Chapter 39

2.1K 157 31
                                    

Sesampainya di rumah, Elenor langsung mengambil kotak P3K-nya guna mengobati dirinya sendiri. Dia menuangkan alkohol pada kapas lalu mendudukan diri di depan meja rias. Sesekali meringis ketika dia merasakan perih pada segaris luka dengan darah yang sudah berhenti keluar.

Ethan yang memperhatikan gerak gerik Elenor dalam diam pun memutuskan untuk mendekat. Terkadang dia ingin sekali merasa direpotkan oleh Elenor tapi sejak hari pertama mereka menikah dia paham bahwa istrinya adalah tipe perempuan yang terlalu mandiri.

"Biar aku yang obati."

"Aku bisa sendiri."

Jawaban yang Elenor berikan sesuai dengan dugaannya. Ethan tidak mau kalah, dia meraih pergelangan tangan Elenor kemudian menyambar kotak P3K di atas meja.

"Ethan, kamu ngapain sih?"

"Aku udah bilang biar aku aja yang obati." Ethan membawa Elenor duduk di tepi tempat tidur. Walau tidak berkecimpung di dunia medis, sebatas mengobati luka agar tidak infeksi tentu saja Ethan tahu bagaimana caranya.

"Mobil aku gimana?"

"Kamu lebih mikirin keadaan mobil kamu dibandingkan diri kamu sendiri?" Ethan menyingkirkan helaian rambut Elenor yang menutupi dahi kemudian lanjut mengobati seakan-akan dia adalah seorang ahli. "Mobil bisa dibeli, kalau kamu...aku bisa dapat dimana lagi?"

"Enggak usah mulai, ini bukan saatnya gombal-gombalan." Sahut Elenor. Sudut bibir Ethan tertarik namun dia masih tetap fokus mengobati dahi Elenor.

Diam-diam Elenor menganggumi ketampanan Ethan. Dilihat dari jarak sekedat ini, suaminya memang bisa dikatakan sempurna. Warna matanya indah, bulu matanya lentik, hidung runcing, kedua rahangnya yang begitu tegas, juga bibir tipisnya yang berwarna pink. Berapa hari Elenor sudah melewati pemandangan seindah ini?

"Mau ditutup pakai plester luka supaya gak sakit waktu kena air?"

"Terserah kamu aja."

"Kok terserah? Bu Dokter dong yang seharusnya memberi saya arahan."

"Apaan sih," Elenor memalingkan wajah dengan senyum malu-malu ketika Ethan balik menatapnya. "Iya udah boleh."

Ethan pun menempelkan plester luka di dahi Elenor dengan ekspresi yang sangat serius. Sekaras mungkin Elenor membuat bibirnya tetap tertarik lurus. Dia tidak mau terlihat salah tingkah di depan Ethan. Memalukan.

"Udah beres." Ethan menurunkan tatapannya sambil menghusap pipi Elenor, "Makasih ya."

"Enggak usah nyindir." Dengusnya.

"Abisnya udah selesai diobatin masih diem-diem aja, enggak bilang makasih."

"Iya, iya, makasih." Elenor mengambil alih kotak P3K dan merapikan peralatan yang Ethan keluarkan dari dalam sana. Juga sebagai bentuk pengalihan agar dia tidak berlama-lama eye contact dengan Ethan yang bisa membuat pipinya bersemu merah. "Lagi pula aku nggak ada minta buat diobatin kamu. Tanpa kamu, aku juga bisa ngobatin luka aku sendiri."

"Ya, Bu Dokter, aku tau. Tapi ini bukan lagi tentang profesi, ini peran aku sebagai suami kamu. Ele, aku udah sering bilang sama kamu kalau setelah kita menikah, kamu nggak lagi hidup sendirian. Ada aku, kamu bisa libatkan aku sekalipun kamu bisa melakukan semua hal sendirian."

Elenor menghentikan pergerakannya dan kembali menyadari akan ego yang selalu dia menangkan. Mungkin sikapnya seperti itu sudah membuat Ethan sering kali merasa tidak nyaman. Tentu saja. Sampai-sampai Ethan harus mengatakan hal yang sama berulang-ulang kali hanya agar Elenor bisa menatap dia sebagai seorang suami.

Usai menyimpan kotak P3K di tempat semula, Elenor pun kembali menghampiri Ethan yang masih terduduk di tepi tempat tidur.

Elenor menghela napas panjang, "Ethan."

LOVE OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang