Adrian POV.
"Kemana Elisabeth?" tanya nenek di sela-sela makan siang kami.
"Dia pergi menjenguk mama-nya nek." Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.
"Oh...." Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.
Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.
"Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek." Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.
Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.
'Bisakan kita bertemu?'
Aku berfikir sejenak. Apa yang diinginkan gadis itu sekarang?
'Untuk apa?'
Untuk beberapa saat tak ada jawaban. Ponselku hening. Namun ketika aku hendak meletakannya kembali di meja, benda pipih itu kembali bergetar.
'Apa kamu tidak penasaran dengan bayangan-bayangan wanita yang sering menggangumu itu?'
Aku terdiam sesaat. Kulirik nenek yang masih sibuk dengan makanannya, sepertinya wanita itu tidak tertarik dengan siapa aku berbalas pesan.
Isi pesan dari Samantha benar-benar membuatku tertarik. Aku benar-benar penasaran dengan wanita yang sering muncul di otakku itu. dia terlalu familir untukku dan sering membuat hatiku tidak nyaman.
"Nek, setelah makan siang aku ingin keluar." Kataku kemudian setelah menjawab pesan Samantha dengan kalimat singkat 'baiklah'.
"Kemana?" nenek menatapku. "Ini hari minggu, apa kamu tidak ingin bersantai saja di rumah."
"Tiba-tiba aku ingin mencari angin nek." Sahutku.
Nenek mengangguk. "Iya. Tapi jangan pulang terlalu malam, karena nenek tidak suka makan sendirian."
Aku tersenyum. "Tentu saja nek." Aku meremas tangan keriputnya.
*****
Samantha sudah menungguku di depan sebuah gedung apartement. Saat melihat mobilku, ia langsung turun dan menutup pintu. Senyumnya mengembang, namun bukan lagi semacam senyum penuh ketertarikan lagi seperti dulu. Aku tidak ingin berprasangka buruk, hanya saja sepertinya ia begitu membenciku.
"Dimana ini?" tanyaku. Kepalaku mendongak ke atas, pada gedung apartement tinggi di depan kami.
"Mencari jawaban, atas semua pertanyaanmu." Sahutnya lalu beranjak meninggalkanku. Sedangkan aku berjalan mengikutinya.
Samanta menekan tombol angka lima belas di depan lift, dan tak lama kemudian pintu lift itu terbuka. Aku pikir Samantha akan melakukan basa-basi seperti biasanya, namun kali ini gadis itu hanya terdiam tak mengatakan apapun. Aku menghela nafas pelan, dan hanya memandangi punggungnya karena ia berdiri di depanku.
Saat pintu lift kembali terbuka di lantai lima belas, Samantha berjalan menuju sebuah unit yang berada di lorong paling ujung.
"Ini apartement siapa?" tanyaku ketika kami sudah berada di depan pintu bercat putih. Beberapa detik aku terpaku, sepertinya tempat ini tidak asing. Seolah aku sudah sering keluar masuk lewat pintu ini. Namun aku tidak ingat, kapan aku kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...