28

74 4 0
                                    

Adrian POV.

"Apa yang kamu lakukan sampai baru pulang Adrian?" tanya nenek ketika aku menyapanya di meja kerjanya malam ini. Masih ada setumpuk dokumen yang berada di depannya, dan nenek juga terlihat belum ingin meninggalkan ruangan itu sekarang. Terlihat bagaimana Margareth tengah menuangkan teh hangat pada sebuah cangkir dan meletakkannya di samping dokumen-dokumen itu.

Aku mencium kening nenek. "Tadi Samantha mengajakku berjalan-jalan dulu nek." Sahutku berbohong. Aku tidak mau mengatakan bahwa aku sempat masuk rumah sakit dan mendapatkan suntikan penenang.

Senyum nenek mengembang. "Apa kalian begitu dekat"? tanyanya kemudian. Aku tidak mengerti dengan 'begitu-dekat' yang dimaksud nenek, namun aku mengangguk. Menurutku kami dekat karena kami adalah teman. Itu juga yang Samantha katakana padaku tadi.

"Bukankah dia cantik?" tanya nenek lagi.

Aku mengerutkan keningku sebelum akhirnya kembali mengangguk samar. Ku lirik Margareth yang tersenyum tipis sambil menunduk. Sungguh aku tidak tahu apa yang kedua wanita ini pikirkan.

"Ya dia wanita, dan tentu saja cantik." Kataku pada akhirnya. Aku tidak ingin menilai Samantha secara spesifik. Bagiku dia cantik karena dia adalah seorang wanita. Dan semua wanita itu cantik—kurasa.

Nenek hanya mengangguk dengan tersenyum. "Ya...dan nenek rasa dia juga anggun."

Aku mengedikkan bahu. Sependapat dengan nenek jika gadis bernama Samantha itu memang anggun. Aura bangsawannya begitu terasa ketika beberapa kali aku bersama dengannya.

Aku datang ke rumah utama memang hanya untuk menyapa nenek kemudian kembali ke pavilliumku. Ada hal lain yang membuat bersemangat untuk pulang, yaitu bertemu dengan seseorang yang begitu aku cintai. Elisabeth. Pasti gadis itu sudah menungguku dengan tidak sabar, seperti beberapa pesan singkat yang dikirimnya tadi sore.

Pavilliumku begitu tenang—seperti biasanya. Perlahan aku membuka kamarku namun tak ku jumpai sosok itu di sana. Aku beralih ke kamar yang tertutup rapat di samping kamarku. Perlahan aku mendorong gerendel pintu, dan melihatnya sedang sibuk membereskan tempat tidur sambil bernyanyi. Karena memunggungiku, ia tak tahu jika aku datang.

Berjingkat aku mendekatinya. Kemudian memeluk pinggangnya dengan erat. Ia tersentak kaget, namun sedetik kemudian berhasil menguasai keadaan.

"Kapan kamu datang?" suaranya lembut menyapa telingaku. Aku mengeratkan pelukanku, lalu menyandarkan daguku di pundaknya.

"Baru saja." Jawabku kemudian mengecup pundaknya yang terekspos bebas. Ia hanya mengenakan dres satin pendek tanpa lengan. Membuat gairahku tiba-tiba melonjak.

Gadis itu menggeliat, nafasnya terhenti tiba-tiba saja bibirku menyentuh kulitnya.

"Geli Adrian...." Desisnya pelan sambil menggeliat.

Aku hanya tersenyum. Mengabaikan kalimatnya yang seperti penolakan, namun sebenarnya ia juga menginignkanku.

"Aku meninginkanmu malam ini." Pintaku. Memoriku berputar pada malam romantic kami beberapa hari lalu. Elisabeth yang sering terlihat malu-malu ternyata memiliki sisi luar biasa ketika berada di atas ranjang.

Aku bisa melihat tubuh itu menegang. "Ta—tapi—" ia tak meneruskan kalimatnya karena tanganku sudah lebih dulu menyusup di balik dressnya. Mengelus lembut perut datarnya lalu naik ke atas. Memainkan ujung dadanya yang kini sudah mengeras.

"Aku tidak bisa menahan diriku El." Aku membalikkan badannya dan kini kami saling berhadapan. Kamu cantik malam ini..." aku merapikn beberapa anak rambut yang berantakan di wajahnya. Di balik temaram lampu kamar, aku melihat wajah polosnya begitu cantik. Dan bibirnya yang sedikit terbuka itu membuatku ingin mengggigitnya sekarang.

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang