31

72 6 0
                                    

Elisabeth POV.

"Sepertinya kamu punya segudang masalah El?" David tersenyum miring sebelum akhirnya mengambil gelas kopinya dan menyesapnya dengan nikmat.

Aku mendengus. "Sok tau." Aku memainkan gelas kopiku tanpa selera. Sejam lalu ketika pria itu menemukanku di pinggir sungai Danube, ia akhirnya mengajakku ke sebuah café di dekat tempat itu. untuk kali ini aku tidak bisa menolak. Lagipula aku juga sedang tidak ingin pulang dan bertemu Adrian.

"Kalau tidak, kamu pasti akan mengangkat ponselmu yang berisik itu kan?" David mengedik padaku. Sejak tadi ponselku yang berada di saku celana memang terus bergetar dan aku tahu jika itu adalah telepon dari Adrian.

"Aku juga tidak memintanya untuk terus berbunyi seperti ini." Aku mengambil ponselku lalu mematikan dayanya. "Puas?" aku membanting benda pipih itu di atas meja.

David tergelak.

"Apa kalian sedang terlibat sebuah masalah?" ia mengangkat salah satu alisnya. "Kau terlihat frustasi."

"Jangan sembarangan!"

"Kalau begitu apa yang terjadi?"

Aku mendengus, menyandarkan tubuhku di sofa.

"Bukan urusanmu."

"Menjadi urusanku jika itu menyangkut Adrian Smith." Pria itu mengedarkan pandangannya ke segala arah.

"Kenapa bisa begitu?" pelototku kesal. "Kau bahkan tidak mengenal siapa itu Adrian Smith."

David tertawa penuh ejekan. Entah apa yang membuatnya tertawa dengan ekspresi begitu. Tapi wajahnya berhasil membuatku jengkel.

"Ya....karena dia sudah membuat calon istriku bersedih seperti sekarang."

Aku berdecih. Sejak kapan aku bersedia menikah dengannya. Jangankan menikah, untuk berteman saja sebenarnya aku sudah malas. Mungkin hanya hatiku yang sensitif, namun aku merasa jika David kini terlihat jahat. Dari apa yang dibicarakannya, bahkan dari ekspresinya ia terlihat menyimpan sebuah amarah. Tapi aku tidak tahu amarah macam apa itu.

"Sekarang coba pikirkan El." Pria itu membenarkan letak duduknya lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku."Kalau kita tidak berjodoh, tidak mungkin bukan aku menemukanmu di pinggir sungai tadi? Untung saja aku belum terlambat. Jika kau masuk ke dalam sungai, pastilah nama Elisabeth kini hanya tinggal kenangan. Dan Adrian pasti akan menangisimu seperti ia menangisi lily."

"Tutup mulutmu Dav!" sumpah demi apapun, hari ini aku sedang tidak ingin mendengar seseorang menyebut nama Lilly di depanku. Dia mungkin sudah tidak ada, namun secara tidak langsung gadis itu kini menjadi orang ketiga dalam hubunganku bersama Adrian. Mungkin lebih baik aku bersaing dengan seeorang yang masih hidup dan aku bisa bertemu dengannya setiap hari, sehingga bisa bersaing secara sehat. Daripada harus bersaing dengan seeorang yang bayangannya bisa keluar masuk dari pikiran Adrian kemudian menguasainya seperti sekarang.

"Aku benci setiap kali harus bertemu denganmu." Desahku pelan.

"Jangan membenciku El. Kamu bisa jatuh cinta lagi padaku nanti. ingat pepatah bahwa cinta dan benci bedanya tipis?"ia mengedik ke arahku dan membuatku kesal. Harus aku akui pria ini memang masih sangat tampan meskipun menyebalkan. Apalagi ketika ia mengedikkan mata seperti itu. jelas aura playboy-nya muncul, tapi itu seperti medan magnet yang bisa menarik semua wanita agar jatuh ke dekapannya.

"Setelah putus denganku, apa kau punya kekasih lagi Dav?" tanyaku kemudian, mencoba mengisi kekosongan. Aku tidak mungkin menghabiskan kopiku dengan berdiam diri bersama David. Apalagi café begitu ramai dengan anak muda, mereka tampak mesra bahkan ada beberapa yang berciuman di depan mataku. Jadi aku tidak boleh terlihat kaku di depan David, agar mereka tidak mengira aku sedang marahan dengan pacarku.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang