25

72 7 0
                                    

Elisabeth POV.

Aku melihat Andreas duduk terpekur di kursi tunggu rumah sakit dengan air muka keruh. Di sampingnya, berdiri Rebecca dengan wajah yang tak kalah cemas. Sesekali ia mengintip ke dalam IGD melalui jendela kaca buram itu, namun aku tahu jika hasilnya nihil karena di dalam banyak aktivitas dan ia juga tidak tahu mama di periksa di bagian mana.

"Bagaimana mama?" langkahku terhenti tepat di depan Andreas.

Pria itu mendongak menatapku, sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Adrian yang mengikutiku dari belakang. Mungkin Andreas terkejut karena aku tidak datang sendirian. Begitu juga Rebecca, ia juga menatap Adrian dengan ekspresi yang serupa.

"Tadi tiba-tiba ia pingsan El." Rebecca yang menjawab. Ia berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. "Tenanglah, dokter pasti bisa merawatnya dengan baik."

Aku mengangguk pelan, meskipun kalimat Rebecca sama sekali tidak bisa mengobati perasaanku. Semua orang pasti terkejut, terlebih aku. Belum genap sehari aku meninggalkan mama setelah pertemuan kami tadi pagi, dan tiba-tiba saja sebuah telepon membuatku melompat dari tempat tidur lantas bergegas menuju rumah sakit dengan perasaan kalang kabut.

Aku tidak pernah menyangka jika mama akan kembali tumbang. Pagi tadi, ia bilang kondisinya sangat baik bahkan bisa berlari. Membuatku percaya bahwa kondisi mama memang sudah kembali seperti sedia kala.

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Adrian membimbingku untuk duduk dan menepuk pipiku pelan. Perlakuan Adrian berhasil membuat Rebecca dan Andrean menoleh pada kami, namun mereka tidak mengatakan apapun. Mungkin hari ini bukan saat yang tepat untuk bertanya banyak hal padaku dan Adrian tentang hubungan macam apa yang kami jalani sekarang.

Dokter bilang, mama hanya kecapekan. Hal yang wajar bagi seseorang yang bermasalah dengan jantungnya dan sempat dioperasi mengalami hal seperti ini. Sejujurnya aku merasa lega mendengar bahwa mama baik-baik saja, namun aku ingin memarahi Andreas karena tidak bisa menjaga mama dengan baik dan membuat mama kecapekan seperti ini.

"Mama yakin tidak apa-apa?" tanyaku ketika mama sudah siuman. Hanya ada kami berdua di dalam kamar ruang rawat inap ini. Andreas pamit pulang untuk mengambil Nick di rumah salah satu saudara, sedangkan Rebecca dan Adrian berada di luar.

Mama mengangguk lemah. "Mama sudah bilang kan, kalau bisa berlari?" senyumnya terkesan dipaksakan. Mungkin agar aku tidak terus menerus khawatir. "Hilangkan ekspresi tegangmu itu dan tersenyumlah...."

Aku berdecak. "Ayolah ma, jangan sok kuat." Protesku sambil merapikan selimut yang menutupi tubuh mama. "Apa Andreas membuat mama banyak bekerja keras? Kalau iya, aku akan buat perhitungan dengannya nanti!"

"El..." mama meremas tanganku. "Jikapun mama kecapekan karena jatuh sakit, itu karena mama sendiri. Andreas tidak pernah menyuruh mama bekerja, mama saja yang terlalu memaksakan diri. Mengerti?"

Aku tak menjawab.

"Jadi, jangan mengatakan apapun yang membuat paman Andreas sedih. Dia sangat mengkhawatirkan mama dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mama."

Aku kembali tak menjawab. Aku tahu jika mama adalah seorang wanita pekerja keras yang tidak bisa tinggal diam saja di rumah. Ia pasti akan melakukan semua hal untuk menyibukkan diri. Hanya saja, aku sedang ingin mencari pelampiasan atas keadaan mama yang tiba-tiba turun. Setidaknya meskipun mama bersikeras bekerja berat, seharusnya Andreas melarang bukan? Dan jika mama keras kepala, ia bisa sedikit memaksanya.

"Dengan siapa kamu datang El?" tanya mama kemudian, mengalihkan pembicaraan. Matanya beralih pada pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Dari celah pintu itu, terlihat Adrian yang sedang duduk berbincang dengan Rebecca. Entah apa yang mereka bicarakan, namun mereka tampak akrab.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang