10

117 8 0
                                    

            Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku.

"Kapan hari liburmu El?" tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt.

"Setiap hari minggu aku libur." Jawabku acuh tak acuh.

"Bagus!" soraknya girang. "Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini."

Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipulaapakahiaadalah orang yang banyak waktu sampai bisa menjempuku setiap minggu. Dari sekian kalimat yang David katakan padaku, entah kenapa aku enggan mempercayainya.

"Tidakusah." Sahutkuketus.

"Kenapa?"

"Karena ini terakhir kali kita bertemu." Walau aku sendiri tidak yakin. Dengan segala caranya, David pasti akan mencoba untuk bertemu denganku.

David tertawa renyah. "Terserah apa yang kamu pikirkan El." Sahutnya.

Aku beranjak meninggalkannya dengan tidak peduli setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih.

Petang sudah menyapa dan hawa dingin memaksaku untuk semakin mengeratkan mantelku. Seperti biasa, rumah keluarga Smith tampak lengang. Hanya terlihat Justin dari kejauhan sedang mencuci mobil padahal petang ini benar-benar dingin.Aku cukup heran dengan pria itu. Ketika semua orang berusaha untuk berdiam diri di dalam rumah mencari kehangatan, ia justru asyik bermain air.

Aku berjalan terus menuju pavilliun belakang untuk segera istirahat, namun sebelumnya aku ingin singgah dulu di kamar Adrian untuk memastikan apakah dia sudah makan atau belum. Sebenarnya aku yakin jika Margareth sudah mengantarkan makanannya, namun aku hanya ingin memastikan saja. Juga, ada sekelumit rindu di hatiku karena seharian ini aku sama sekali belum bertemu dengannya.

"Darimana saja kamu?" Suara berat menghentikan langkahku tepat di sisi kolam renang.

Aku menoleh, mencari sumber suara di antara lampu-lampu taman yang bersinar terang. Aku tahu jika itu suara Adrian, namun aku tidak tahu persis ia dimana.

"Ya...ampun apa yang kamu lakukan di sini Adrian? Di sini dingin!" sahutku saat aku sudah melihat sosoknya bersandar pada tembok pavillium. Sedang memperhatikanku dengan tatapannya yang tajam.

"Hanya menunggumu." Jawabnya acuh tak acuh.

Aku menghela nafas berat. Bergegas menghampirinya dan melepaskan mantelku. Udara dingin langsung menyapaku saat mantel tebal itu lepas dari tubuhku. Biarkan aku sok menjadi wonder women di sini, karena aku yakin Margareth akan memarahiku jika tuan muda ini masuk angin.

"Seharusnya jika keluar rumah pakailah mantel. Baju ini tidak cukup hangat Adrian." Protesku. Tanganku sibuk memakaikan mantelku padanya. Saat kupegang, tangannya sangat dingin sedingin es. Berapa lama dia berada di sini?

"Mari kita masuk. Akan aku buatkan teh." Aku menarik lengannya namun ia dengan cepat menahannya. Justru ia yang sekarang menarik tanganku dan memposisikanku tepat berada di depannya. Tangannya terulur dari belakang, memasukkan badanku di mantelnya.

Tentu saja aku terkesiap kaget. Tubuhku yang tadi sempat beku tiba-tiba menghangat begitu saja. apalagi saat aku merasa jika nafasnya teratur megenai leherku yang terbuka karena rambutku kuikat ke atas.

"Biarkan seperti ini dulu El. Aku sudah menunggumu di sini lama sekali." Dia mengeratkan dekapannya, membuat aku sampai tak bisa bernafas karena gugup.Pipikumemanas, aku yakin gletser pun akan mencair jika terkena suhu tubuhku.

Aku terdiam dalam posisiku, begitu juga dia. Pikirankujustru melayang pada kunjunganku ke apartement Lily. Jika Adrian tahu siapa Lily, mungkinkah ia akan semakin frustasi? Jika Adrian mengingat Lily, mungkinkah ia masih bisa melakukan hal seperti ini padaku? Jika tiba-tiba ingatan Adrian kembali, mungkinkah ia masih mengingatku?

Akh, kenapa hatiku terasa ngilu saat memikirkan itu? Adrian tampan, dan meskipun ia sedikit 'sakit' namun masih tetap menawan dan berkharisma. Tatapan matanya yang tajam sanggup membuatseseorang bertekuk lutut begitu saja di depannya. Dan aku takut, jika dia terus memperlakukankuseperti ini, aku akan tersihir olehnya.

******

Adrian pov.

Aku mendengarnya bertelpon dengan seseorang semalam. Dari jawaban-jawaban yang Elisabeth berikan aku yakin jika itu dari seorang pria. Bukannya aku sok tau, tapi aku punya insting yang hebat akan hal itu. Dan pagi ini tanpa sengaja akutahu siapa penelpon semalam, ia adalah pria yang kami jumpai di cafe. Mantan kekasih Elisabeth. Aku tidak mengenalnya, tapi entah kenapa aku tidak suka saja saatmelihatnya. Dia seperti pembohong. Tidak...tidak....dia playboy. Wajahnya memang tampan, tapi dia terlihat menyebalkan.

Seharusnya Elisabeth menolak saja saat dia mengajaknya bertemu, tapi ternyata gadis itu jutru sudah berpakaian sangat rapi dan berdandan sangat cantik pagi ini. setelah memastikan aku sudah makan dan sudah mandi, dia bergegas pergi dengan alasan ingin bertemu mamanya. Padahal aku tahu jika dia hendak bertemu playboy itu.

Seharian ini hatiku tidak tenang. Ada yang aneh di sana. Semacam perasaan kesal, tidak rela dan was-was. Aneh bukan? Aku terus menerus membuka tirai jendela kamarku sepanjang siang, namun batang hidungnya tetap tidak tampak. Aku ingin menelponnya, namun aku tidak punya ponsel. Baiklah...besok aku akan meminta nenek membelikanku ponsel dan memasukkan nomorku di ponsel Elisabeth dengan huruf besar.

"Bagaimana keadaanmu Adrian?" tanya Nenek sore ini saat kami duduk di meja makan.

Aku mengangguk. "Baik nek." Jawabku jujur. "Aku rasa aku tidak perlu obat-obatan lagi."

Nenek menaikkan alisnya. Meskipun dia percaya kalimatku, namun akuyakin jika nenek dan dokter Antony tak mungkin menghentikan obat-obatku begitu saja. Bagaimanapun juga aku adalah pasien dengan ganguan psikologis. Tidak mungin akan benar-benar sembuh, suatu waktu pasti akan kambuh lagi.

"Kalau kamu sudah membaik, bagaimana kalau kita coba untuk jalan-jalan ke perusahaan." Tawar nenek.

"jalan-jalan?" aku tidak mungkin menerima kalimat itu secara hafiah bukan?

Nenek meletakkan garpunya. "Iya, nenek sudah tua Adrian. Jika kamu benar-benar sehat, nenek ingin kamu menggantikan posisi nenek."

Aku terdiam. Bukannya tidak mau, namun aku takut penilaian orang-orang padaku jika aku masuk ke perusahaan nanti. Sebenarnya sebelum kejadian dua tahun lalu, aku sempat mengurus perusahaan dan itu berjalan sangat baik. namun aku tidak yakin dengan kinerjaku sekarang.

"Bagaimana?" tanya nenek kemudian.

Aku mengangguk pelan bersamaan dengan deru mobil yang berhenti di depan rumah. aku melompat dan membuka jendela, melihat pria itu dan Elisabeth di dalamnya. Hatiku sebal melihat itu, apalagi saat kulihat pria itu tertawa akrab bersama Elisabeth.

"Nek, aku ke kamar dulu." Pamitku. Padahal makanan di piringku belum habis.

"Lho, makanmu belum habis Adrian."

"Nanti malam biar Margareth yang mengantarnya ke kamarku." Jawabku tanpa menoleh, bergegas meninggalkan rumah utama dan berhenti tepat di depan kolam renang. Bersandar pada tembok untuk menunggunya.

Sialnya, aku lupa memakai mantel hangatku, dan yang terjadi aku membeku sekarang.

****

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang