36

102 5 0
                                    

Elisabeth POV.

Jemari Adrian erat menaut jemariku ketika kami meninggalkan perempuan bernama Patricia tadi. Aku berjalan menatap punggungnya yang berjalan di depanku dengan banyak perasaan. Meskipun tadi kekasihku itu sudah mengatakan pada Patricia bahwa ia tak mengenal seorang wanita bernama Lilly, tetap saja aku tahu ia memikirkan sesuatu. Sorot mata bahkan kerutan di wajahnya tidak bisa menipuku.

Sampai di meja, kami memesan Conefit de Canard seperti yang kami rencanakan tadi. Suasana meja makan menjadi berubah kaku. Meksipun ku akui makanan berbahan bebek ini cukup lezat, namun melihatnya tak menghabiskan makanannya membuatku langsung tidak berselera makan. aku mengerti, Adrian sedang memikirkan apa yang dikatakan Patricia tadi. Dan aku juga mengerti bahwa cepat atau lambat kekasihku juga akan tahu apa yang telah terjadi padanya.

Selesai makan malam, aku segera mengajaknya pulang. Agar Adrian bisa beristirahat dan tentu saja agar ia tak larut dalam pikirannya. Namun bukannya menyetir sendiri, ia justru mencari sopir agar ia bisa duduk di belakang memelukku. Bahkan semalaman, ia tak memindahkan sedikitpun tangannya dari pinggangku. Kami tidur sambil memeluk hingga pagi menjelang.

*****

Adrian POV.

"Nek siapa Lilly?" tanyaku pagi ini ketika aku mengunjungi nenek di meja kerjanya. Wanita itu sedang khusyuk membuaca buku di mejanya, dan ketika bibirku menyebut nama Lilly, tangannya urung membuka halaman selanjutnya.

"Apa yang kamu maksud?" nenek tak menatapku, ia masih sibuk dengan bukunya. Namun aku tahu jika itu hanya pura-pura.

Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana dan berjalan menuju jendela. Mataku menatap keluar jendela, dimana Elisabeth tengah asyik membersihkan salju. Menjelang pagi, salju-salju kembali turun dan membuat suhu udara semakin dingin.

"Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang perempuan bernama Patricia, dan perempuan itu mengatakan jika ia mengenal Lilly." Aku menoleh pada nenek. "Siapa Lilly nek? Apakah aku mengenalnya?"

Nenek berdeham, lalu tersenyum. "Mungkin Lilly hanya temanmu di masa lalu."

Aku tak menyahut. Kembali menatap nanar ke luar jendela. Nama Lilly tidak asing ditelingaku, dan aku seperti mengenalnya dengan baik. Bahkan beberapa kali nama itu ku sebut, hatiku terasa hangat dan nyaman. Apakah memang terjadi sesuatu antara aku dan Lilly di masa lalu?

"Apakah nenek yakin?" tanyaku sanksi. "Aku rasa aku mengenal Lilly ini dengan begitu baik nek."

"Ya, nenek yakin Adrian." Nenek menutup bukunya lalu berjalan ke arahku." Apa nenek terlihat sedang berbohong?"

Aku menatap manik mata nenek. Aku tidak percaya dengan kalimat nenek yang mengatakan tidak mengenal Lilly. Namun aku teramat mencintai wanita di depanku ini, sehingga alangkah jahatnya aku jika menuduh nenek membohongiku. Nenek sudah banyak berkorban padaku selama ini, bahkan ketika kedua orangtuaku sangat sibuk dengan bisnisnya dan tidak pernah sekalipun menjengukku. Lebih baik aku mencari tahu sendiri tentang Lilly.

"Bagaimana makan siangmu waktu itu bersama Samantha?" tanya nenek kemudian. "Nenek terlampau sibuk untuk menanyakan hal itu padamu."

Aku mengangkat bahu. "Ya...begitulah....."

"Begitulah bagaimana?" tanya nenek. " tuan Jacob menelpon nenek dan meminta untuk mengucapkan rasa terimakasihnya padamu karena sudah membawa Samantha ke rumah sakit. Apa yang terjadi?"

"Hanya cedera kecil nek. Seorang pelayan tidak sengaja menumpahkan air panas di kakinya."

"Astaga!" nenek menutupi mulutnya dengan telapak tangan. "Apakah serius?"

Miracle You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang