24

71 6 0
                                    

Adrian POV.

Aku menatap salju yang kembali mulai turun malam ini. Hatiku resah. Berkali-kali kuayunkan langkahku menuju gerbang hanya untuk memastikan Elisabeth sudah datang. Namun nihil, taka da yang melintas selain anjing liar yang kedinginan mencari makan.

Aku mengambil ponselku lalu mencari namanya di antara barisan nama di kontak teleponku. Meskipun ia terlalu bahagia berkumpul dengan keluarganya, namun ia harus segera pulang. Karena hari semakin malam, dan salju semakin turun dengan deras. Aku tidak mau wanitaku kedinginan, dan bahkan tidak bisa pulang karena terjebak hujan salju nanti.

Bukannya mendapatkan jawaban, ponsel itu malah mati. Hanya terdengar suara operator yang menyapaku dengan ramah, namun tak semerdu suara gadis yang sedang aku tunggu malam ini.

Aku mendengus, lalu memakai mantelku.

"Mau kemana Adrian?" tanya nenek ketika melihatku sudah mengenakan sepatu.

"menjemput Elisabeth di depan nek." Sahutku lantas berlalu.

Mungkin sekitar sepuluh menit aku berdiri di dekat halte ini. Mengusir dingin dengan sesekali meremas jemariku yang serasa membeku. Mataku terus menjelajah beberapa kendaraan umum yang lewat, berharap menemukan sosok itu muncul dari sana. Aku memang bisa menunggunya di rumah, setidaknya itu juga aman agar tubuhku tidak membeku, namun aku terlampau merindukan tubuh ringkasnya yang selalu menggoda itu. Mungkin aku sudah terbiasa dengan kehadiran Elisabeth di hidupku, sampai-sampai tak melihatnya sehari saja hatiku tidak tentu.

Sebuah bus berhenti, dan beberapa saat kemudian muncullah seseorang yang aku tunggu itu. Ia melangkah pelan menuju sisi jalan sambil menunduk, dan tak menyadari keberadaanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun aku merasa jika ia menyimpan sesuatu.

"El....." panggilku kemudian.

Ia mendongak, sedikit terkejut melihat keberadaanku namun kemudian berlari dan memelukku dengan hangat.

"Aku mencintaimu Adrian."begitulah kalimat yang berhasil membuat genderang di hatiku bertalu.

******

"Aku tidak perlu dijemput Adrian..." kami berjalan beriringan dengan jemari saling mengait. Meskipun salju masih tetap saja turun, namun entah aku ataupun dia tidak ada inisiatif untuk menghindarinya. Udara memang terlampau dingin, namun aku rasa dengan bergandengan tangan seperti ini, sudah membuat keadaan di sekitar kami menghangat.

Aku merasakan tangannya begitu dingin. Entah apa yang dilakukannya seharian ini di luar sana sampai membuat tangannya membeku seperti ini.

"Aku hanya mencemaskanmu." Aku menoleh kepadanya. "Kamu belum juga pulang padahal sudah malam."

"Maafkan aku. Tadi aku lupa tak mengabarimu. Dan ketika kamu menelpon, bateraiku habis."

Aku menarik nafas dalam. Sedikit tidak senang mendengar apa yang dikatakannya. Bagaimanapun juga, aku adalah kekasihnya. Seharusnya aku menjadi prioritasnya, seharusnya ia tak pernah melupakankanku meskipun hanya sementara.

"Bagaimana, apakah pekerjaan pertamamu lancar?" tanyanya kemudian, mengaburkan lamunanku.

"Lancar." Jawabku singkat. "Aku didampingi oleh seorang sekertaris." Tiba-tiba saja ingatanku kembali pada kalimat nenek tadi siang.

"Adrian, karena kondisimu sudah membaik mungkin Elisabeth sudah tidak perlu bekerja untuk kita lagi." Itulah kalimat yang dikatakan nenek tadi siang padaku.

Aku cukup terkejut. Bagaimanapun juga, aku sudah terbiasa hidup satu atap dengan gadis ini. Ia yang mengembalikan semua hal baik di hidupku, lalu apakah ia harus pergi sekarang?

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang