33

357 90 8
                                    

***

Lisa datang bersama Jennie setelah matahari terbenam. Mereka berangkat tepat setelah syuting Lisa selesai. Setelah Jennie diberi kesempatan untuk menyapa para juri, para musisi hip-hop kesukaannya. Karena terlalu lelah, ia meminta Jennie yang mengemudi. Tiba di sana, mereka langsung bertemu dengan ayah dan ibu Lisa. Sudah sejak siang mereka di sana, membantu Jiyong dan ayahnya melayani tamu-tamu yang datang. Rumor pasti akan beredar lebih dari sekedar berkencan sekarang— nilai Jennie, sebab Lisa bercerita padanya tentang rumor kencannya yang terjadi di kantor.

"Saat pulang nanti, bisakah kau mengantar orangtuaku ke rumahku?" tanya Lisa, berbisik pada Jennie sembari mengantri untuk memberi penghormatan terakhir pada mendiang.

"Rumahmu? Bukan rumah mereka?"

"Terlalu jauh kalau harus ke sana," balas Lisa, masih berbisik. "Rumahku saja. Mereka bisa sakit kalau terlalu jauh," susulnya dan Jennie menganggukan kepalanya.

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku akan tetap di sini dan kembali ke lokasi syuting nanti," jawab Lisa yang hanya bisa Jennie tanggapi dengan anggukan kecil sebab sebentar lagi sudah saatnya mereka berdiri di depan foto mendiang yang dihiasi lusinan bunga krisan putih.

Selesai memberi penghormatan terakhir pada mendiang, kedua gadis itu melangkah ke ruang makan. Hendak menikmati sup perpisahan yang dibuat oleh orang-orang dari rumah duka. Pemakamannya terasa ramai sekarang, sebab rekan kerja ayah Jiyong mulai berdatangan sepulang kerja. Lepas membantu pelayan dari rumah duka menyajikan sup, ibu Lisa bergabung dengan suami dan anaknya di meja paling sudut.

"Apa mereka tidak punya keluarga? Hanya bertiga?" tanya ibu Lisa, jelas berbisik.

"Punya," Lisa ikut berbisik. "Tapi mereka tidak ingin datang karena sedari awal tidak menyetujui pernikahan keduanya. Mereka tidak bisa datang, hanya menelepon semalam," susulnya, masih berbisik. "Eomma, appa, kalian disini sejak siang tadi? Setelah ini pulang lah bersama Jennie, ke rumah, jangan membuat Jennie menyetir sampai ke rumah nenek," katanya, tahu kalau orangtuanya sudah lelah membantu di sana.

"Heish, tidak perlu, kami bisa bergantian menyetir sampai rumah," jawab sang ibu, enggan merepotkan teman putrinya. Namun Jennie justru cemberut, mengatakan kalau ia ingin mengantar orangtua Lisa sampai kemana pun mereka mau.

Sembari menikmati sup perpisahan itu, mereka berbincang. Tidak membicarakan mendiang sebab tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenal Rose secara pribadi. Perbincangan ini dan itu akhirnya berakhir setelah Lisa mengantar Jennie beserta orangtuanya ke tempat parkir. Ke tempat ayah Lisa memarkir mobilnya.

"Berikan kuncinya pada Jennie," suruh Lisa, menagih kunci mobil dari saku ayahnya untuk ia berikan pada temannya.

"Jiyong belum makan dan tidur sepanjang hari, dia terus menerima tamu seharian, paksa dia untuk makan. Aku khawatir dia akan pingsan sebentar lagi," kata sang ayah, memberikan kunci mobilnya langsung pada Jennie yang akan mengemudi.

"Ya," angguk Lisa. "Akan aku paksa dia makan, lalu kembali ke lokasi syuting lagi. Dia akan mengomel kalau aku meninggalkan lokasi syutingnya terlalu lama," katanya, mengeluh kalau dirinya harus menggantikan Jiyong yang masih berkabung di lokasi syuting.

"Kami meninggalkan beberapa kantong infus dan obat-obatan lain di ruang istirahat. Tadi ayahnya Jiyong pingsan dan ayahmu memasang infus untuknya. Cek juga keadaanya, ada perawat di sana, hubungi saja petugas pemakamannya," kali ini ibu Lisa yang berpesan, sebelum mereka bertiga masuk ke dalam mobil dan mulai melambai sampai mobil itu perlahan-lahan menjauh pergi.

Lisa kembali masuk ke dalam rumah duka itu. Namun tujuan utamanya bukan aula upacara dimana Jiyong berada. Lisa ingin mengecek ayah pria itu sebelum menemuinya. Dan ditengah langkahnya menuju ruang istirahat, mereka bertemu. Seseorang sudah melepaskan infus di tangan pria paruh baya itu.

"Nona?" tegur pria paruh baya itu, menyapa Lisa yang melangkah sembari menundukan kepalanya, menatap layar handphone Jiyong yang masih ditangannya.

"Oh? Paman? Kau sudah baikan?" Lisa yang hendak menemuinya di ruang istirahat, terkejut karena berpapasan dengannya di lorong.

"Ya, aku sudah baikan," ia mengangguk. "Terima kasih banyak sudah datang,  maaf juga, aku melihatmu sedari kemarin tapi belum sempat menyapa," katanya.

Lisa tersenyum menanggapinya, mengatakan kalau ia senang bisa membantu di sana. Namun sayangnya, pria paruh baya itu sudah tidak mengenalinya. Memang mereka hanya pernah bertemu beberapa kali ketika masih kuliah dulu, jadi wajar saja kalau ayah Jiyong tidak mengenalinya sekarang.

"Apa kebetulan kau berteman dengan putriku?" tanyanya penasaran.

"Ah? Tidak?" geleng Lisa, sedikit canggung. Ia hanya mengenal Rose, namun tidak pernah bercengkrama lebih lama bersamanya.

"Lalu?"

"Ah! Ini," gadis itu buru-buru memberikan kartu namanya. "Aku rekan kerja Sutradara Kwon," katanya memperkenalkan diri, setelah sedikit bingung bagaimana ia harus memperkenalkan dirinya. Mengaku sebagai teman atau mantan kekasih Jiyong. "Kami sedang mengerjakan projek bersama sekarang," jelasnya sementara ayah Jiyong masih membaca kartu namanya.

Mendengar jawaban Lisa, pria paruh baya di depannya kelihatan sedikit bingung. Ia bergumam kalau Lisa terlihat tidak asing baginya. Ia merasa pernah bertemu dengan Lisa, namun menjadi ragu karena Jiyong bukan tipe anak yang akan mengenalkan rekan kerjanya. Sebagai ayah dan anak, mereka lumayan dekat, namun tidak cukup dekat untuk berbagi kenalan. Jiyong hampir tidak pernah mengenalkan ayahnya pada orang-orang di sekitarnya, bahkan pada kekasihnya.

"Seingatku, orang yang pernah putraku kenalkan hanya kekasihnya saat kuliah. Tapi itu sudah lama sekali, aku sudah lupa bagaimana wajahnya, sayangnya dia bilang mereka sudah putus dan dia tidak pernah lagi mengenalkan siapapun padaku," cerita pria itu, yang hanya bisa Lisa balas dengan senyuman canggungnya. "Seandainya aku tahu kalau itu kali pertama dan terakhirnya mengenalkan seseorang, aku pasti akan berusaha mengingat-ingat wajahnya," susulnya, membuat senyum Lisa jadi semakin canggung. "Tapi nona, kau sungguhan hanya rekan kerja putraku? Kalian tidak punya hubungan apapun?" tanyanya sekali lagi.

"Iya," angguk Lisa. "Sekarang, kami hanya rekan kerja, tidak ada hubungan lainnya," katanya, tentu berusaha untuk tetap terlihat sopan.

"Sayang sekali," senyum tulus yang tidak terlihat senang, terukir di wajah sang hakim. Lama mereka berbincang di lorong yang tidak seberapa ramai itu. Sampai Jiyong datang, awalnya akan menghampiri ayahnya di ruang istirahat.

"Appa!" seru Jiyong, yang meski berteriak, namun suaranya tidak banyak keluar. Suaranya tidak lagi sekeras biasanya. "Ada apa? Kenapa kalian bicara di sini?" tanyanya, setelah ia berhasil sampai dan berdiri di sebelah Lisa dengan wajah pucatnya.

"Aku hanya menyapa rekan kerjamu," tenang sang ayah. "Dia sudah di sini sejak kemarin, aku harus berterima kasih padanya, ada apa?" susulnya.

"Ah... Sudah melakukannya kan? Hakim Agung datang," lapor Jiyong, tentu bermaksud untuk menyuruh ayahnya menemui atasannya itu.

Mereka kemudian berpisah di lorong itu. Sebentar Lisa memperhatikan punggung ayah Jiyong melangkah pergi, namun perhatiannya herus teralihkan sebab Jiyong tiba-tiba goyah. Jelas pria itu sudah kelelahan sekarang. Jiyong langsung berpegangan pada dinding, menahan dirinya agar tidak ambruk di sana.

"Augh! Ayo ke ruang istirahat," ajak Lisa, yang tadi langsung memegangi lengan Jiyong sebelum pria itu benar-benar ambruk ke lantai. "Ayahku bilang oppa tidak mau makan, aku disuruh memaksamu makan," katanya, sembari membantu Jiyong untuk duduk di ranjang, di dalam ruang istirahat yang kelihatan seperti kamar hotel. Ayah Jiyong pun tidur dan beristirahat di sana tadi.

"Aku akan mengambilkan makanan untukmu, tunggu sebentar, hm?"

"Bisakah kau tetap di sini dan memelukku? Aku ingin dipeluk seperti tadi pagi," pinta Jiyong, menahan tangan Lisa agar tetap berada di sana, bersamanya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang