38

65 3 0
                                    

Elisabeth POV.

Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.

Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.

'Apa kamu ada waktu besok El?'

'Tidak!'

'Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.'

Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.

'Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.'

'Apa kamu yakin El?'

'YES!'

(sebuah gambar terkirim)

'Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.'

Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. David mengirimiku foto sebuah cincin, dan aku tahu siapa pemilik cincin itu. kenapa benda itu malah berada bersama David?

"Ada apa El? Kenapa wajahmu pucat begitu?"

Aku buru-buru menutup layar ponselku ketika Adrian tiba-tiba sudah menatapku dengan alis berkerut.

"Kamu dapat pesan dari siapa?" ia masih menatapku dengan bingung. "Atau, apa kamu sakit?"

Aku menggeleng cepat. Aku harus merahasiakan beberapa pesan dari David tadi, apalagi gambar cincin yang baru saja pria itu kirim.

"Akh tidak." Aku menaruh kembali ponsel di sampingku. "Hanya Rebecca yang memberitahuku bahwa ibuku sedikit masuk angin."

Adrian meletakkan bolpoint yang dipegangnya lalu naik ke atas sofa dan duduk di sampingku.

"Apa yang terjadi dengan ibumu?" ia meremas tanganku. "Apa kamu butuh pulang sekarang untuk menjenguk?"

Aku menggeleng. Rasanya sedikit bersalah harus membohongi Adrian yang polos dengan cara seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak siap melihatnya kembali mengingat masa lalunya lewat cincin bermata biru safir itu.

"Tidak Adrian. Mama hanya masuk angin kecil. Kata Rebecca aku tak perlu pulang."

"Syukurlah...." Sahut pria itu lega. "Setidaknya malam ini aku tak sendirian."

Aku mengelus pipinya lembut. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian Adrian." Bisikku lalu membenamkan wajahku di dadanya yang bidang.

*****

"El sini...!" David melambai kepadaku ketika aku baru saja masuk ke dalam café. Pria itu tersenyum lebar dan menyambutku dengan kilatan mata bahagia. Namun berbeda denganku, Setelah menarik nafas panjang aku baru melangkah ke arahnya.

"Ada perlu apa kamu menemuiku?" tanyaku lugas.

David menaikkan salah satu alisnya.

"Apakah kamu tidak bisa duduk?" ia mengedik pada bangku kosong di depannya. "Aku rasa bangku itu kosong."

Aku memutar bola mata malas. Tanpa mengatakan apapun, aku langsung menggeser kursi dan duduk di sana. Dengan tidak nyaman.

"Apakah kamu sakit?" tanya David setelah beberapa saat hanya memperhatikanku.

"Kenapa?"

"Wajahmu pucat."

"Oh...." Aku mengelus pipiku. "Tadi asam lambungku naik." Aku memang sempat sedikit mual dan minum obat magh sebelum datang. Sudah lama aku memiliki penyakit asam lambung, namun baru kali ini kambuh lagi. Mungkin terlalu stress memikirkan pertemuanku dengan David hari ini.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang