22

85 8 0
                                    

Elisabeth POV.

Sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Adrian untuk pulang hari ini. Bagaimana kalau dokter Antony atau nenek Anna marah melihat Adrian meninggalkan rumah sakit dan aku yang disalahkan? Bagaimanapun juga, kondisinya belum stabil karena masih harus mendapatkan beberapa obat melalui vena-nya. Namun dari sikap Adrian yang bersikeras dan juga kalimatnya yang merupakan sebuah perintah seperti tadi membuatku mengalah. Aku tahu ia pasti akan sangat marah padaku jika aku tak menurutinya.

Salju tiba-tiba turun ketika kami baru saja masuk ke dalam taxi. Cuaca malam cukup dingin, berkali-kali aku mencoba mengeratkan mantel yang menutupi tubuhnya agar ia tidak kedinginan.

"Aku tidak kedinginan El...." Katanya ketika aku baru saja selesai memasang sebuah syal di lehernya. Bukannya menerima itu dengan terimakasih, ia malah menatapku tidak suka lalu melepas syal itu dan memakaikannya padaku.

"Aku tahu kamu lebih kedinginan." Gumamnya. "Aku tidak mau menjadi seseorang yang lemah di depanmu. Aku ingin menjadi kekasih yang bisa melindungimu. Bagaimana aku bisa menjadi pria hebat di depanmu jika aku saja tidak bisa melindungimu dari udara dingin seperti ini?"

Aku tak menyahut. Mataku malah melirik pada sopir taxi di depan kami. Aku lihat bapak-bapak berusia lebih dari limapuluh tahun itu tenang-tenang saja. Mungkin ia tak terpengaruh oleh kalimat Adrian, atau mungkin ia tak peduli karena ini urusan kami anak muda.

"Aku takut kamu kedinginan dan sakit—" aku menggigit bibir bawahku.

"Aku mohon, pikirkan dirimu sendiri juga. Mengerti?" Adrian mengusap wajahku. "Aku juga tidak suka kamu sakit El...."

Aku tersenyum, meskipun puncak hidungku terasa dingin namun hatiku benar-benar hangat.

Taksi kami melaju dengan pelan membelah petang yang penuh dengan salju. Sesampainya di rumah, ia bukannya segera menghangatkan diri di kamarnya, malah mengajakku naik ke atas loteng. Meskipun dingin, aku hanya menurut namun tak lupa membawakannya sebuah selimut agar bisa melindungi kami berdua dari dingin yang menggigit.

"Orang bilang, salju pertama akan membuat cinta sepasang kekasih abadi El...." Adrian tersenyum, menatap gumpalan-gumpalan putih yang terus turun di depan kami.

"Aku juga pernah mendengarnya." Aku tersenyum dengan sudut bibirku. "Meskipun aku tak sepenuhnya percaya."

Adrian merubah posisi duduknya, lalu menghadap ke arahku.

"Kenapa?"

"Kamu tahu, kalau aku baru tahu salju ketika aku sudah dewasa. Setelah mama menikah dengan Andreas, suaminya sekarang." Jawabku dengan tawa pelan. "Indonesia Negara tropis dan aku sama sekali tidak bisa menemukan salju di sana."

"Lalu....Elisabeth kecil mulai menghayal tentang salju, bermain rumah-rumahan salju dan membuat boneka salju." Aku mengenang masa kecilku yang polos dan tentu saja lugu.

Adrian merangkulku. "Dan sekarang, apa yang kamu rasakan tentang salju?"

"Dingin."

Adrian tertawa.

"Aku tidak menyangka jika musim dingin begitu sangat menyiksa seperti ini. Awalnya aku tidak biasa, tapi setelah beberapa kali datang kemari, aku sedikit bisa beradaptasi."

"Dan bagaimana bisa hanya sebuah gumpalan air yang membeku bisa membuat cinta menjadi abadi Adrian? Padahal esok hari ketika tertimpa matahari, dia pun akan mencair." Gumamku lagi, menyampaikan pendapatku tentang filosofi cinta abadi dari setitik salju. "Dia saja tidak bisa menjaga dirinya sendiri...."

Adrian tersenyum kecil, dibimbingnya kepalaku agar bersandar di pundaknya.

"Jika aku sedang mengandaikan diriku sendiri sebagai salju, apa kamu juga tidak akan mempercayaiku?"

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang