak, nanti bisa membekas."

Samantha mengangguk sambil menggigit bibir menahan nyeri. Namun tiba-tiba pipinya bersemu merah ketika lengan Adrian meraih pinggangnya dan memapahnya. Aroma Adrian serta tangan posesif itu cukup membuat tubuh Samantha panas dingin. Andai saja bisa, ia ingin merengkuh tubuh itu dan menghabiskan malam bersamanya. Bagaimanapun juga hatinya telah memilih, dan Samantha tak akan pernah keberatan jika Adrian melakukan apapun padanya. Padahal biasanya, ia akan menolak dengan tegas setiap lelaki yang ingin mendekatinya dan bahkan seintim ini dengannya. Namun Adrian adalah pengecualian.

*****

"Ini hanya luka bakar ringan, tidak membahayakan." Kata dokter berjas putih itu sambil duduk di atas kursinya.

"Apa tidak akan meninggalkan bekas dokter?" Samantha memandang dokter di depannya itu dengan cemas. Pasalnya ia begitu mencintai bentuk tubuh dan kulitnya, bahkan ia tak segan-segan perawatan mahal hanya untuk menghilangkan satu jerawat kecil di wajahnya. Lalu bagaimana dengan bekas luka bakar itu? meskipun Samantha tetap akan membawanya ke dokter untuk perawatan jika meninggalkan bekas, namun pasti tidak akan instan dan butuh proses.

"Nanti saya akan memberi anda obat. Dan jangan lupa di minum ya?" dokter itu tersenyum simpul, seolah tahu apa yang dipikirkan klien-nya tersebut. "Nanti suami anda bisa mengingatkan jika lupa." Dokter itu mengedik ke arah Adrian yang berdiri di samping Samantha.

Samanta tersipu sedang Adrian menatap dokter itu dengan tatapan terkejut.

"Saya bukan suaminya dokter." Jawab pria itu tegas. "Dia teman saya."

Samantha terdiam. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah. Kalimat Adrian menyiratkan sesuatu, bahwa pria itu sepertinya tidak merasakan hal yang sama dengannya. Ada sesuatu yang menyayat dihatinya secara tiba-tiba, namun itu tidak lama karena beberapa saat kemudian, ketikaa tangan kekar Adrian merengkuh pinggangnya saat mereka pulang, ia kembali merasakan perasaan yang hangat.

"Aku bisa jalan sendiri Adrian." Kata Samantha kemudian saat badannya mulai kembali panas dingin.

"Kamu kesakitan dan berjalana terpincang-pincang Samantha." Sahut pria itu dengan pandangan lurus ke depan. Sebenarnya ia memikirkan hal lain, tentang seorang gadis yang kini pasti tengah menunggunya dengan cemas di rumah. Bagaimanapun juga ia terus menerus merasa bersalah karena telah bersedia makan siang bersama Samantha dan kini bahkan berada di rumah sakit.

"Mari, aku antar pulang." Adrian membuka pintu mobilnya, dan membantu Samantha untuk masuk ke dalam.

"Terimakasih...." Sahut Samantha pelan, namun tak bisa menyingkirkan perasan bahagianya karena hari ini ia bisa sedekat ini dengan Adrian. Ia rela air mendidih tadi mengenai kakinya, karena hal itu ia diperlakukan dengan begitu baik oleh pria ini. Pria luar biasa yang membuatnya tergila-gila bahkan sampai membawanya ke dalam mimpi.

Adrian berjalan mengitari depan mobil lalu membuka pintu kemudi. Setelah mengenakan seat belt dan menghidupkan mesin mobil, pria itu melajukan mobilnya membelah jalanan.

Sore merangkak naik, udara semakin dingin. Pria itu duduk di balik kemudi dengan banyak pikiran, sedangkan gadis di sampingnya tak henti mencuri pandang padanya sambil tersenyum.

Mungkin Samantha akan memberi tahu papanya bahwa ia telah jatuh cinta, pada Adrian Smith. Jikapun nanti sang papa tidak menerima pria itu karena masa lalunya, Samantha akan memasang badan dan mengancam papanya tidak akan pernah menikah. Karena ia hanya menginginkan satu orang untuk mendampinginya. Aneh bukan, Samantha yang biasanya pendiam, penurut dan pemalu sanggup menentang papanya jika apa yang diinginkannya tidak mendapat persetujuan.

Dan pria yang berhasil mengubahnya hanyalah satu, yaitu Adrian Smith.

****** 

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang