Chapter 8

2.2K 175 22
                                    

Tanpa memberi kabar terlebih dulu, Elenor datang ke perusahaan Papanya. Dia mengabaikan seorang karyawan di balik meja resepsionis. Karena baginya mengunjungi Papa bukan hal formal yang harus dicatat dalam buku kunjungan. Bahkan dia bisa datang kapan pun dia mau.

Melihat banyaknya karyawan berlalu lalang membuat Elenor takjub. Menikah dengan Mama benar-benar membuat Papa sukses besar. Tanpa suntikan dari Sang Kakek, mungkin perusahaan Papa masih sebatas ruko yang tidak akan pernah dilihat orang.

Masih dengan itikad sopan, Elenor pun mengetuk pintu ruangan Papa. Lama tidak mendapatkan jawaban, Elenor mengetuknya semakin keras hingga terdengar perintah masuk dari dalam.

"Tidak kah anda punya sopan santun, saya bisa memecat anda jika—"

"Papa." Kalimat dengan nada peringatan itu terhenti ketika suara Elenor memenuhi ruangan. Papa melepas kaca mata bacanya kemudian bangkit dari kursi kebesaran. Dengan citra Papa yang baik, Papa memberikan sebuah pelukan selamat datang serta kecupan di pipi Elenor.

"Putri cantik Papa, kenapa nggak bilang dulu kalau mau datang?"

"Aku kebetulan punya waktu free dan ada yang mau aku bicarakan sama Papa." Wajah Papa seketika memucat. Elenor menyadari bahwa kejadian semalam lah yang mendasarinya. Papa sedang takut terpojokan atas apa yang dia lakukan kepada Mama. "Papa kenapa diam? Apa aku ganggu waktu Papa?"

"Tentu saja tidak, sayang." Papa mengajak Elenor untuk duduk di sofa. Menciptakan suasana yang jauh lebih nyaman dari sebelumnya. "Tapi sebelum kamu berbicara, Papa ingin berbicara lebih dulu."

"Silahkan."

"Kemarin Papa pulang dan Mama tidak menyambut kepulangan Papa dengan baik. Kami bertengkar dan—"

"Papa nggak perlu menjelaskan apapun. Aku sudah tau soal kejadian semalam." Elenor memotong. Muak jika dia harus mendengar pembelaan dari Papa lagi dan lagi. "Sebenarnya aku udah nggak mau ambil pusing lagi soal rumah tangga orang tuaku karena sekarang aku sedang berencana membangun rumah tangga untuk diriku sendiri."

"Apa yang sedang kamu bicarakan?"

"Aku ingin menikah."

"Menikah?" Papa terekjut, sama seperti reaksi Mama semalam. "Dengan siapa? Kamu punya pacar? Kenapa nggak pernah cerita apa-apa ke Papa?"

"Gimana mau cerita kalau Papa selalu sibuk dengan urusan Papa." Sindir Elenor sambil tersenyum miring. "Soal bibit bebet bobot, Papa nggak perlu khawatir. Aku pastikan kalau aku bukan Mama. Aku sangat selektif dalam memilih pasangan. Aku juga nggak mau dimanfaatkan karena nama belakang keluarga."

Wajah Papa pucat pasi. Sindirian yang teramat mematikan.

"Kalau dia memang bukan tipe pria yang ingin memanfaatkan Putri Papa, seharusnya dia yang datang kemari dan mengatakan semua ini kepada Papa, bukan kamu."

"Itu memang yang akan dia lakukan. Maka dari itu aku datang kemari untuk memastikan kapan Papa nggak sibuk dengan urusan Papa yang nggak ada ujungnya itu? Kasihan pacarku. Dia lawyers, jadwalnya padat, bahkan mungkin lebih sibuk dari Papa."

"Kalau soal Putri Papa, Papa selalu punya waktu. Jadi kapan kamu akan mempertemukan kami?"

"Lusa. Di rumah. Aku akan meminta Mama untuk memasak makan malam. Tapi Papa berjanji harus pulang. Bagaimana?"

"Baiklah. Lusa. Papa tidak akan mengambil jadwal lembur demi kamu, Elenor." Papa tersenyum sambil menghusap pundak Elenor.

Kalimat itu terdengar sangat manis namun Elenor tidak terbuai. Papa memang tidak pernah menolak Elenor, tapi Papa selalu punya seribu satu alasan untuk menolak Mama.

LOVE OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang