40

75 6 0
                                    

Adrian POV.

"Lihatlah.... Indah sekali pemandangan malam di sini...." Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.

"Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu." Ia mengeratkan tangannya di lenganku.

Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. "Lilly....." aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.

"Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah...katakana saja!"

aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.

"Apa kamu bahagia bersamaku?" tanyaku kemudian.

"Sangat."

"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari rambutnya. Lilly memang memiliki wangi yang khas, salah satunya adalah wangi lavender yang sangat disukainya.

"Menjadi seorang pelukis yang mendunia!" Sahutnya lantang. "Aku mungkin akan se-terkenal Van Gogh."

Aku tertawa, bukannya meledek namun bangga dengan apa yang dikatakan kekasihku. Lilly memang mempunyai bakat lukis yang luas biasa. Bahkan beberapa karyanya sudah menang di acara lomba. Aku yakin suatu saat ia pasti akan menjadi seorang pelukis terkenal.

"Aku mendukungmu Lilly sayang...." Gumamku kemudian sambil mengusap-uap bahunya dengan tanganku.

"Tentu saja kamu harus mendukungku Adrian. Jika bukan kamu siapa lagi?!"

Lantas aku memeluknya dengan gemas.

*****

"Adrian....Adrian....!" gadis itu berteriak memanggilku yang sedang duduk sambil membaca buku di kursi taman kampus.

Gadis dengan kucir kuda itu berlari-lari dengan tawa mengembang sambil membawa selembar kertas yang diangkatnya tinggi-tinggi.

Aku menutup buku yang kubaca lalu berdiri. Beberapa detik kemudian, Lilly sudah menjatuhkan tubuhnya di pelukanku. Aku tertegun melihat sikapnya siang ini, bukan karena beberapa mahasiswa lain yang melihat kami berpelukan—karena mereka sudah tahu betapa romantisnya hubungan kami—hanya saja, lilly terlihat lebih ekspresif dari biasanya.

"Apa hal yang membuatmu begitu bahagia?" tanyaku kemudian.

Lilly mengendurkan pelukannya lalu menatapku.

"Ini." Ia mengulurkan kertas yang sejak tadi dipegangnya dengan erat. "Bacalah...."

Aku menerima kertas itu dan membuka lipatannya yang masih rapi. Sesaat kemudian, mataku membola dan senyum langung melebar dari sudut bibirku. Mengertilah aku apa sumber euphoria Lilly siang ini.

"Astaga!" aku kembali memeluknya dengan erat. "Selamat Lilly....!"

Gadis itu mengangguk dalam pelukanku. Aku mengerti kenapa ia begitu ekspresif kali ini, karena pencapaiannya yang begitu luar biasa. Ia mendapatkan undangan untuk sebuah acara pameran lukis di pusat kota. Meskipun masih berada di dalam negeri, pameran lukis ini akan dihadiri oleh orang-orang dari penjuru dunia. Bahkan aku sering mendengar, beberapa pelukis memulai kariernya di pameran lukis ini yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Dan sebuah kejutan bagi Lilly ketika ia menjadi satu dari sekian banyak orang yang terpilih.

"Aku turut bahagia denganmu Lilly." Aku mengecup pipinya lalu turun ke bibirnya.

Dalam hati aku ingin melakukan sebuah hal besar sebelum pameran lukis itu dimulai.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang