***
Masih di malam yang sama, Lisa kembali ke kantor selepas makan malam yang penuh alkohol. Meski tidak ada yang super mabuk, beberapa orang tetap perlu dipapah ketika pulang. Lepas mengantar semua orang ke mobil masing, mereka berpisah. Para staff dipersilahkan untuk pulang, meski sebagian dari mereka harus kembali ke kantor untuk menyimpan beberapa perlengkapan juga mengambil barang-barang pribadi mereka di kantor.
"Aku yang akan menulis laporan hari ini, oppa pulanglah," kata Lisa, begitu ia dan Jiyong tiba di kantor.
"Kau bisa mengerjakannya besok," kata Jiyong, yang dengan santai melangkah ke ruang editor, mengambil tasnya yang tertinggal di sana.
Lisa hanya mengiyakan perintah itu, meski dirinya tidak benar-benar menurutinya. Lisa yang masuk ke ruang kerjanya, duduk di meja kerjanya kemudian melihat layar handphonenya kini menghela nafas. Jennie meneleponnya, sudah beberapa kali dan ia masih enggan menjawab panggilan itu.
Dering yang tidak juga berakhir kemudian membuat gadis itu kesal. Ia lempar handphonenya ke atas meja kerjanya, tidak terlalu keras namun cukup untuk menggulingkan gelas kopinya. Sedikit kopi yang tersisa di dalam gelas itu kemudian tumpah, membuat Lisa jadi semakin kesal. Sembari mengeluh, ia pakai tissue untuk membersihkan genangan kopi di mejanya. "Kenapa kisah cinta orang-orang selalu berjalan mulus sedang aku tidak?! Apa aku dikutuk?!" keluhnya, dengan keras mengusap-usap mejanya yang sudah bersih. "Jangan-jangan Jiyong oppa pergi ke peramal lalu mengutukku?!" gerutunya, tanpa tahu kalau Jiyong sudah berdiri di dekat pintunya.
"Aku tidak melakukan sesuatu seperti itu," komentar Jiyong.
Disaat itu juga Lisa menutup mulutnya. Ia tepuk bibirnya yang baru saja mengatakan hal konyol tadi, lantas menghindari mata Jiyong. "Kenapa oppa ke sini?" tanyanya, akhirnya berani berbalik setelah memasang tembok tinggi di depan wajahnya.
"Hanya untuk mengembalikan obatmu," pria itu meletakan salep gatal yang tadi Lisa pakaikan untuknya di atas meja. "Biar aku pertegas, Lisa. Aku tidak pernah melakukannya. Aku tidak kenal seorang pun peramal dan-"
"Aku tahu! Aku tahu!" potong Lisa, kepalang malu. "Aku hanya sedang kesal, maaf kalau itu menyinggung perasaanmu. Meski aku ragu oppa punya perasaan," katanya. Ia simpan obatnya tadi ke dalam laci mejanya, lantas membuang tissue kotornya ke tempat sampah di bawah meja.
"Permintaan maaf apa itu? Menyebalkan," komentar Jiyong yang kemudian berbalik, berpamitan, mengatakan kalau ia akan pulang sekarang.
Namun baru dua langkah pria itu menjauh, Lisa kembali bicara padanya. "Apa aku sangat menyebalkan?" tanya Lisa, tetap duduk di kursinya. Ia buat Jiyong kembali berbalik, kembali menatapnya.
"Apa?"
"Apa aku sangat menyebalkan? Sangat... Sangat... Sangat menyebalkan sampai para pria membenciku?" ulang Lisa, namun Jiyong tidak lekas menjawab. Pria itu justru bersandar pada nakas berkas, menumpukan tangannya ke lemari yang hanya sebatas dadanya itu. "Bicara denganku sangat menyebalkan ya? Aku juga kurus, penampilanku tidak menarik, pekerjaanku juga payah. Meski sudah bekerja dua puluh jam perhari selama seminggu penuh, acaraku tetap jelek, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Karena itu pria-pria tidak ingin berkencan denganku, apa begitu? Aku seburuk itu?" tanyanya, pada pria yang dengan tenang berdiri mendengarkannya.
"Wah..." Jiyong berseru, lantas melihat jam tangannya, saat itu belum tengah malam. "Tidak aku sangka akan mendengar ini dari mantan pacarku. Ambil tasmu, aku traktir minum. Beer? Wine? Whiskey? Aku lebih suka whiskey," katanya, melangkah lebih dulu. Secara tidak langsung memaksa Lisa untuk mengikutinya.
Lisa mengekorinya, sedang Jiyong melangkah ke lift sembari menatap handphonenya. Tiba di lift, pria itu menelepon, mengatakan pada seseorang di ujung telepon kalau ia tidak bisa pulang hari ini. "Masih ada pekerjaan di sini," katanya beralasan. Mendengarnya, Lisa lantas menoleh, terang-terangan memperhatikan pria yang sedang berbohong itu dengan tatapan curiga. "Apa?" tanya Jiyong, tanpa suara. "Hm? Apa? Ah... Sebentar lagi syuting akan dimulai jadi aku sedikit sibuk. Tadi aku tidak sengaja makan macaron, Chaerin yang memberikannya. Rasanya gatal sekali, sepertinya aku butuh obat lagi, stok obatku hampir habis," cerita pria itu, pada seseorang yang ia telepon.
"Luar biasa," Lisa baru bersuara setelah Jiyong selesai menelepon. "Rating acaramu bagus dan kau masih bisa berkencan," katanya, berkecil hati.
"Siapa? Aku?" tanya Jiyong yang sekarang melangkah keluar lift, berjalan mendekati mobilnya di tempat parkir.
"Siapa lagi? Hanya ada kita berdua di sini," balas Lisa, ia percepat langkahnya, sebab lampu-lampu di tempat itu hanya akan menyala jika mereka mendeteksi gerakan. Tempat parkir jadi jauh lebih menakutkan ketika malam. "Aku sering melihatmu pulang pagi dari sini, kapan oppa sempat berkencan?" tanyanya kemudian.
"Jam pulang kerja normal."
"Lalu oppa kembali ke sini lagi?"
"Hm..." angguk Jiyong. Kini mereka masuk ke dalam mobil pria itu, Jiyong di balik kursi kemudi dan Lisa di sebelahnya. "Tapi yang seperti itu tidak berlangsung lama," susulnya setelah mereka sama-sama duduk.
"Hubunganmu tidak berjalan lama? Kenapa?"
"Ada banyak hari chaos yang tidak bisa ditinggal," kata Jiyong dan Lisa langsung memahami maksudnya. Hari-hari dimana cuaca, syuting bahkan proses editing yang tidak berjalan lancar. Hari-hari dimana masalah datang beruntun. Hari-hari yang sering datang setidaknya satu bulan sekali.
"Kalau begitu, bukan kah hari ini seharusnya oppa pulang dan menemui kekasihmu?" tanya Lisa setelah mengangguk. "Turunkan aku di minimarket ujung jalan dan pulang lah... Kekasihmu pasti menunggu," katanya, yang tidak ingin menjadi orang ketiga diantara Jiyong dan kekasihnya. Tidak ingin menjadi rekan kerja yang mengancam bagi kekasih orang lain.
"Tidak ada yang menungguku di rumah. Aku tinggal sendirian," kata pria itu, tetap mengemudikan mobilnya menjauhi stasiun TV. "Yang tadi aku telepon dokter hewan di klinik dekat rumahku. Kucingku dirawat di sana dan aku seharusnya menjemputnya hari ini. Tapi sudah terlambat karena makan malam tadi," susulnya, jelas membuat Lisa semakin heran.
"Oppa memelihara seekor kucing?" bingung Lisa. "Sungguhan? Oppa memelihara kucing di rumah? Sampai membawanya ke klinik hewan? Sulit di percaya," geleng Lisa, enggan membayangkan bagaimana Jiyong tinggal dengan seekor kucing.
"Kau tidak harus mempercayainya," tenang Jiyong menanggapi keheranan itu. "Jadi, kau ingin pergi minum whiskey atau turun di minimarket?" tanyanya, yang melambatkan laju mobilnya, beberapa meter sebelum minimarket.
"Minum whiskey," gadis itu menjawab, membuat Jiyong kembali menginjak pedal gasnya. "Aku baru menyadarinya, oppa jadi benar-benar berbeda dengan yang aku kenal dulu. Dulu, oppa tidak mengizinkanku membawa kucing pulang, ingat kan?" ocehnya, yang tiba-tiba saja mengingat masa lalu mereka. Masa-masa ketika mereka masih kuliah, masih saling menyukai.
Mendengarnya Jiyong berdecak. Tentu saja ia harus berubah, setidaknya sedikit berubah. Mustahil seseorang akan tetap sama setelah semua hal yang terjadi dalam hidupnya. "Dulu aku hanya tinggal di apartemen studio, semi basement. Aku sudah menampung anak nakal yang kabur dari rumah di sana, jadi tidak ada ruang untuk menampung kucing juga," katanya.
"Anak nakal?!"
"Kau tidak merasa jadi anak nakal? Setelah membuatku didatangi dua orang polisi?"
"Itu ibuku!"
"Karena itu. Kenapa kau bilang pada orangtuamu kalau kau tinggal sendirian? Kenapa kau memberikan alamatku pada orangtuamu? Kenapa kau tidak memberitahuku kalau orangtuamu akan datang? Kau tidak tahu bagaimana terkejutnya aku saat mereka datang? Aku dituduh jadi penguntit karenamu."
"Dan aku dimarahi habis-habisan setelah oppa memberitahu mereka kalau aku tinggal bersamamu. Kita impas," katanya, membuat Jiyong hampir mengerem mobilnya saking terkejutnya. Bagaimana bisa mereka dianggap impas? Ketika Lisa yang menempatkan Jiyong di dalam kekacauan itu?
"Aku sudah merencanakannya. Oppa bilang kau akan menginap di luar kota karena tugasmu, jadi aku membiarkan ibuku datang. Siapa sangka kalau waktu itu oppa bolos kelas dan kembali ke rumah? Kalau oppa benar-benar pergi keluar kota, kita tidak akan ketahuan," gerutu Lisa. "Setelah hari itu, aku tidak diizinkan lagi keluar dari rumah. Sampai sekarang aku masih tinggal di rumah, karenamu mereka tidak mempercayaiku lagi," keluhnya.
"Kau memang butuh pengawasan ekstra, terima saja," balas Jiyong, jelas membuat Lisa semakin kesal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...