01

350 14 0
                                    

                Hawa dingin langsung menyapaku tatkala aku baru saja turun dari pesawat pagi ini. bandara Budapest Ferihegy terlihat megah dan bersih, tak banyak berubah dari kedatanganku setahun yang lalu. Ya, biasanya aku akan datang kemari setahun sekali, untuk memperingati ulangtahun mama dengan Andreas—papa tiriku.

Namun belum genap setahun, aku sudah haru kembali ke sini dan meninggalkan semua aktifitasku di Jakarta. Itu dikarenakan mamaku sakit.

Itulah kabar yang aku dapat dari Rebecca—sepupuku kemarin.

"Ada penyumbatan di jantung tante Lita. Dia membutuhkan operasi segera." Kata gadis itu dari balik tetepon dan tentu saja langsung membuatku tak bisa memejamkan mata sedikitpun sejak aku menerima kabar tersebut. Bukan masalah penyakit jantung mama yang membuatku khawatir, karena aku yakin jika dokter-dokter jantung di sini amat sangat bisa diandalkan. Hanya saja aku memikirkan biaya untuk pengobatan mama, karena setahuku jika pembedahan dan obat untuk penyakit jantung itu tidak murah.

"Sorry....apa aku telat?" sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang.

Aku tahu pemilik suara itu. Rebecca sudah berdiri di belakangku. Gadis berambut cepak dengan mantel hitam dan angkle boot's itu menatapku dengan cengiran khasnya.

"Oh...kapan kamu datang?" tanyaku.

"Baru saja." jawabnya. "Apa kau sudah menungguku sejak tadi?"

"Tidak. Aku juga baru sampai." Dia mengangguk saja lantas menggamit tanganku.

Kami berdua berjalan beriringan menuju parkiran. Tempat dimana mobil sedan era tahun sembilan puluhan milik Andreas terparkir.

"Apa kamu sudah makan El?" tanya Rebecca sambil memasang sabuk pengaman. Beberapa menit kemudian, gadis berambut pirang itu berhsil keluar dari parkiran dan melajukan mobilnya pelan.

"Sudah tadi di pesawat." Jawabku. Mataku berkeliling memandangi interior mobil klasik cenderung butut ini dengan seksama.

Aku ingat jika mobil bekas ini dibeli oleh Andreas saat menikah dengan mamaku dulu.

"Apa tidak ingin makan lagi? Burger mungkin atau makanan lainnya sebagai cemilan?"

Aku menggeleng. "Makanan di pesawat cukup enak, dan aku menghabiskannya tadi."

Sejujurnya aku tak nafsu makan. Pikiranku terus berada di rumah sakit. Dimana mama terbaring lemah tak berdaya di sana. Aku bisa membayangkan betapa cemasnya Andreas karena pria itu sangat mencintai mamaku. Delapan tahun lalu, mereka pertama kali bertemu di Bali. Saling jatuh cinta dan menikah. Tak ada alasan bagiku untuk tidak merestui hubungan mereka karena aku tahu jika mama juga masih membutuhkan sosok seorang lelaki setelah perceraiannya dengan papa. Hanya saja saat mama dan Andreas menawariku untuk ikut mereka ke Budapest, aku menolak. Aku lebih memilih tinggal di Indonesia karena aku malas beradaptasi dengan lingkungan baru apalagi di luar negeri. Dan Rebecca ini adalah keponakan Andreas yang sudah ikut dengannya sejak dia masih kecil.

****

Aku berjalan beriringan bersama Rebecca masuk ke dalam rumah sakit. Sesekali kami terlibat pembicaraan kecil mengenai penyakit mamaku. Dia bilang aku harus segera mendapatkan uang untuk operasi itu karena penyumbatan jantung mama sudah serius. Rebecca juga mengatakan sebenarnya mama sering merasa sesak nafas dan tidak enak badan, tapi dia selalu menolak setiap kali Andreas mengajaknya ke rumah sakit. Sampai akhirnya dua hari lalu mama benar-benar kesakitan dan mau tidak mau dia harus pergi ke rumah sakit untuk periksa.

Rumah sakit cukup ramai, kami melewati poliklinik yang kursinya hampir penuh oleh para pengunjung yang ingin check-up. Berkali-kali kami berpapasan dengan orang-orang denga wajah payah dan pucat karena sakit. Aku sebagai orang yang sehat memberi mereka jalan.

"Ayo El, dokter bilang ingin bertemu denganmu..." Rebecca mempercepatlangkahnya. Menyalip seorang pria diatas kursi roda bersama dua orang wanita.

Aku mengikutinya. Namun belum sampai aku kembali mensejajari Rebecca, sebuah tangan mencekal pergelanganku. Aku terkesiap, reflek langsung memutar badanku.

"Lilly....?" suara itu terdengar merdu di telingaku.

Aku mengerjapkan mata tak mengerti. Dia seorang lelaki yang duduk di atas sebuah kursi roda. Wajahnya tampan, dengan alis tebal dan hidung mancung. Kulitnya putihnya lebih terkesan pucat.

"Maaf anda salah orang." Kataku kemudian. Namun dia tak bergeming, justru semakin erat meremas pergelanganku.

"Adrian....kamu....?" Seorang wanita yang terlihat sudah tua mendekati pria yang dipanggil Adrian itu. wajahnya tampak terkejut, pun juga wanita yang lebih muda yang tadi mendorong kursi rodanya juga tak kalah terkejut. Mereka berdua menatapku dan pria itu bergantian, dan aku semakin bingung.

"Akh kepalaku...." pria bernama Adrian itu tiba-tiba melepaskan tangannya dariku dan memegangi kepalanya. Dia mengerang dan terlihat kesakitan.

"Adrian...Adrian....kamu kenapa?!" wanita tua itu menggoyang-goyangkan tubuh pria itu. "Margareth....Margareth.....cepat panggilkan dokter!" wanita bernama Margareth itu mengangguk kemudian berlalu begitu saja dengan berlari.

"El.....apa yang kamu lakukan?!" teriakan Rebecca menyadarkanku.

"Ini....." Aku bingung. Merasa jika pria ini kesakitan karena aku.Sejujurnya, aku paling tidaktegamelihat orang kesakitansepertiini.

"Cepat! Kita sudah ditunggu dokter!"

Aku mengangguk.

"Maafkan saya... Anda salah orang tuan." Sekali lagi kupertegas padanya bahwa aku bukan orang yang dia maksud sebelum akhirnya berlalu menyusul Rebecca yang sudah menungguku.

"Siapa?" Lirik Rebecca pada pria itu. "Sepertinya dia tidak baik-baik saja." seorang dokter dan dua orang suster terlihat berlari ke arahnya diikuti oleh wanita yang dipanggil Margareth tadi.

Aku mengangkat dagu. "Entahlah....mungkin salah orang." Diam-diam aku bernafas lega karena dia sudah mendapatkan pertolongan.

***** 

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang