20

104 5 0
                                    


Elisabeth POV.

Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi.

Berkali-kali aku menggigit bibir, merapal kan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku.

Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan.

"Anda tunggu di sini." Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ialu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas.

Berkali-kali aku berjalan bolak-balik dari satu sisi ke sisi lain, menggigit kuku dengan cemas lalu kembali melayangkan pandang pada pintu yang masih tertutup rapat. Berharap dengan sangat bahwa pintu itu terbuka dan sosok dokter ataupun perawat muncul dari dalam sana dan mengatakan bahwa Adrian sudah siuman.

"Elisabeth....." suara nenek Anna membuatku menoleh. Wanita yang berjalan dengan sedikit kesulitan karena usianya itu tergopoh menuju ke arahku diiringi dengan Margareth dan juga Justin. Pria itu tadi melepaskanku dan Adrian di dalam ambulance, sedangkan ia kusuruh untuk menemui nenek Anna dan memberinya kabar.

"Apa yang terjadi?" nenek Anna membelai lenganku ketika kami sudah saling berhadapan.

"Emm...itu....itu...." aku menggigit bibirku lagi, tidak mungkin aku mengatakan pada wanita ini bahwa tadi kami sedang bercinta dan Adrian tiba-tiba tidak sadarkan diri. Tidak ada satupun orang di rumah yang tahu hubungan kami, dan aku rasa aku juga harus menjaga rahasia ini.

"Tadi kami minum di gudang anggur, dan Adrian tiba-tiba berteriak sambil memegangi kepalanya nek." Sahutku dengan mata berkaca-kaca, dan akhirnya aku menangis terisak. Penuh dengan rasa bersalah.

"Sudah.....sudah....dia akan baik-baik saja El." Nenek Anna kembali menenangkanku, meskipun aku tahu sorot matanya tidak mengatakan hal itu. aku tahu ia juga cemas, lebih cemas dari diriku malah.

"Mari kita duduk El, kamu harus beristirahat." Margareth membimbingku untuk duduk di sebuah bangku, sedangkan Justin membantu nenek. Wanita itu ijin pergi sebentar, kemudian kembali membawa dua gelas kopi panas untukku dan Justin, dan the hangat untuk nenek.

Waktu kian merangkak malam, dan udara semakin dingin.

Setelah menunggu sekitar satu jam, pintu ruangan resusitasi itu akhirnya di buka. Menyembulkan sosok pria dengan jas dokter putih dari sana diikuti seorang perawat yang menyuruhku untuk menunggu tadi. Kami bernafas lega ketika dokter mengabarkan bahwa Adrian baik-baik saja dan kini sudah di bawa ke ruang perawatan.

Akhirnya, setelah memastikan kondisi Adrian yang tertidur nyenyak ,nenek dan Margareth permisi untuk pulang. Itupun karena aku yang meminta. Kondisi rumah sakit tidak bagus untuk nenek Anna yang sudah tua. Akhirnya, Justinlah yang mengantarkan mereka dan aku sendirian yang menjaga Adrian malam ini di rumah sakit.

*****

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan aku masih belum terpejam. Mataku tertuju pada seraut wajah yang tertidur pulas di tempat tidur. Sangat nyenyak—seperti bayi. Sangat kontras dengan beberapa jam lalu, ketika ia merintihkesakitan dengan wajah memerah sambil memegangi kepalanya.

Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Angin musim dingin menderu-deru menampar jendela. Bisa aku pastikan jika di luar sangat dingin, karena menurut berita beberapa hari lagi salju memangakan mulai turun.

Aku mendesah pelan, entah kenapa pikiranku berputar-putar. Pada mama, papa di Indonesia dan pada nasibku yang sekarang terdampar di sini. Merangkai sebuah takdir bersama dengan Adrian Smith. Seorang pria keturunan bangsawan, terpandang di kota ini dan sekarang menjadi kekasihku.

"El......" suara rintihan membuatku menoleh.

Aku menghela nafas lega. Adrian tampak membuka mata dan menatapku.

"Aku di mana?" tanyanya berusaha untuk mengangkat tubuhnya namun aku cegah.

"Jangan. Kamu tidak boleh terlalu banyak bergerak sekarang." Pintaku. Sebenarnya dokter tidak berpesan apa-apa padaku, hanya saja aku takut jika Adrian terlalu banyak bergerak, ia akan kesakitan lagi.

Pria itu tersenyum samar. "Aku di rumah sakit?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk. "Iya. Tadi kamu pingsan."

Aku mendengarnya menghela nafas. "Maafkan aku." Ia mengelus pipiku yang mulai basah dengan air mata. "Sudah membuatmu cemas."

"Aku benar-benar sangat cemas. Ada apa denganmu....?" Tanyaku beriringan dengan isakan. Tangis yang sejak tadi aku tahan, akhirnya tumpah.

"Aku tidak tahu. Ketika mencium aroma lavender dari rambutmu, tiba-tiba kepalaku sakit. Bayangan-bayangan wanita itu kembali menggangguku El."

Aku tak bergeming. Tak tahu apa yang harus aku katakan sekarang. Aku tidak bisa menjawab jika wanita yang datang tiba-tiba di pikirannya adalah Lily. Cinta masa lalunya. Apakah sekarang Lily tidak terima saat Adrian bersamaku?

Oh Tuhan.....salahkah aku mencintainya?

Oh Lily....tenanglah kau di surga!

"Tidak apa-apa. Kamu mungkin terlalu capek." Sahutku pada akhirnya. "Kamu harus segera tidur." Aku merapikan selimut untuk menutupi dadanya.

"El...." Adrian meraih tanganku. "Jangan pergi."

"Aku tidak akan pergi. Aku akan menemanimu semalaman di sini."

"Maksudku...." Pria itu terdiam sejenak. "Tidurlah bersamaku. Disini...." Ia menggeser tubuhnya dan menyisakan tempat kosong di sampingnya.

"Tidur....di ranjang bersamamu?" wajahku memerah.

"Aku janji tidak akan melakukan apapun. Aku hanya butuh memelukmu agar aku tenang."

Akh....aku tahu jika kamu juga tak akan melakukan hal itu ketika tubuhmu begitu lemah seperti ini Adrian.

"Tapi jika nanti ada perawat yang—"

"Aku mohon."Ia menatapku lekat-lekat. Membuatku tak bisa menolak.

Aku menghela nafas pelan, lalu merebahkan diriku di sampingnya. Kini kami tidur saling berhadapan. Wajahnya yang pucat begitu terlihat jelas, namun senyum di wajahnya tak berhenti berpendar. Ia tampak begitu bahagia berada di sampingku. Begitu pun juga aku.

"Janganbergerak." Adrian mengalungkan lengannya di pinggangku ketika aku menggerak-gerakkan badanku mencari posisi yang nyaman. "Kalau kamu bergerak-gerak, nanti kita akan jatuh."

Aku menahan nafas. Memang benar kasur rumah sakit ini begitu sempit, jika kami banyak bergerak, salah satu dari kami pasti akan jatuh.

"Apa kamu tadi ketakutan my sweety?" Adrian menyelipkan anak rambut di belakang telingaku.

Aku sedikit terkejut ketika Adrian tiba-tiba memanggilku dengan panggilan 'sweety'. Sebuah panggilan sayang yang aku yakin baru diberikannya padaku.

"Sangat." Sahutku. "Apa kepalamu masih sakit?" aku mengelus pucuk rambutnya yang lebat.

"Tidak." Adrian meraih pergelanganku, dan menurunkan tanganku perlahan. Diciumnya punggung tanganku dengan pelan.

"Aku sudah baik-baik saja sekarang. Bahkan setelah melihatmu, aku merasa sangat sehat." Sahutnya, lalu mengecup pipiku lembut.

Aku menahan nafas. Lagi-lagi selalu seperti mimpi ketika ia menciumku seperti ini. Nafasnya yang hangat menyapu wajahku dan sentuhannya membuatku menegang tiba-tiba.

"Baiklah, bagaimana kalau kita tidur sekarang?" Adrian menarik selimutnya untuk menyelimuti tubuhku.

Aku mengangguk, dan akhirnya kami tertidur pulas dengan saling memeluk.

***** 

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang