04

157 9 0
                                    

                Adrian POV.

Elisabeth Soedarjo.

Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik.

Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yangnenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku 'kalau tidak karena uang, tidak sudi aku merawat orang gila sepertimu.' Apa mereka tidak tahu jika aku tidak tuli, aku hanya apatis.

Biasanya, mereka akan meninggalkanku sendirian di kamar setelah tugas mereka selesai. tapi dia tidak. Dia justru mengajakku mengobrol, meskipun aku tak pernah merespon. Dia selalu menceritakan tentang negaranya yangindah yaitu Indonesia. Hey..... apa dia tidak tahu jika aku jugaberdarah Indonesia dan pernah tinggal disana beberapa tahun?

Baru kali ini aku antusias sekali berada di sampingnya. Karena meskipun aku tak pernah merespon kalimatnya, dia tetap sabar menungguku, terkadang sambil membacanovel dan terkadang bernyanyi. Ave maria menjadi lagu andalannya dan suaranya sangat merdu.

Setiap pagi dia selalu membuka pintu disamping tempat tidurku lebar-lebar agar aku bisa merasakan hangat mentari pagi dan juga udara bersih. Meskipun dingin, namun ini nyaman. Padahal dulu aku selalu merasa jika aku tak butuh sesuatuyang membuatku nyaman atau yang membuatku sehat. Bahkan terkadang aku berharap jika oksigen di dalam kamarku ini tiba-tiba lenyap, dan bahkan aku berharap jika salah satu dari penjagaku itu adalah psikopat dan meracuni makananku.

Apa lagi? Aku benci hidupku seperti ini. kehilangan sebagian memori masa lalu yang sangat ingin aku ingat, mimpi-mimpi buruk yang hadir hampir setiap malam yang membuatku memiliki gangguan kecemasan dan berakhir dengan depresi. Entah sudah berapa dokter jiwa yang merawatku, tapi tak ada yang membuahkan hasil. Karena aku benci kehilangan memori ini. Aku yakin jika aku memiliki masa lalu yang indah, tapi aku tak tahu apa itu. Apalagi ada sebuah nama yang selalu membuat dadaku membuncah setiap mengingtanya.

Lily...

Nama yang tidakasingbagaiku, namunmembuathatikungilusetiapmeningatnya. Seolah, namaitusedangmengutukku di suatutempat, namunterkadangnamaitumembuathatikuberbunga-bunga.

Tapi lagi-lagi, aku tak mengenal siapa pemilik nama itu.

******

Aku mendengar langkah kaki mendekatiku dengan bau lavender yang begitu familiar di hidungku. Lagi-lagi bau itu menyadarkan kebisuanku. Aku lantas menoleh, wajah familiar itu tengah berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

"Lily...?" kembali lagi hanya nama itu yang berhasil dari mulutku. Nama asing yang selalu terngiang-ngiang di otakku. Padahal namanyabukan Lily, akutahuitu. Hanyasajaakusukamemanggilnyabegitu.

"Saya Elisabeth tuan muda...." dia mendekatiku dengan perlahan tapi pasti.

Aku menghela nafas, lantas kembali menatap keluar kamarku. Menatap beberapa tukang kebun yang sedang membersihkan taman.

"Apa tuan muda tidak merasa pengap?" dia kembali bersuara, berjalan melaluiku lalu membuka kunci pintu kaca di depanku. "Saya rasa sedikit sirkulasi udara sangat bagus untuk kesehatan anda."

Aku tak menyahut. Setiap pagi itulah kalimat yang diucapkannya padaku, seolah sedang mengingatkan sebuah hal penting agar aku tidak lupa.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang