18

95 4 0
                                    

Elisabeth POV.

Berulang kali aku menarik gordyn jendela, berharap melihat langkahnya memasuki halaman depan pavillium dan akhirnya mengetuk pintu kamarku. Tapi kenyataannya, sudah lebih dari setengah hari aku menunggu, tak kulihat sosok itu. Yang ada hanya beberapa pelayan yang hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing.

Aku menggerutu dalam hati. Bahkan aku masih ingat dengan sangat jelas bahwa Adrian mengatakan akan segera pulang setelah pertemuan. Nyatanya ia sedang berbohong kali ini.

Aku mengusap wajahku dan jerit ponsel membuatku melonjak dari tepi jendela, lantas menghambur menuju kasur.

Rebecca Calling....

Aku sedikit kecewa ketika nama yang muncul di layar ponsel bukan nama Adrian, namun nama sepupuku—Rebecca. Namun aku tak punya alasan untuk tak mengangkat telepon sepupuku itu, aku yakin ada suatu hal yang ingin dikatakannya.

"Halo...."

"El...." Lengkingan nyaring menusuk telingaku.

Aku menjauhkan ponselku dari telinga. Lengkingan suara Rebecca di atas rata-rata itu membuat telingaku berdenging.

"Bisa tidak kamu bersuara pelan saja Rebecca? Aku tidak tuli!" dengusku sebal.

Rebecca justru tertawa. "Sorry El....aku lupa bahwa kamu tidak suka dengan suara nyaring melengking ini."

Aku tidak menjawab. Kembali pandanganku menatap hampa ke halaman, tidak ada sosok Adrian yang muncul di sana.

"Kenapa kamu menelponku?" tanyaku kemudian.

"Ingin mengundangmu ke pesta."

"Pesta?" aku mengerutkan kening. "Pesta apa?"

"Hari ini ulangtahun café dan bosku mengadakan pesta. Bisakah kau datang?" tanya Rebecca. "Please, aku butuh teman."

Aku terkikik. "Apa kamu lupa dengan kekasih yang kamu cumbu di café waktu itu?" ejekku. "Ajaklah dia."

"Hey....aku sudah putus dengannya."

"Hah?!" aku melongo. "Putus? Secepat itu? Aku kira kau akan menikah." Kekahku dengan bercanda. Aku tahu sebuah 'pernikahan' adalah suatu hal yang mustahil bagi Rebecca.

"Jangan mengejekku El. Kami bertengkar beberapa hari lalu dan....putus." sahut Rebecca tanpa terdengar sedih sedikitpun. Aku mengenal Rebecca dengan baik, dia memang tidak akan ambil pusing jika masalah hidup hanya seputaran cinta. Karena aku yakin, sebentar lagi pasti ia akan menemukan pacar baru.

"Jadi bagaimana? Apapun alasanmu, kamu harus tetap datang!" Seru Rebecca lagi ketika aku tidak segera membuka mulut.

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke halaman. Siluet Adrian belum tampak, dan aku rasa aku memang butuh keluar rumah. Terkadang aku masih trauma dengan yang terjadi semalam dan hatiku tidak tenang. Sedikit mendapatkan udara segar mungkin akan membantuku menghilangkan stress.

"Baiklah. Tunggu aku...." Aku mematikan ponselku, dan setelah sekali lagi mengecek halaman depan lewat jendela dan memastikan Adrian belum juga muncul, akhirnya aku berlalu masuk kamar mandi.

****

Sebenarnya aku tidak begitu menyukai pesta. Suara yang berisik, bau rokok, bergelas-gelas alcohol dan orang-orang mabuk bagiku bukan sebuah hal yang indah dan pantas dinikmati. Apa hebatnya membuat diri sendiri pusing, lalu kehilangan setengah dari kesadaran lantas berjoget-joget sendiri dan melakukan sesuatu di luar nalar? Aku lebih suka berdiam diri di kamar, membaca novel atau menyanyi. Aku malu mengakui, tapi suaraku cukup bagus didengarkan. Buktinya Adrian menyukai suaraku.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang