Chapter 41

2.1K 160 50
                                    

"Ayah bilang Andrew jarang pulang, apa itu benar, Naomi?" Tanya Ethan langsung kepada inti pembicaraan yang memang ingin dia tanyakan kepada Naomi.

Perempuan yang duduk di hadapannya menunduk sejenak sebelum mengangguk ragu.

"Aku sering sendirian di rumah, Than. Kadang kalau aku kesepian aku bakal pulang ke rumah Ibuku sambil ngecek kondisinya. Tapi pernah suatu ketika, aku masih di rumah Ibuku dan Andrew yang udah pulang tanpa ngasi kabar dulu pun marah besar karena aku nggak ada di rumah. Aku tau dia emang setempramen itu tapi kadang-kadang aku masih suka kaget sendiri ngadepinnya. Beda banget sama ngadepin kamu dulu, justru kamu yang lebih banyak sabar dibanding aku. Ini namanya aku lagi kena karma nggak sih, Than?"

Ethan memalingkan pandangan sejenak. Bukan masa lalu lagi yang ingin Ethan bahas sekarang.

"Kamu tau kemana Andrew pergi kalau dia nggak pulang?"

Dengan cepat Naomi mengangkat kedua pundaknya, "Katanya sih urusan pekerjaan, Than. Aku awalnya berusaha untuk maklumin, tapi lama-lama geram juga. Tapi pas aku tanya baik-baik, Andrew pasti marah."

"Bahkan dia bersikap seperti itu terhadap kamu, Istrinya sendiri?"

"Kamu dan Andrew dua orang yang berbeda. Kalau tolak ukurmu menilai sikap Andrew terhadap aku seperti cara kamu bersikap kepada Istri kamu, kamu salah."

Naomi memandang ekpresi wajah Ethan yang masih saja datar. Mungkin untuk pertama kali dia berani berbicara seberani ini di depan orang lain, membicarakan tentang sang suami yang bahkan tidak berani dia ceritakan kepada Ibunya sendiri. Selama ini Naomi selalu memandamnya sendirian dan semua terasa sangat menyesakan.

"Penyesalan memang datang belakangan, and I feel it. Aku sebut ini karma untuk diriku sendiri atas perbuatanku terhadap kamu. Aku nggak mengharapkan kebahagiaan di dalam pernikahanku, tapi aku akan selalu mengusahakan agar anak di dalam perutku bahagia ketika kelak dia lahir. Aku ingin dia disayangi semua orang, termasuk Ibu kamu yang sampai saat ini sepertinya masih sulit menerima aku ditengah-tengah keluarga kalian. Tiap hari aku selalu ingin berubah agar aku bisa dipandang baik oleh Ibu kamu. Aku ingin ditatap seperti cara Ibu kamu menatap Elenor. Jujur, aku iri, Than. Elenor seberuntung itu. Dicintai kamu dengan tulus dan juga diterima dengan sangat baik di keluarga ini."

Naomi tertunduk dan tanpa sadar menjatuhkan air matanya. "Maaf jadi bicara panjang lebar gini ke kamu. Jujur ini adalah kali pertama aku berani bicara dan orang yang aku percayakan masih saja kamu, Than."

"Jangan menangis." Setelah terdiam cukup lama akhirnya Ethan mengeluarkan suara. Naomi mendongak menatap Ethan yang bangkit berdiri dengan binar mata tidak percaya. "Aku akan mencaritahu apa yang sebenarnya Andrew lakukan."

Sudut bibir Naomi tertarik secara perlahan-lahan seolah dia mendapatkan sinar terang dari benang kusut yang ada di kepalanya.

"Aku melakukan ini untuk Ayah dan juga calon keponakanku." Lanjut Ethan menghindari kesalah pahaman.

Naomi ikut bangkit. Tidak bisa membendung betapa leganya dia ketika mendengar kepedulian Ethan. Bahwa tidak semua orang menghakiminya seperti apa yang dia kira. Naomi menutup jarak dan memeluk Ethan. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa bersikap selancang itu, tapi ketika dia menjatuhkan kepalanya di pundak Ethan, tangisannya justru semakin keras. Dia seperti memiliki tempat untuk mengadu.

"Naomi,"

"Sebentar aja, Than." Ucap Naomi ditengah-tengah tangisannya. "Please. Pinjam bahu kamu sebentar."

Tubuh Ethan kaku dengan tangan terkepal di kedua sisi, membiarkan Naomi menangis semakin kencang hingga dia merasakan sisi kemejanya yang basah. Tapi dia tidak akan menyentuh Naomi untuk alasan apapun.

LOVE OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang