1

1.9K 157 3
                                    

***

Roda berputar, kendaraan melaju. Saat ini jalanan sudah sepi, namun lampu-lampu masih menyala. Beberapa toko masih buka, masih melayani pelanggan yang harus kerja lembur. Sembari menatap keluar, melihat restoran juga bar tenda yang masih beroperasi ia tahan kantuknya. Melelahkan sekali pergi keluar untuk syuting. Merekam ini dan itu, mengatur ini dan itu, suara, kamera, cahaya, segalanya. Tubuhnya yang kurus, bisa jadi semakin kurus kalau ia terus bekerja seperti sekarang. Untungnya proses syuting hanya dilakukan satu sampai dua hari dalam seminggu.

"Noona," pria muda di sebelahnya menegur, membuyarkan lamunannya akan jamuan makan malam dengan daging-daging merah nan mewah. "Kita sudah sampai," katanya, yang kemudian membuka pintu van mereka di tempat parkir stasiun TV, DRGN TV.

"Ah, iya," ia yang ditegur kemudian tersadar. Diturunkannya kakinya dari van. Ia renggangkan otot-ototnya setelah seharian tadi merekam, juga setelah duduk lebih dari dua jam di dalam mobil.

Hari ini mereka syuting di sebuah museum, membahas tentang buku-buku, puisi dan sejarah. Sudah ia curahkan semua kemampuannya di lokasi syuting hari ini, namun pekerjaannya belum selesai. "Setelah merapikan semua peralatan, pulang lah lebih dulu," katanya pada pria tadi, Seo Donghyun si asisten sutradara.

"Noona tidak pulang?" tanyanya dan wanita yang ditanyai itu menggeleng. Mengatakan kalau ia akan mengerjakan beberapa hal dulu sebelum pulang.

"Hati-hati saat pulang, yang lainnya juga," katanya, bicara pada beberapa orang yang masih harus membongkar muatan. Merapikan barang-barang yang mereka pakai syuting kembali ke tempatnya.

Ia sang sutradara, Lalisa Jung namanya. Bekerja di sana adalah mimpinya. Sejak kecil, TV adalah satu-satunya teman yang dimilikinya. Ayahnya dokter yang sibuk bekerja di rumah sakit, pria berdedikasi yang akan pergi kapan pun jika dipanggil, jika dibutuhkan. Sedang ibunya seorang detektif, bekerja di kantor polisi namun hidup di dalam mobilnya, berhari-hari mengintai tersangka. Lalisa si anak tunggal tidak punya pilihan selain bersabar, mengalah pada pasien darurat, juga mengalah pada penjahat yang harus ditangkap.

Harusnya ia diberi adik. Atau setidaknya, orangtuanya bisa mengadopsi seorang anak lain untuk menemaninya. Sayangnya, merawat satu lagi anak bukan solusi yang bisa Tuan dan Nyonya Jung sanggupi. Keduanya tidak lagi bisa mengurus seorang anak tambahan. Karena itu, hanya TV yang bisa menemaninya. Melalui layar kaca itu, dirasakannya kehangatan, dilihatnya kesedihan, kebahagiaan, tangis juga tawa.

"Aku akan membuat banyak TV, akan aku hibur semua anak yang sendirian," angannya ketika ia kecil, mengira kalau kotak kecil itu lah yang membuat semua acara di dalamnya, bak sebuah topi ajaib yang selalu mengeluarkan kelinci dari dalamnya. Saat itu belum ia pahami konsep sebuah acara yang direkam kemudian ditayangkan.

Kini akhirnya mimpi itu terpenuhi. Meski ada banyak lampu lalu lintas yang menghalanginya, akhirnya ia tiba di stasiun TV, bekerja di sana sebagai seorang sutradara acara ragam. Ia dapatkan mimpinya setelah beberapa kali berdebat dengan orangtuanya, seorang ayah yang ingin putrinya jadi dokter sepertinya, dan seorang ibu yang enggan anaknya hidup berantakan sepertinya. Ibu Lisa tidak menyetujui mimpi putrinya, sebab sama seperti pekerjaannya, menjadi sutradara pun sama beratnya. Pekerjaan mereka sama-sama tidak kenal waktu, seperti malam ini.

Sudah hampir tengah malam, sebagian ruangan sudah mematikan lampu mereka. Menghemat energi di dunia yang katanya hampir kiamat ini. Ia langkahkan kakinya melewati mobil-mobil dalam basement, berdiri di depan lift, menunggu lemari besi itu akan membawanya ke ruang kerjanya. Ia berencana untuk memeriksa hasil rekaman mereka hari ini sebelum pulang. Menonton ulang semua yang mereka rekam, memastikan segalanya cukup untuk satu episode minggu depan.

Beberapa rekannya berjalan bersamanya. Seo Donghyun juga beberapa staff lain akan mengembalikan perlengkapan syuting mereka ke lantai yang sama dengan tujuannya. Di dalam lift, kelimanya berdesakan, bersama barang-barang yang harus mereka kembalikan. Sampai akhirnya mereka tiba di lantai tujuan.

Lalisa Jung butuh dua jam untuk duduk di ruang editor dan mengecek segalanya, menyimpan segalanya juga membuat salinannya. Meski lelah, meski berat, gadis itu menyukainya. Ia senang sebab mimpinya tercapai, hampir tercapai.

Lepas bersusah payah kerja lembur, akhirnya ia bisa meninggalkan ruangan itu. Diraihnya tas jinjing miliknya, handphonenya juga kunci mobilnya. Akan ia langkahkan kakinya meninggalkan ruang editor itu ketika dari pintu ia lihat seorang wanita berlari di lorong, menangis dengan rambut yang berantakan menutupi wajahnya.

"Apa itu?" bingungnya, masih menatap pada kaca transparan yang ada di pintu. Berfikir kalau seorang hantu perempuan baru saja lewat.

Imajinasinya yang terlalu berlebihan. Ketika orang keduanya lewat, setengah berlari juga, Lisa tahu kalau mereka bukanlah hantu. Orang kedua yang berlari di lorong adalah pria, rambutnya hitam tebal dengan potongan normal seperti kebanyakan pria pada umumnya. Namanya Kwon Jiyong, juga seorang sutradara acara ragam.

Melalui celah pintu, Lisa mengintip. Ia lihat Kwon Jiyong meraih tangan wanita tadi. "Kembalikan," kata pria itu, terdengar tegas di sepanjang lorong. Lisa yang harus melewati mereka jika ingin sampai ke lift, memilih untuk menunggu. Pembicaraan itu terlihat serius. Selain karena tidak ingin menganggu, ia pun penasaran akan pembicaraan mereka.

Dalam malam yang sunyi itu, sudah lewat tengah malam, suara tegas Jiyong terdengar begitu keras. Terlebih suara lawan bicaranya yang berteriak, marah sebab Jiyong terus bekerja. Ahh... Mereka berkencan— yakin Lisa, meski tidak ia kenali siapa wanita itu.

Dari keributan yang Lisa dengar, yang Lisa tonton, dapat ia simpulkan kalau pasangan di lorong itu tengah bertengkar karena pekerjaan. Si wanita bergaun kuning dengan rambut cokelat yang panjang bergelombang marah karena merasa diabaikan. Mereka berkencan tapi tapi tidak pernah benar-benar pergi kencan. Mereka saling mencintai tapi hampir tidak pernah bicara, hampir tidak pernah bertemu. Wanita itu kecewa, ia terluka sebab cemburu pada pekerjaan yang menurutnya tidak akan pernah bisa ia kalahkan.

"Lebih baik kita putus saja," kata wanita tadi pada akhirnya. Lisa sedikit sedih saat mendengarnya. Harusnya mereka bisa mengatasi masalah itu, harusnya mereka tidak buru-buru mengambil keputusan, harusnya mereka membicarakan itu setelah sama-sama merasa tenang— nilai Lisa melalui celah pintu.

"Ya, kita bisa putus kalau itu yang kau inginkan," jawaban Sutradara Kwon yang ia kenal semakin mengecewakan penontonnya. Lisa bertanya-tanya, kenapa pria itu mudah sekali menyetujui permintaan kekasihnya? Benarkah mereka saling mencinta sebelumnya? Atau perasaan itu sudah lama hilang karena kekecewaan?

Namun kekecewaan Lisa tidak bertahan lama, sebab setelahnya, kata-kata yang keluar dari mulut Sutradara Kwon membuatnya mengumpat. "Kita bisa putus, seperti keinginanmu, tapi kembalikan USB-ku. Isi di dalamnya sangat penting untukku," katanya. Berengsek, bisa-bisanya dia masih memikirkan pekerjaan disaat kekasihnya sudah menangis karena terlampau sakit hati. Bahkan Lisa, ingin sekali menampar pria itu sekarang.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang