"Tadi kamu pergi kemana? Bareng siapa?" Ethan bertanya disela-sela mengunyah makanan. Sedari tadi dia memperhatikan Elenor yang duduk di hadapannya sembari mengotak-atik ponselnya sendiri, entah apa yang sedang di lakukannya dengan benda pipih tersebut sampai tidak mengeluarkan suara usai Ethan menciumnya beberapa saat lalu.
Elenor menyimpan ponselnya setelah cukup lama mengabaikan pertanyaan Ethan, "Ya, tadi kamu nanya apa, Ethan?"
"Kamu chatting sama siapa sih?"
"Teman. Ngucapin terima kasih karena udah traktir makan. Oya, makanan yang lagi kamu makan juga dia yang belikan."
Raut Ethan berubah dengan cepat, seolah dia ingin memuntahkan makanan itu sekarang juga. Jadi ini makanan pemberian dari Cris, Cris itu. Sial. Dimana harga dirinya sekarang?
"Teman siapa? Serena?" Tanya Ethan, sengaja memancing.
"Bukan. Itu rekan sesama Dokter yang pernah aku ceritain ke kamu."
"Oh si cowok hidung runcing itu?"
Elenor terkekeh, "Namanya Cristian, Ethan."
Tiba-tiba Ethan bangkit dari duduknya sambil membawa box makanan yang masih tersisa setengah itu. Tanpa pikir panjang, dia langsung membuangnya ke tempat sampah. Bukan karena rasanya yang tidak enak, ini soal harga dirinya.
"Kenapa nggak dihabiskan? Aku jauh-jauh kesini cuma untuk bawain kamu makanan dan dengan seenaknya kamu malah buang makanan itu ke tong sampah." Protes Elenor.
"Aku bisa beli seratus box sebagai ganti rugi."
"Aku juga bisa beli seribu, sejuta bahkan milyaran box kalau aku mau. Tapi yang kita bahas bukan soal jumlah box, ini soal cara menghargai pemberian orang lain."
"Kamu keras kepala!"
"Kamu laki-laki sombong!"
Keduanya sama-sama saling meneriaki, setelah itu keheningan membentang. Hanya ada suara pergerakan jarum jam. Ethan menghela napas panjang sebelum memutar tubuhnya ke belakang, berjalan ke arah Elenor yang sudah menyampirkan tas selempangnya.
"Jangan kemana-mana dulu. Sorry udah neriakin kamu." Ethan menyentuh kedua sisi lengan Elenor sehingga perempuan itu tidak bisa melanjutkan langkahnya. "Kita belum membahas soal pertemuan dengan Kakek kamu besok."
Elenor melepaskan tangan Ethan darinya lalu berjalan menuju ruang tamu dan mendudukan dirinya di sofa.
"Kakek meminta kita datang ke perusahaannya jam sepuluh. Sebenarnya dia hanya minta calon suamiku untuk datang, tapi karena aku khawatir denganmu, makannya aku harus ikut dan memastikan semuanya berjalan dengan baik."
Mendudukan diri di sebelah Elenor, Ethan mengernyit. "Apa sekarang kamu sedang meragukanku?"
"Aku nggak lagi meragukan kamu. Kamu cuma belum tau Kakek Reymond itu orang seperti apa. Aku hanya memastikan bahwa beliau tidak akan membuat mentalmu down lalu kamu akan membatalkan pernikahan kita."
"Apa semenyeramkan itu?"
"Sebenarnya enggak. Tapi untuk laki-laki bajingan seperti Papaku, Kakek itu bagaikan monster."
"Aku bukan Papa kamu." Jawab Ethan dengan nada yang terdengar tidak terima.
"Kalau kamu duplikat Papa, maka aku nggak akan sudi menikah dengan kamu. Baguslah kalau kamu berbeda. Aku harap kamu akan selalu konsisten seperti ini." Elenor menatap Ethan dengan senyuman miring, "Sekarang ada lagi yang perlu kita bicarakan? Kalau enggak, aku mau pulang. Aku capek banget seharian ini."
"Oke, sampai jumpa besok, Ele."
Dengan itu Elenor bangkit dari duduknya sembari menganggukan kepala. Ethan mengantar langkah kaki Elenor menuju pintu keluar. Tetapi entah mengapa rasanya berat sekali jika harus melihat punggung perempuan itu menghilang di balik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE OF MY LIFE
RomansaSemua bermula dari Elenor, Si Dokter cantik yang tidak pernah percaya akan adanya cinta sejati di dalam hidup. Penyebabnya adalah keluarga. Dia lelah melihat Papa yang selalu merasa insecure dengan apa yang Mama miliki. Dia juga lelah melihat Mama m...