Elisabeth POV.
"Aku pikir kau tidak akan datang." David menyambutku dengan senyuman mengejeknya di balik kemudi.
Aku menutup pintu mobil, lalu menoleh padanya. "Kalau aku benar tidak datang, apakah kamu akan pulang?"
Pria itu tertawa, lalu menyerahkan segelas kopi padaku. "Ini...minumlah..."
Aku menerima kopi itu dengan sedikit ragu.
"Tenang, aku tidak menaruh racun sianida di dalam situ."
Aku menimang-nimang kopi itu sebelum akhirnya memegangnya dengan erat. "Aku juga tidak berfikir begitu." Klik! Aku berhasil memasang seat belt dengan satu tanganku. "Aku hanya berfikir, jika kamu menginginkan sesuatu dariku ketika memberikan sesuatu seperti ini."
David tersenyum sinis sambil melajukan kendaraannya.
"Apa kamu selalu berfikiran buruk tentangku El?" tanyanya tanpa menoleh.
"Iya." Sahutku jujur dan langsung membuat mata pria itu melebar sempurna.
"Jujur sekali?" tolehnya sekilas.
"Semenjak kamu menghilang tiba-tiba waktu itu, aku memang tidak sedikitpun menaruh kepercayaan padamu Dav." Sahutku diplomatis. Aku mengatakan hal itu dengan berani dan tentu saja sepenuh hatiku.
David tertawa.
"Ternyata kamu pendendam juga ya?"
Aku mengedikkan bahu, lalu menyesap kopiku. "Ya....begitulah..."
"Jadi, kita mau kemana?" tanyaku ketika David tidak juga memberitahuku arah perjalanan kami.
"Hanya temani aku jalan-jalan saja. Aku bosan." Sahutnya santai, kini coupe yang dikemudikannya sudah berada di jalan raya. Suasana tidak ramai, matahari pun seakan sedang mendukung perjalananku dengan David kali ini. Sangat cerah, meskipun dingin tetap tidak bisa ditolerir. Cuaca seperti ini memang sangat mengasyikkan jika aku bisa melakukannya bersama Adrian. Namun sayang, aku justru bersama David. Orang yang benar-benar tidak tepat.
"Jadi, kamu pikir aku tidak punya pekerjaan?" sahutku emosi.
"Bukankah kamu libur?" David balik bertanya.
Aku menatapnya dari samping. Melihat secara tidak sengaja garis hidungnya yang mancung, lalu mengingatkanku tentang masa lalu, dimana aku sangat suka mencubit hidungnya tersebut.
"Aku memang libur, tapi bukan berarti aku punya waktu untukmu jika kamu hanya akan mengajakku berkeliling kota seperti ini."
"Terserah El. Aku memang tidak akan pernah bisa melawan perkataanmu." Ia terlihat putus asa.
"Jadi kemana kamu akan mengajakku?"
David kembali menoleh padaku. "Lihat nanti, kita akan menyusuri jejak sejarah."
Sejarah? Aku tidak tahu apa yang dimaksud David, tapi ya....mungkin ia akan mengajakku berkeliling ke museum.
*****
Ternyata, sejarah yang dimaksud David dengan apa yang aku maksud sangat berbeda makna. Ku kira ia akan mengajakku ke museum, atau tempat bersejarah lain di kota ini. Namun ia malah mengajakku ke sebuah kampus.
"Kamu mau mendaftar kuliah lagi?" tanyaku sedikit bercanda. Kami berjalan bersisian di sebuah jalan utama yang menghubungkan antara satu fakultas dengan fakultas lain.
"Apa kamu pikir otakku masih bisa menerima pelajaran dengan baik?"
Aku tertawa. "Mungkin saja." Sahutku santai.
"Ini kampus Adrian Smith dan Lily Watson." Papar David dan membuatku otomatis menghentikan langkah. Aku yang sejak tadi tidak peduli, kini justru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tiba-tiba saja, aku seperti merasakan kehadiran mereka berdua di setiap sudut kampus. Adrian dan Lily yang menghabikan banyak waktu di taman sekolah, bergandengan di sisi jalan, atau bahkan saat Adrian yang menganggu Lily saat sedang sibuk melukis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...