***
Jiyong sedang menelepon ayahnya ketika ia melihat Lisa berjalan mendekat dengan tas belanja pemberian ayahnya. Gadis itu bergabung dalam lingkaran kecil Sutradara Choi juga Direktur Dong. Berdiri di sebelah tempat sampah khusus para perokok. Hampir tidak ada sampah lain di sana, selain abu dan puntung rokok.
Ia melihat Lisa tersenyum, berbincang dengan rekan-rekan mereka. Sedang di telinganya, ayahnya berkata, "dia tidak sedang mengencani siapapun, kau tahu itu?" tanya sang ayah, tentu merujuk pada Lisa yang siang tadi ia temui.
"Aku tahu," balas Jiyong. "Tapi kenapa appa menemuinya tadi siang?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja untuk berterima kasih," jawab ayahnya. "Sekaligus mencari tahu tentang hubungan kalian. Jiyong-ah, tidak apa-apa kalau kau menyukainya. Dia tidak seperti ibumu. Kalau kau ragu karena itu, kau tidak perlu merasa begitu. Aku sudah menemuinya, aku sudah bicara banyak dengannya dan dia tidak-"
"Hentikan," potong Jiyong. "Apa yang appa tahu tentangnya? Appa hanya bertemu dengannya sebentar. Appa tidak mengenalnya," katanya.
"Tapi aku mengenalmu. Kau menyukainya. Kau juga bukan orang yang mudah menyukai sesuatu, seseorang."
"Appa salah. Aku mudah menyukai seseorang."
"Ah... Aku salah? Kalau memang suka kenapa tidak memberitahunya?"
"Aku tidak menyukainya," pelan pria itu yang sedari tadi memang bicara dengan suara teramat pelan, seolah sedang berbisik.
"Lalu kenapa kau meneleponku setelah tahu aku menemuinya? Karena kau khawatir aku akan membuatnya merasa tidak nyaman, bukan begitu? Kau takut dia merasa terganggu karenaku, iya 'kan? Kalau tidak menyukainya, kenapa kau merasa begitu?"
Karena tidak tahan lagi mendengarnya, Jiyong mengakhiri panggilan itu. Ia tutup teleponnya setelah berpamitan, lantas melangkah mendekat untuk menyalakan lagi rokoknya. Ia menyapa Lisa dan sapaannya pun di balas. Namun tidak lama setelahnya, Lisa justru berpamitan.
Kenapa rasanya seperti sedang dihindari? Jiyong menatap kepergian gadis itu sembari menghisap rokoknya. Dilihatnya Lisa melangkah ke halte, gadis itu menundukan kepalanya, menatap pada layar handphonenya, melewati kerumunan orang yang juga akan pulang kerja.
Direktur Dong berpamitan selepas rokoknya habis, akan kembali ke ruang kerjanya. Disaat itu, Lisa pun sampai ke halte, masih dalam jarak pandang Jiyong. "Aku dengar kau berkencan dengan Lisa," kata Sutradara Choi, memecah keheningan. "Asistenku yang bilang dan dia sedih karenanya. Dia menyukai Lisa," susulnya.
"Itu hanya rumor," tenang Jiyong, diam-diam berusaha menahan perasaan-perasaan mengganggu yang muncul. "Hanya rumor saat syuting, kami tidak berkencan. Asistenmu bisa mendekatinya. Katanya Lisa juga sedang mencari pacar sekarang," susul Jiyong.
"Aku pikir kalian sungguhan berkencan," komentar Seunghyun.
"Tidak," geleng Jiyong. "Asistenmu bisa mendekatinya, mungkin mereka cocok," saran Jiyong.
"Kau pikir itu mudah? Wanita seperti Lisa justru yang paling sulit di dekati. Dia baik pada semua orang. Hampir tidak pernah membenci seseorang. Bahkan setelah bertengkar denganmu, dia masih bisa makan siang bersamamu. Emosinya tidak bertahan lama."
"Bukankah itu baik? Berarti dia pemaaf?"
"Menurutmu begitu? Menurutku tidak. Sikapnya jadi ambigu. Kau tidak bisa menganggapnya menyukaimu, tapi tidak bisa juga menganggapnya tidak menyukaimu. Dia memperlakukanmu dengan baik tapi tidak menganggap itu spesial. Kau sendiri yang akan bingung, dia menyukaimu atau tidak. Lalu setelah kau yakin dia menyukaimu dan menyatakan perasaanmu, dia akan menolakmu. Aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman baik, tidak lebih. Dinding langsung dibangun saat kau menyatakan perasaanmu. Lisa, wanita yang seperti itu," kata Seunghyun. "Selama dia bekerja disini, bukan hanya satu dua orang yang pernah dia tolak. Kau tahu sutradara drama Park Harry? Saat dia sakit setelah kecelakaan, Lisa menemaninya di rumah sakit selama seminggu. Lalu dia jatuh cinta, tapi saat menyatakan perasaannya, Lisa menolaknya."
"Rumor itu sungguhan? Aku tahu cerita itu, itu sudah lama sekali, keluarganya ada di luar negeri, kakinya patah dan Lisa merawatnya setiap hari, aku tahu. Tapi soal menyatakan perasaan dan ditolak, aku pikir itu hanya rumor," kata Jiyong menanggapi.
"Dia ditolak. Sutradara Im Jiyeon juga pernah ditolak. Mereka sempat dekat sampai sering menginap bersama. Lalu tiba-tiba suatu hari mereka menjauh. Orang bilang Im Jiyeon ditolak karena Lisa straight," ceritanya.
Malam harinya, semua angan memenuhi isi kepala Jiyong. Ia harusnya mengedit acaranya sekarang. Di temani asistennya. Ia masih penasaran kenapa Lisa menghindarinya. Sampai rasa penasaran itu tidak lagi bisa dibendung.
"Setelah bertemu dengan orangtuamu, orang itu menghindarimu, menurutmu kenapa dia begitu?" tanyanya, pada Hanbin yang baru saja kembali dari lobby dengan tangan penuh kudapan malam pesanan Jiyong. Mereka akan makan kudapan sekarang, di pukul sepuluh malam sebelum melanjutkan mengedit beberapa adegan lagi.
"Dia tidak cocok dengan orangtuaku?" jawab Hanbin, yang sekali lagi menambah beban pikiran Jiyong.
Hal-hal yang biasanya Jiyong abaikan. Apa-apa yang biasanya ia anggap remeh, malam ini memenuhi kepalanya. Ini tidak biasa terjadi, bahkan dengan gadis-gadis yang sebelumnya ia kencani. Perasaan resah yang memenuhi dadanya, benar-benar menganggu. Ingin rasanya ia menemui Lisa, bertanya langsung alasan gadis itu menghindarinya. Namun lagi-lagi, ucapan orang lain menahan langkahnya.
Jangan mendekatinya kalau kau hanya ingin memanfaatkannya— perkataan Jennie benar-benar jadi pasak tajam yang sengaja ditancapkan di dadanya. Jiyong tidak berani mendekat, sebab khawatir dirinya hanya ingin memanfaatkan Lisa. Bahkan sekarang, ia meragukan dirinya sendiri. Entah semua pikiran itu muncul karena kepergian Rose yang menyisakan sebuah lubang besar, atau sejatinya pria itu memang begitu. Penuh keragu-raguan sembari merasa khawatir pada segalanya.
Ia tidak begini sebelumnya. Biasanya ia tetap mampu tetap bekerja setelah putus dan ditampar. Hatinya tidak terluka ketika ia diperlakukan begitu oleh gadis yang ia kencani. Sebelumnya, Jiyong pikir bekerja bisa membantunya mengabaikan segala hal. Sampai secara tidak sengaja, dilihatnya sebuah video lewat handphonenya.
Dalam video itu, ada seorang profesor yang berdiri di depan kelas dengan sebuah toples kaca di tangannya. Pertama-tama, ia masukan beberapa bola golf ke dalam toples itu sampai penuh. Lalu bertanya pada orang-orang di depannya, "apa toples ini penuh?" katanya. Tentu saja jawabannya iya. Namun di toples yang penuh bola golf itu, sang profesor masih bisa memasukan segelas kerikil-kerikil kecil. Ia menanyakan hal yang sama, "apa sekarang toples ini penuh?" tanyanya dan jawabannya pun masih sama. Toples itu tetap penuh, dengan bola golf, juga dengan krikil. Sekali lagi, profesor dalam video itu memasukan segelas pasir ke dalam toples tadi. Lagi-lagi toplesnya penuh, dengan bola golf, krikil dan pasir. Namun kali ini, ia merubah pertanyaannya, "kalau aku memasukan pasir lebih dulu, lalu krikil dan baru bola golf, apa mereka semua akan muat di dalam toples ini?" dan jawabannya tidak. Toplesnya tidak akan muat, jika pasir dan krikil yang dimasukan lebih dulu.
"Toples ini sama seperti hidup kita," sang profesor melanjutkan ceramahnya. "Bola golf ini adalah hal-hal yang paling berharga, diri kita sendiri, keluarga, orangtua, pasangan, anak, saudara, sahabat. Lalu krikil ini adalah hal-hal yang penting, rumah, mobil, makanan, pekerjaan. Dan yang terakhir pasir, pasir ini adalah hal-hal kecil lainnya, pergi liburan, pakaian bagus. Kalau kita memasukan pasir lebih dulu, tidak akan ada ruang untuk krikil dan bola golf. Kalau kita menghabiskan waktu kita untuk hal-hal kecil seperti pasir, kita tidak akan punya cukup waktu untuk yang lebih berharga, yang lebih penting," kata profesor itu di akhir videonya.
"Heish! Menyebalkan!" keluh Jiyong, setelah ucapan profesor yang tidak ia kenal itu, menampar tepat di wajahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...