Adrian POV.
"Ini dimana?" aku melihat kilat mata Elisabeth yang begitu terpana memandang sebuah bangunan besar di depan kami.
Aku tersenyum. Ku tarik tuas handremku kemudian membuka pintu mobilku dengan begitu bersemangat. Setelah mengitari depan mobil, akhirnya aku sampai di sampingnya untuk membuka pintu.
"Apa kamu ingin berdoa Adrian?" gadis itu menyambut uluran tanganku untuk membantunya turun.
aku hanya mengedikan bahu, lalu mengaitkan jemariku dengan jemarinya. Berdua kami menaiki anak tangga tinggi yang menghubungkan dengan gereja besar di depan kami. Aku tahu ia terpesona, bukan denganku namun dengan gereja megah yang akan kami masuki ini. Tangga berundak-undak tinggi dengan pohon-pohon tanpa daun karena musim dingin menjadi penyambut kami hari ini. Angin sore yang bertiup lembut, memainkan rambut panjangnya yang indah.
Kulirik diam-diam wajahnya dari samping. Bibir yang sedikit terbuka membuatku gemas ingin melumatnya sampai ia kehabisan nafas.
Aku menarik nafas pelan ketika kami sudah berdiri di depan pintu masuk gereja. Perlahan, ku buka pintu kayu itu dan suara deritnya mengalun memenuhi ruangan.
"Ayo...." Aku menggamit tangannya. Ia masih terlihat ragu-ragu.
"Ini apa?" tanyanya, tapi aku merasakan langkah kecilnya mengikutiku.
Aku mengulas senyum dan mendudukkannya di kursi.
"Aku ingin berdoa." Kataku setelah duduk di sampingnya.
Ia menatapku dengan kening berkerut.
"Apa kamu tidak ingin meminta sesuatu dari Tuhan El?" tanyaku pelan. Ku rapikan sisa-sisa rambut berantakan di wajahnya. Aku merasa kulit wajahnya begitu dingin.
"Tentu saja aku akan berdoa. Sudah lama aku tidak pergi ke gereja." Sahutnya lalu menautkan kedua jarinya dan menutup mata. Sedetik kemudian, ia terlihat khusyuk. Entah apa yang dimintanya dengan begitu sungguh-sungguh kepada Tuhan.
Bukannya ikut berdoa, aku malah asyik menikmati wajah kekasihku yang terlihat tenang itu. semakin melihatnya, aku semakin jatuh cinta. Aku tahu Elisabeth adalah orang lain, yang Tuhan kirim kepadaku setelah semua hal buruk yang menimpaku beberapa tahun lalu. Aku memang tidak tahu seburuk apa, tapi aku meyakini satu hal bahwa ada hubungannya antara kecelakaanku dengan sosok gadis yang kerap muncul di otakku. Sosok yang cantik, yang bahkan sering membuat jantungku berdebar disusul perasaan bersalah dan sedih yang tak dapat aku jelaskan. Jika masa di masa lalu aku telah membuat suatu kesalahan padanya, aku ingin minta maaf dan berharap ia tidak terus menggangguku.
"Hei, kenapa malah menatapku seperti itu?" suara Elisabeth mengaburkan monolog di kepalaku. Matanya sudah terbuka dan menatapku dengan glabella berkerut. "Apa kamu tidak berdoa?"
"Akh, sepertinya aku tidak jadi berdoa hari ini." Aku menyandarkan tubuhku dan memandang patung Bunda Maria di depan sana. "Aku hanya ingin bersyukur kepada Tuhan. Sepertinya terlalu berlebihan jika aku meminta lagi padahal apa yang aku inginkan sudah terwujud."
"Apa maksudmu?"
Aku menoleh padanya.
"Apa yang membuatmu berdoa sekhusyuk itu?" aku balik bertanya. "Apakah ada hal lain yang kamu inginkan selain apa yang kamu dapat sekarang?"
Gadis itu menggeleng.
"Aku hanya minta agar Adrian Smith terus mencintaiku." Senyumnya mengembang dan perasaanku menjadi tidak enak. Kilat matanya begitu menegaskan jika ia benar-benar mencintaiku. Bukannya aku ingin mengatakan bahwa aku tidak mencintainya. Aku sangat mencintainya sampai membutuhkannya. Namun setiap kali wajah gadis di otakku itu muncul dan perasaan bersalahku datang, aku hanya merasa sedang menghianati Elisabeth. Bagaimana mungkin otakku masih memikirkan orang lain ketika aku sudah menjalin hubungan dengannya.
Kami berdua kembali bergandengan keluar dari dalam gereja. Perasaanku menghangat ketika jemari kami saling bertautan, seolah hidup ini hanya milikku dengannya.
"El...." Aku menghadap kepadanya. Pintu gereja sudah tertutup dan semilir angina sore kembali menerpa tubuh kami.
"Iya..."
Aku mengelus rambutnya.
"Bagaimana kalau kita menikah?"
Aku melihat matanya membulat sempurna. Ia menatapku dengan intens, seolah sedang mencari pembenaran dengan apa yang baru saja aku katakan.
Memang ide ini muncul begitu saja di benakku ketika langkah terakhirku meninggalkan gereja tadi. Aku pikir, menikah adalah jalan terbaik agar aku bisa bertanggung jawab dengan perasaanku dan agar aku tidak merasa terus menerus menduakannya dengan wanita di otakku tersebut.
"Aku tidak sedang bercanda El. Berhentilah menatapku seperti itu." protesku. "Daripada terkejut kamu lebih terlihat ketakutan."
"Apa aku tidak salah dengar Adrian?" ekspresinya belum berubah sama sekali.
Aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. "Aku ingin menikah denganmu El." tegasku. "Bagaimana, apakah kamu mau menerima lamaranku?"
"Kenapa—kenapa kamu ingin menikah denganku?"
"Karena aku ingin bertanggung jawab padamu." Sahutku mantap. "Dan aku rasa, kita bisa menikah di Korea. Aku selalu terbayang-bayang sebuah gereja di atas bukit di tepi pantai, sepertinya itu tempat yang bagus. Bagaimana?"
Gadis itu menatapku dengan nanar. Bukannya menyambutku dengan pelukan, ia malah mengayunkan kakinya mundur.
"El..." desisku tidak mengerti. Iaa justru menatapku dengan sorot mata kecewa.
Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah lamaranku terlalu buruk sehingga ia malah menjeda jarak diantara kami? Oke! Aku akui bahwa semuanya serba mendadak. Tak ada cincin, bunga, atau bahkan makan malam mewah seperti orang-orang, tapi aku melakukannya dengan tulus.
"Adrian aku—" gadis itu terlihat semakin gugup. "Aku—aku—maaf...." Ia berbalik, lalu berlari meninggalkanku.
"El....Elisabeth! tunggu!" aku berusaha menahannya, namun tak sanggup menggapainya.
*****
Elisabeth POV.
"Bagaimana kalau kita menikah?"
Sunggu itu kalimat terindah yang pernah aku dengar sepanjang hidupku. Sebuah lamaran yang begitu indah di bawah musim dingin di depan sebuah gereja cantik yang menjulang tinggi. Ini benar-benar saksi yang sempurna utuk sebuah lamaran. Dan sepertinya ini adalah sesuatu yang lebih indah dari lamaran dengan sebuah cincin, bunga atau bahkan hal-hal lainnya yang biasa orang-orang lakukan ketika melamar.
Hampir saja aku mengangguk dan menjawab 'iya' ketika kalimat selanjutnya membuat jantungku seakan diremas hingga sakit. Bahwa ia ingin menikah di sebuah gereja di Korea. Gereja di atas bukit yang selalu dibayangkannya. Bukankah itu hotel yang diinginkannya untuk menikah dengan Lily?
Sejujurnya, aku ingin menjawab iya. Namun di sisi lain aku mengerti bahwa selama ini ia hanyalah menganggapku sebagai gambaran dari seorang Lilly. Adrian memang melanjutkan hidupnya, tapi di satu sisi di alam bawah sadarnya ia masih menganggap bahwa Lilly masih hidup dan akulah orangnya. Tanpa sadar, ia memperlakukanku sebagai Lilly, tanpa sadar ia ingin melanjutkan hidup dengan kenangan dan harapannya bersama Lilly.
Aku menghentikan langkahku di sebuah kursi di pinggir sungai Danube. Senja mulai membayang di ufuk barat, menyiratkan warna kuning keemasannya yang begitu cantik.
Aku tergugu. Seharunya sore ini adalah sore terindah sepanjang perjalanan hidupku. Pria yang begitu aku cintai akhirnya melamarku dan ingin menikahiku. Tapi, aku tidak yakin jika semuanya akan bahagia jika ia masih terus dibayangi oleh masa lalunya.
"El, sore ini terlalu dingin, kamu bisa sakit flu." Sebuah suara menggema diantara sepinya sungai Danube sore ini, bersamaan dengan sebuah mantel tebal yang menutupi punggungku dengan hangat.
Aku mengangkat dagu.
Dan sosok itu kini berdiri dengan senyumnya yang diarahkan kepadaku.
David.
******
![](https://img.wattpad.com/cover/321271696-288-k810519.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomantikMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...