Elisabeth POV.
aku membuka mataku pagi ini dengan kalimat syukur yang terus menerus aku ucapkan di dalam hati. Akhirnya, aku masih bisa melihat indahnya matahari pagi setelah kejadian semalam, karena ternyata Tuhan selalu memberikan sebuah keajaiban dari setiap keadaan, buktinya pangeran berkuda putihku datang menyelamatkanku saat aku hampir saja tak punya harapan.
"Selamat pagi...." pintu kamarku terbuka dan sosok Adrian muncul membawa baki berisi teh hangat dan kue.
Aku tersenyum kecil. Ingatanku mengembarabahwa ia menemaniku sepanjang malam. Bahkan Adrian terbangun ketika aku beranjak mengambil air putih karena haus.
"Kapan kamu keluar?" tanyaku saat ia sudah duduk di tepi tempat tidurku. Tadi pagi aku tak melihatnya pergi, tau-tau ia sudah berbau wangi dengan pakaian yang rapi—seperti biasanya. Padahal aku yang setiap pagi menyiapkan pakaiannya, namun hari ini aku yakin jika ia menyiapkannya sendiri.
"Tadi pagi. Kamu masih tidur." Dia mengambil secangkir teh lalu menyerahkannya padaku. "Minumlah, selagi hangat."
Aku menurut. Kuteguk teh itu dan kurasakan hangat menjalar di kerongkonganku.
Dia tersenyum, mengelus rambutku pelan. "Kamu tidak usah khawatir. Kevin sudah kembali ke Kanada siang ini." Pria itu seakan tahu apa yang masih aku risaukan.
"Siang ini?" aku menurunkan cangkirku dan menimangnya.
Dia mengangguk. "Nenek sangat marah saat mendengar kejadian semalam."
"Maafkan aku." Aku menunduk. "Gara-gara aku keluargamu ada.... sedikit masalah."
"Hey.....itu bukan karena kamu. Kevin memang punya tabiat buruk seperti itu El. Justru dengan kejadian ini, nenek semakin yakin tak akan menyerahkan apapun padanya, apalagi perusahaan." Adrian berusaha menyakinkanku.
Aku mengangguk, meskipun belum sepenuhnya perasaanku lega. Bagus memang jika pria itu kembali ke negara asalnya, namun aku tahu jika Kevin punya sebuah rahasia besar tentang Adrian dan sewaktu-waktu bisa dikatakannya pada pria itu.
"Apa demammu belum turun?" tangannya meraba keningku—tiba-tiba. "Akh....sudah tidak panas sekarang." aku menatap senyuman yang muncul di bibirnya. Terasa sangat meneduhkan apalagi wajahnya yang begitu mempesona itu. membuatku merasa bersyukur ribuan kali karena mencintai pria seperti dia.
"Hari ini kamu boleh istirahat di kamar saja El." Katanya kemudian. "Aku harus keluar bersama nenek untuk bertemu dokter Antony. Jika keadaanku sudah memungkinkan, aku akan mulai bekerja di perusahaan."
"Jadi aku dirumah sendirian?" aku masih trauma dengan kejadian tadi malam. Bukan tidak mungkin bukan Kevin akan datang lagi?
"Apa sebaiknya aku ikut? Aku sudah tidak apa-apa." Pintaku.
"Tidak usah khawatir, Margareth sudah kembali, dan Justin akan berjaga-jaga di depan nanti." Adrian mengelus pipiku. "Aku tidak akan pernah mungkin membiarkan orang lain menyentuhmu El. Karena aku bisa membunuhnya."
Aku merasa tenang mendengar apa yang baru dikatakan Adrian. Setidaknya aku merasa terlindungi, dan aku percaya bahwa Adrian benar-benar tak akan membiarkanku terluka.
"Tapi sekarang aku masih ingin bersamamu."dia meletakkan nampan cangkir di atas nakas, lalu naik ke atas kasur. Duduk disampingku dan bersandar di badan kasur.
"Sini....aku peluk." Dia menarik tubuhku dan meletakkan kepalaku di pundaknya sedang lengannya merangkul pundakku dan jemari kami saling bertautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...