Ketika Elenor membuka mata dengan rasa pening yang langsung menyerang kepalanya, hal pertama yang dia lihat di sebelahnya bukanlah Ethan. Melainkan sebuah buket bunga yang tampak tidak terlalu segar lagi.
Elenor mengambil secarik kartu yang tersisip pada bunga tersebut. Membaca tulisan tangan Ethan yang sangat rapi untuk ukuran seorang laki-laki.
sorry, sorry, sorry, don't be mad at me anymore, please?:)
Sudut bibir Elenor tertarik pelan walau tidak selepas biasanya. Dia kembali terpejam, mengingat apa yang sudah terjadi kemarin. Saat dia kembali ke rumah sakit usai menemui Kakek dan dia benar-benar tidak menemukan konsentrasi untuk sekedar melanjutkan pekerjaan.
Cristian ada di sampingnya. Mendampinginya bertemu beberapa pasien. Dia tidak menunjukan jati diri Elenor yang sebenarnya sampai Cristian bertanya-tanya namun Elenor terlalu malas untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain.
Hal terakhir yang Elenor ingat, dia menawarkan Cristian untuk menemaninya minum setelah jam praktik keduanya usai dan kendati dia sedikit mabuk pada saat itu dia ingat bagaimana dia dan Cristian saling bertukar saliva di meja bar.
Elenor menyentuh bibirnya. Sialan, mengapa kemarin dia harus ikut serta mengajak Cristian?
Sebuah suara terdengar dari arah pintu kamar yang terbuka. Ethan masuk dengan sebuah nampan ditangannya. Elenor berusaha mendudukan diri namun dia kembali didera rasa pusing.
Ethan buru-buru meletakan nampannya pada nakas untuk membantu Elenor. Dia meletakan bantal di balik punggung Elenor agar perempuan itu nyaman.
"Kepala kamu sakit?"
"Iya."
Ethan mengambil semangkuk sup di atas nampan yang masih mengepulkan asap. Elenor mengamati gerakan tangan Ethan mengaduk dan meniupnya pelan-pelan.
"Makan dulu mumpung masih hangat, abis itu langsung minum obat pereda sakit kepala."
Dengan hati-hati Elenor menerima mangkuk sup itu dari tangan Ethan. Menyuapi satu sendok ke dalam mulut setelah meniupnya, "Beli sup dimana pagi-pagi?"
"Sup buatan aku."
"Buatakan kamu?"
Ethan mengangguk, meyakinkan. "Rasanya aneh?"
"Enggak kok." Ini enak sekali. Elenor bahkan tidak tahu jika Ethan memiliki bakat terpendam.
Suap demi suap masuk ke dalam mulut Elenor hingga sup lezat itu habis dalam waktu yang cukup cepat. Elenor sadar bahwa sedari tadi Ethan mengamatinya dalam diam. Tanpa bicara apa-apa. Entah, hubungan mereka kembali terasa kikuk setelah banyak hal yang mereka lewati usai pernyataan cinta Ethan.
"Minum obatnya dulu." Elenor kembali menerima segas air dan kaplet obat yang Ethan ulurkan. Dia meminumnya dengan cepat. "Menurut aku lebih baik hari ini kamu ijin kerja dulu. Istirahat."
"Ya."
"Kamu mau nurut?"
"Demi kebaikan aku."
"Bagus." Ethan menghusap puncak kepala Elenor. "Aku mau siap-siap dulu."
Elenor mengangguk kemudian kembali merebahkan diri. Tubuh Ethan menghilang di balik ruang ganti. Hari ini lelaki itu mandiri; menyiapkan pakaian sendiri, menyiapkan sarapan sendiri. Dan, Elenor merasa sedikit bersalah karena tidak melakukan kewajibannya.
Lagi, pandangan Elenor kembali tertuju pada bunga di sebelahnya.
Mengapa Ethan tidak mengatakan apa-apa soal buket ini?
Mengapa Ethan juga tidak menanyakan bagaimana dia bisa didera sakit kepala?
Ketika Ethan sudah keluar dari ruang ganti dengan penampilan yang sudah rapi, Elenor memejamkan matanya—berpura-pura tidur untuk sekedar menghindari interaksi diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE OF MY LIFE
RomanceSemua bermula dari Elenor, Si Dokter cantik yang tidak pernah percaya akan adanya cinta sejati di dalam hidup. Penyebabnya adalah keluarga. Dia lelah melihat Papa yang selalu merasa insecure dengan apa yang Mama miliki. Dia juga lelah melihat Mama m...