Elisabeth POV.
Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasienpun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit.
"Ini mirip seperti de'javu." Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku.
Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El." Ia mendongak menatapku. "Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana."
"Apa itu menyakitkan?" tanyaku membelai pucuk telinganya.
"Iya. Dulu begitu menyakitkan." Sahutnya. "Tapi sekarang tidak."
"Kenapa?" mataku focus ke arahnya.
"Karena ada kamu di sisiku." Ia meraih tanganku dan meremasnya pelan. Tangannya terasa hangat sekali, mungkin hatinya juga demikian.
Aku tersenyum kecil, mengikuti arah matanya yang kembali menatap ke luar jendela.
"Aku ingin pulang." Gumamnya kemudian. "Aku bosan."
"Dokter memintamu untuk tetap tinggal di sini sampai besok Adrian." Kataku tegas. Entah sudah keberapa kali ia terus memintaku agar segera mengurus administrasi untuk meninggalkan rumah sakit. Namun dokter Antony sudah berpesan padaku agar Reinard masih berada di kamarnya, setidaknya sampai besok pagi.
"Tapi makanan rumah sakit tidak enak." Kilahnya.
"Kamu mau apa? Aku bisa membelikanmu di luar. Makanan Asia? Atau yang lain....?"
Dia menggeleng. "Aku tidak mau berjauhan denganmu."
Aku mendengkus, bertepatan dengan pintu kamar yang diketuk perlahan dari luar.
"Masuk...." Kata Reinard bersamaan dengan tangannya yang melepaskan genggamannya dari tanganku.
Sedetik kemudian, pintu kamar ini digeser dari luar. Menyembulkan seorang wanita—mungkin seusia denganku atau mungkin lebih tua setahun—dengan wajah Eropa-nya yang cantik, rambut ikal panjang yang indah, dan posturnya yang menawan dan anggun. Wanita itu membawa bunga dan juga buah di tangannya, terlihat agak kerepotan. Tapi ia kelihatan bisa mengatasi itu semua.
Aku tertegun sekaligus kagum menatap wanita itu. wajah itu masih sangat asing bagiku, dan selama aku bekerja bersama keluarga Smith, aku belum pernah melihat atau mendengar jika Adrian punya keponakan lain selain si brengsek Kevin.
Jadi siapa dia?
"Samantha!" baiklah, akhirnya aku tahu siapa nama wanita ini. Namanya Samantha. Begitulah kekasihku memanggilnya.
Wanita bernama Samantha itu lalu terenyum. Senyum teduh yang aku yakin mampu menggetarkan banyak jiwa.
"Aku dengar kamu sakit Adrian?" ia meletakkan bingkisan dan bunganya di atas meja, lalu berjalan ke arah kami.
"Aku sudah sembuh." Aku tidak mendengar kecanggungan dari kalimat yang dikatakan Adrian padanya. Mereka terlihat akrab, seperti orang-orang yang mengenal dalam waktu yang lama. Apakah dia sahabat Adrian? Apakah mereka sudah mengenal sangat lama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle You (Tamat)
RomanceMungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedangmenunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu ber...