13

115 7 0
                                    


            Aku kecewa. Seharusnya bukan respon semacam itu yang kudapat darinya ketika menerima ciuman dariku. Kedua kali aku menciumnya, dan ia selalu menolaknya dengan cara seperti itu. Apakah dia tidak menyukaiku? Atau apakah aku tak pandai berciuman? Sepertinya bukan itu, karena aku rasa, akucukup handal dalammelakukan hal itu.

Aku tercenung, menghela nafasku berkali-kali. setelah dia memberiku obat tadi pagi, aku menyuruhnya untuk membantu Margareth membuatkan kue untukku. Sebenarnya aku tak ingin kue, hanya saja aku sedang merasa canggung dengannya. Bukan tidak mungkin bukan aku menciumnya lagi jika terus bersamanya apalagi di dalam kamar ini hanya ada kami berdua. Aku akui tidak bisa menahan keinginanku setiap mulutnya bergumam lagu Ave Maria atau ketika ia menatap mataku dan memperlihatkan senyumannya. Dia begitu indah, lembut dan tentu saja menggoda.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Seseorang muncul dari baliknya dan cukup membuatku terkejut.

"Kevin?!"

Pria yang kusebut Kevin itu mendekatiku dengan tawa kecilnya. Dia adalah sepupuku, dan selama ini tinggal di Kanada. Meskipun kami saudara, bukan berarti kami dekat. Ada banyak hal di diri Kevin yang tak aku sukai, terutama kegemarannya bermain dengan wanita.

"Halo sepupuku tersayang..." dia mengangkat gelas yang sejak tadi dibawanya. "Aku dengar kau mulai membaik."

Aku beranjak dari sofa.

"Ya....seperti yang kamu lihat." Aku memasukkan tanganku di saku celana. "Ngomong-ngomong apa yang membawamu kemari?"

Kevin meneggak sodanya. "Tidak ada...hanya ingin memberimu selamat atas kesembuhanmu." Jawabnya.

Mataku memicing tidak percaya. Ayolah, aku tahu siapa pria berbadan tegap di depanku ini. Dia bukan tipe orang yang akan memberikan selamat untuk kesembuhanku. Lagipula tidak mungkin juga bukan dia rela jauh-jauh datang dari Kanada hanya untuk mengatakan itu. aku tahu, dia punya niatan lain.

Ya, selama ini dia berharap sekali nenek memberikan perusahaan padanya. Mungkin itu alasan logisnya datang Hungaria, untuk meyakinkan nenek.

"Terimakasih...." anggukku tak antusias. "Aku tidak menyangka jika kau berubah banyak setelah bertahun-tahun tidak menemuiku."Ku akui pria ini memang tampan, segala sesuatu di tubuhnya benar-benar memikat. Hanya saja, ketampanannya itu ia salah gunakan untuk menarik wanita-wanita masuk kedalam dekapannya. Meniduri mereka, lalu meninggalkannya begitu saja.

Kevin hanya tertawa mendengar kalimatku. "Oh ya bagaimana hubunganmu sekarang, apa kamu masih......" dia menggantung kalimatnya, hanya melirikku sekilas dengan sorot mata tajamnya yang sangat aku benci.

"hubungan apa?" Aku menaikkan salah satu alis.

"Akh tidak....aku lupa jika ingatanmu masih belum kembali sempurna." Kekahnya yang justru membuat kupingku terasa panas. Dia sedang menghina keadaanku sekarang. andai saja kondisiku lebih baik dari sekarang, mungkin kepalan tanganku ini sudah mendarat di pipi mulusnya. Seperti dulu, kita sering bertengkar untuk semua hal.

"Adrian....kue-mu sudah....." tiba-tiba Elisabeth muncul begitu saja di depan pintu. tangannya membawa baki berisi dua potong kue coklat dan teh panas.

"Maaf....ada tamu rupanya." Dia hendak berbalik namun suara Kevin tiba-tiba menginterupsi.

"Dia siapa?" aku melirik Kevin yang memandan Elisabeth tanpa berkedip. Cih, aku benci ini. tatapan mata itu seakan menelanjangi Elisabeth. Aku yakin jika sekarang pria berambut coklat ini sedang berfantasi dengan pikirannya karena melihat wajah Elisabeth yang cantik.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang