09

118 8 0
                                    

            Elisabeth pov.

Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya.

Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan 'ayo besok keluar untuk minum kopi El.' Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandaidalammengaduk-aduk perasaanku.

Kami pacaran cukup lama. Sekitar tiga tahun selama kami kuliah di Jakarta. Dia adalah pria keturunanTionghoa- Jerman-Indonesia. Orangtuanya tinggal di luar Jerman, dan dia tinggal bersama neneknya. Tiga tahun lalu, ia tiba-tiba saja meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas dan pindah ke luar negeri.Diabenar-benarhilangdansamasekalitidakadakabar. Sebagaiwanita yang tersakiti, takada yang bisaakulakukanselainmenangisdanmengutukinyasetiapmalamdengansumpahserapah yang akuteriakkan di dalamhati.

Namunsialnya, kenapaakhirnya kami dipertemukan di sini? Dari semua negara di dunia ini kenapa iamemilihHungaria? Kenapa tidak Jepang, Amerika, Singapura atau Australia?

"El, apa yangkamu pikirkan?" Suara David memecah lamunanku. Pria berkulit putih itu menatapku penasaran. "Apa kamu sedang mengingat-ingat kenangan kita dulu?"

Au mendengus, lantas membuang nafas. pandanganku terpaku pada anggota band yang menyanyi di depan sana. Jika mereka menyanyikan lagu Ave Maria, mungkin aku akan ikut berdiri dan bernyanyi sekarang.

"Ayolah....jangan pasang muka cemberut seperti itu setiap melihatku!" dia menarik daguku agar menatapnya. "Maafkan aku. Please...." katanya memelas.

"Aku sudah memaafkanmu Dav." Jawabku pelan. "Hanya saja bukan berarti kita bisa berteman. Mengerti?"

"Kenapa?"

Aku berfikir sejenak, mencoba mencari alasan. Sebenarnya tak masalah, hanya saja aku tidak nyaman. Selain membangkitkan kenangan, aku rasa terlalu mudah setelah dia menyakitiku seperti itu lalu dia datang dan mengajakku berteman.

"Apa salah jika mantan kekasih bisa berteman?" lanjutnya, menatapku dengan raut wajah serius. "Apa kamu takut jika pacarmu itu marah?"

"Pacarku?" aku menujuk diriku sendiri.

"Iya.... Adrian Smith!" Jawabnya. "Bukankah kalian bersama? Dia menatapku dengan pandangan menusuk sekali kemarin."

"Kok kamu tau dia Adrian Smith?" tanyaku penasaran. Sebenarnya seterkenal apa pria itu di sini sampai seseorang seperti David pun mengenalnya.

David tertawa miring.

"Seleramu berubah rupanay El. Kamu berpacaran dengan orang yang...."Iamenggantungkankalimatnya, namunakutahusebenarnyaapa yang iamaksud."Apa dia sudah sembuhdarisakitnya? Atau karena dia kayajadikamubersediaberpacarandengannya?"

Aku melotot kesal. "JagamulutkamuDav!" tegaskusewot. Akubencisetiapmendengar orang-orang mengatakanhal-hal negative tentang Adrian. "Diatidaksakitapa-apa. Diatidakgila, hanyasedikitadagangguan di psikologisnya!" belaku.

David tertawa. "Ya....ya...ya....tak ada bedanya. Gila terlihat lebih buruk dan gangguan psikologis terlihatlebih terhormat. Betul tidak?"

Aku tak menjawab, hanya menunduk dan mengaduk-aduk minumanku dengan malas. Kapan dia akan menyudahi sesi pertemuan kami ini? Sejujurnya aku ingin pulang.Akumenyesalsudahberada di sinisekarang. Seharusnyasekarangakubersama mama denganbanyakmenceritakansemuahal yang kulaluiakhir-akhirini.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang