Dengan sabar, Elenor menyandarkan punggungnya di dinding sambil menunggu pintu di sebelahnya terbuka. Rasanya dia nyaris mengerahkan seluruh sisa tenaga hanya untuk mengetuk pintu dan memencet bel akan tetapi si pemilik apartemen tak kunjung membukakan pintu.
Ketika darahnya hampir mendidih akibat menunggu terlalu lama, pintu itu akhirnya terbuka. Ethan muncul dengan sebuah handuk mandi yang melilit di pinggangnya. Badan pria itu masih tampak licin dan basah. Alih-alih meledak, Elenor justru dibuat gagal fokus. Sial.
"Kenapa lama banget buka pintunya? Kaki aku pegal tau."
"Tadi aku lagi mandi, jadi suara belnya nggak terlalu kedengeran." Ethan menyugar rambutnya yang basah, dimana hal itu membuat dia terlihat semakin panas. "Aku pikir kamu cuma iseng-iseng aja nanya alamat apartemenku. Aku nggak nyangka kamu beneran datang."
"Berhubung kita akan menjadi suami-istri, jadi aku sedang mencoba membiasakan diri buat menghabiskan waktu lebih banyak bareng kamu."
Ethan mengangguk paham. Lantas fokusnya berpindah pada sebuah kantung yang digenggam Elenor. "Kamu bawa apa?"
"Oh ini...makan malam buat kita."
"Dalam rangka apa kamu tiba-tiba datang kesini dan bawa makan malam?"
"Karena aku sadar makan malam kemarin—bersama keluargaku—buat kamu nggak nyaman. Jadi aku berinisiatif untuk menggantinya hari ini. Sorry soal sikap Papa kemarin yang terlalu bar-bar dalam merendahkan kamu. Dia emang nggak pernah ngaca, selalu merasa dirinya paling baik. Cih. Tapi serius, Ethan, kamu nggak berniat mundur setelah dinner sialan kemarin itu 'kan?"
"Kalau aku mundur, itu sama artinya aku menjatuhkan martabatku sebagai seorang laki-laki di mata orang tua kamu, terutama Papa kamu."
"Bagus! Anyway, kita nggak akan terus-terusan ngobrol disini 'kan?"
"Sorry, sorry. Silahkan masuk, Ele." Ethan menyingkir dari pintu untuk mempersilahkan Elenor masuk. Sadar jika ruang tamunya masih berantakan akibat dokumen-dokumen dari para kliennya, Ethan pun dengan gesit merapikannya. "Maaf, berantakan banget. Kamu nggak bilang mau datang sih."
"Santai." Elenor menjatuhkan bokongnya di sofa. Sedangkan matanya masih mengamati punggung lebar Ethan yang kini sedang menumpuk berkas-berkas di atas bufet. "Ethan, mending kamu berpakaian dulu."
Ethan berbalik menghadap Elenor, "Kamu terganggu kalau aku cuma shirtless begini di depan kamu?"
"Masalahnya kalau handuk kamu tiba-tiba melorot kan enggak lucu."
"Kamu bukan bocah di bawah delapan belas tahun. Jangan munafik."
Elenor memutar bola matanya, "Terserah. Kalau kamu nggak mau pakai baju, resiko kamu kalau masuk angin."
Kemudian Elenor bangkit dari duduknya sambil menenteng kembali bungkusan makanan yang dia beli beberapa saat lalu.
"Mau kemana?"
"Lebih baik aku hangatin makanan ini dibanding berdebat sama kamu."
Dengan sengaja Ethan menghalangi langkah Elenor. Saat Elenor ke kanan, Ethan ikut ke kanan. Saat Elenor ke kiri, Ethan ikut ke kiri. Hal itu membuat Elenor mendengus sebal.
"Astaga, Ethan. Mau kamu apa sih?"
"Kamu lucu kalau lagi ngambek." Ethan menyentuh pipi Elenor namun perempuan itu buru-buru menghindar. "Oke, aku ganti baju sekarang. Jangan dilanjutin lagi ngambeknya."
Tetap melangkahkan kakinya menuju ruangan yang terlihat seperti dapur dari kejauhan, Elenor menahan senyumnya agar tidak terlihat di depan Ethan.
Untuk ukuran apartemen laki-laki, dapur ini tergolong bersih. Barang-barangnya tertata dengan rapi. Elenor pun dengan mudah menemukan microwave tanpa harus meneriaki sang pemilik. Satu lagi poin plus Ethan Arshakala dimata Elenor.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE OF MY LIFE
RomantiekSemua bermula dari Elenor, Si Dokter cantik yang tidak pernah percaya akan adanya cinta sejati di dalam hidup. Penyebabnya adalah keluarga. Dia lelah melihat Papa yang selalu merasa insecure dengan apa yang Mama miliki. Dia juga lelah melihat Mama m...