33

65 6 0
                                    

Elisabeth POV.

Aku tahu dia kecewa dengan kalimatku, namun aku yakin ia tak akan mungkin merasakan hal demikian jika ia masih mengingat masa lalunya. Aku hanyalah butiran debu, hanyalah sebuah obyek yang menghubungkannya dengan masa lalunya. Adrian memang kehilangan ingatan tentang gadis itu, namun ia tak kehilangan kenangan dan impian bersamanya.

Kami terdiam di dalam mobil, bahkan ketika sampai di pavillium pria itu langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apapun padaku. Sejujurnya hatiku sakit,dan sejujurnya aku juga ingin sekali menikah dengannya. Namun aku tidak mau hanya sebagai penghubung dengan masa lalunya.

Setelah membersihkan diri, aku segera naik ke atas kasur. Badanku sedikit demam karena terpapar udara dingin dan hujan. Bagaimana tidak, aku hanya mengenakan mantel yang tidak terlalu tebal lalu udara dingin serta hujan benar-benar membuat tubuhku membeku.

Aku tidur miring menghadap ke jendela. Di luar, hujan masih terdengar turun namun tak sederas tadi. Aku berusaha memejamkan mataku ketika mendengar suara pintu kamarku di buka, dan suara derap langkah menuju ke arahku. Aku tahu pemilik derap itu, makanya aku tak menoleh. Justru malah pura-pura tidur.

"Apa kamu sudah tidur?" tanya Adrian sambil merebahkan tubuhnya di belakangku.

Ia lantas menarik kepalaku agar tidur di dadanya.

"Kenapa kamu datang?" gumamku sambil menghirup dalam-dalam aroma sabun mandi yang dipakainya. Sangat enak apalagi bercampur dengan aroma tubuhnya yang khas.

"Aku merasa kasihan melihatmu tidur sendirian." Ia menciumi pucuk kepalaku.

Aku mengulas senyum, lalu memainkan kancing piyama tidurnya.

"Kamu demam?!" tanya pria itu ketika tangannya mengelus leherku.

"Aku sudah minum obat." Sahutku tenang. "Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."

Ku dengar ia mendengus. "Ini pasti gara-gara pakaianmu yang kurang tebal. Apalagi tadi hujan."

Aku tertawa.

"Kenapa tertawa El, apa yang lucu?"

Aku mendongak, lantas mengecup bibirnya sekilas. "Apa kamu sudah tidak marah padaku lagi?" tanyanku.

"Sedikit." Adrian memeluk pinggangku dengan salah satu tangannya. "Tapi karena melihatmu demam, aku sudah tidak marah lagi padamu."

"Mudah sekali hatimu luluh Adrian?" aku menaikkan alisku. "Kalau begitu kapan-kapan aku akan pura-pura sakit lagi jika kamu marah."

"Apa?!" Adrian menggigit hidungku pelan. "Aku tidak akan percaya."

Aku tertawa dan kembali menciumi dadanya.

"Setelah aku pikir-pikir pernikahan bukan segalanya El." Gumam Adrian sambil mengelus rambutku perlahan. "Kita tidak perlu menikah bukan untuk bersama? Pernikahan hanya selembar surat, yang terpenting adalah hati kita. Lagipula kita juga masih bisa punya anak meskipun tidak menikah. Maafkan aku membebanimu."

Aku tidak menyahut. Mataku berkaca-kaca. Apalagi mendengar ia sudah membicarakan tentang anak. Siapa yang tak ingin menikah Adrian? Apalagi memiliki seorang anak darimu. Itu luar biasa, dan aku sangat menginginkannya. Namun, semua ini terasa semu bagiku. Hubungan kita bahkan perasaanmu. Apalagi setiap apa yang kamu katakan, selalu berhubungan dengan Lilly. Bahkan tentang pernikahan di Gereja di atas bukit di Korea itu.

"Apakah kamu ingin punya anak dariku?" aku kembali mengangkat dagu ketika sudah bisa mengontrol hatiku.

Pria itu menunduk, menatapku dengan sorot mata penuh harap. Akh, hatiku ngilu melihatnya.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang