41

92 6 0
                                    

Elisabeth POV.

Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.

"Adrian....kamu sudah bangun." Aku tersenyum penuh syukur.

Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.

"Apa...kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?" Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.

Aku menoleh.

"Kenapa tidak mengatakan padaku?" suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.

"Mengatakan apa?" aku berusaha menahan suaraku yang bergetar.

"Kalau Lilly sudah meninggal."

Aku membeku di tempatku. Lututku terasa lemas sekarang. Jadi Adrian sudah mengingat semuanya, dan aku tahu ia tentu saja akan menyalahkanku karena tak meberitahunya sejak dulu. Meskipun aku tahu bahwa hal ini pasti terjadi dan aku sudah menyiapkan hatiku jauh-jauh hari, namun rasa sakit di dadaku tetap tak bisa aku tahan.

"Aku—aku hanya—"

"Kenapa?!" bentak Adrian. Suaranya menggelegar mengejutkanku. "Kenapa kamu tidak mengatakan padaku bahwa aku pernah mempunyai seorang kekasih dan dia meninggal karena kecelakaan dan itu salahku. Kenapa?!"

Aku mundur satu langkah. Rasanya menyakitkan ketika melihat Adrian menyalahkan dirinya sendiri seperti ini.

"Itu bukan salahmu Adrian. Semua itu kecelakaan dan itu adalah takdir." Aku berusaha menenangkannya.

"Tidak, ini salahku!" teriak Adrian histeris. Meskipun kejadian itu sudah berlalu beberapa tahun lalu, namun bagi Adrian itu seperti baru terjadi kemarin.

"Adrian. Jangan menyalahkan dirimu seperti itu." nenek Anna muncul dari balik pintu diikuti Margareth di belakngnya. "Kamu tidak salah, dan dia sudah pergi!" nenek berjalan mendekat. Aku menunduk, sedang Adrian terlihat dingin dan tak seperti biasanya. Apakah ia juga menyalahkan neneknya karena tak memberitahu semuanya?

"Kenapa nenek kemari?" benar dugaanku, Adrian bersikap begitu dingin pada wanita yang selalu setia mendampinginya selama ini.

"Nenek ingin bertemu kamu Adrian....."nenek Anna tersenyum, tak peduli dengan raut muka Adrian. "Apa kamu sudah baik-baik saja?"

"Apa nenek benar-benar peduli denganku?"

"tentu saja Adrian. Kami semua peduli padamu."

"Kalian bohong!" Adrian menggebrak ranjang. Suasan hatinya naik—turun dengan cepat. "Kalau kalian peduli padaku....." mata Adrian nyalang menatap kami satu persatu. "Kalian tidak akan mungkin menutupi kecelakaan Lilly dariku selama ini."

Nenek mendesah pelan. "Kami tidak ingin membuatmu menderita Adrian."

Adrian berdecih. "tapi nenek lupa, kalau akhirnya aku juga tetap menderita. Aku kehilangan Lilly nenek, seorang wanita yang benar-benar aku cintai."

Mendengar kalimat Adrian kembali hatiku teriris-iris. Benar aku sudah menyiapkan hatiku, dan benar apa yang dikatakan David selama ini bahwa Adrian tidak benar-benar mencintaiku.

Sialan kamu David! Gara-gara dirimu juga Adrian sekarang kembali mengingat tentang adikmu dan membuatku patah hati.

"Adrian...." Nenek ingin mendekat kepada cucunya, namun Adrian menggeleng cepat.

"Aku kecewa pada nenek." Katanya lalu menatap MArgareth. "Padamu juga Margareth." Lalu ia menatapku. "Dan kamu juga Elisabeth. Aku benar-benar kecewa padamu."

"Maafkan aku." Gumamku sangat lirih.

"Aku tak ingin melihatmu lagi."

Aku menunduk. Sudah tidak kuat lagi menatap matanya yang penuh dengan kekecewaan itu. hatiku pedih, terasa seperti disayat-sayat oleh ribuan belati. Memang benar, aku tak seharusnya berada di sini. Dan aku juga tak seharusnya memberikan seluruh hatiku padanya. Karena ketika ingatannya kembali, aku hanyalah setitik debu yang tak berarti.

*****

Aku mengambil sebutir obat magh-ku lalu mengunyahnya dengan pelan.rasa aneh menyergap mulutku ketika obat itu ikut larut bersama salivaku dan akhirnya turun menuju lambungku. Untuk mengurai rasa aneh di mulutku, aku segera mengambil gelas minumku lalu menenggaknya sampai habis.

Setelah merasa cukup nyaman, aku kembali memasukkan beberapa lembar bajuku ke dalam koper. Aku berencana untuk pulang ke rumah mama, tinggal di sana beberapa hari sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. tugasku merawat Adrian sudah cukup, bersamaan dengan perasaannya yang juga sudah padam kepadaku. Berkali-kali ia menyebutku pembohong karena tak mengatakan semua yang terjadi padanya.

Tok...tok...tok....

Pintu diketuk dari luar. Dan aku tahu jika itu adalah MArgereth. Wanita itu sudah mengirimiku pesan singkat jika akan datang ke kamarku.

"Masuk."

Pintu terbuka dan benar Margareth muncul dari sana.

"Apa kamu benar-benar akan meninggalkan rumah ini El?" wanita itu berjalan mendekatiku. Matanya tertuju pada tumpukan bajuku di dalam koper. "Tidak bisakah kamu tinggal saja? Adrian hanya emosi, ia pasti akan kembali baik lagi."

Aku menaruh beberapa lipatan baju diatas pangkuanku lalu menghela nafas. Ku tatap Margareth yang kini duduk di sebelahku. "Tugasku sudah selesai MArgareth, dan dia juga sudah tidak membutuhkanku."

"Tidak El. Aku yakin ia hanya terkejut saja." Margareth masih berusaha meyakinkanku.

Aku menarik nafas panjang, membuang pandangan ke luar jendela—pada taman merpati. Perasaan hampa dan kosong menyisiri hataiku. Aku ingat bagaimana kami bertemu, aku ingat bagaimana pertama kali ini ku ajak ke taman merpati, dan setelah itu kami banyak menghabiskan waktu disana, dan aku juga teringat malam-malam penuh hasrat yang menggelora diantara kami, yang ternyata semua hilang bagaikan mimpi.

"Sejujurnya, aku bahagia ingatannya telah kembali." Gumamku kemudian.

Margareth tidak menyahut. Ia hanya menatapku dengan iba.

"Aku sering merasa prihatin melihatnya hidup tanpa kenangan apapun bersama Lilly Watson."

Margareth berdecak lirih. "Aku tidak tau, terbuat dari apa hatimu itu El."

Aku tersenyum mendengar pujian dari Margareth. Mungkin sudah takdirku, jika selalu saja ditinggalkan oleh lelaki. Butuh waktu lama bagiku untuk melupakan David, padahal cintaku pada pria itu tak sebesar cintaku pada Adrian. Jadi butuh waktu berapa lama aku harus melupakan seorang Adrian Smith? Apakah seumur hidup?

Setelah selesai membereskan semua barang-barangku, aku berpamitan pada Nenek, Margareth dan juga Justin. Berkali-kali nenek Anna mengucapkan kalimat maaf padaku, dan merasa menyesal telah memperkenalkan Adrian dengan Samantha, padahal Adrian adalah kekasihku. Aku terkejut waktu nenek mengatakan hal itu. berarti nenek sudah tahu hubungan kami, dan aku yakin jika Margareth yang memberitahunya.

Semua orang mengantarku sampai depan gerbang dengan wajah sendu. Bahkan nenek dan Margareth terlihat menitikkan air mata. Entah apa yang membuat mereka begitu sedih. Apakah karena aku meninggalkan mereka, atau karena Adrian marah kepadaku dan tidak lagi menganggapku?

Taxi yang aku tumpangi berhenti di depan rumah sakit dimana Adrian di rawat. Aku bermaksud untuk berpamitan pada pria itu sebelum pulng. Namun saat aku datang, ia bahkan hanya mengangguk dan sama sekali tidak menahanku.

Kembali dadaku terasa sesak.

Aku menenteng koperku dengan langkah berat. Memaksa hatiku untuk menerima ini padahal terasa sangat berat. Namun inilah kenyataannya, bahwa aku memang tak berjodoh dengan pria itu.

**** 

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang