31

373 92 2
                                    

***

"Noona! Noona!" Seo Donghyun berlari ke tempat parkir, mengejar mobil Lisa yang akan melaju pergi. Untungnya, Lisa melihat Donghyun dan menghentikan mobilnya. "Ada apa?" tanya Lisa setelah Donghyun yang terengah-engah berdiri di sebelahnya, berjarak pintu mobil yang tetap tertutup.

"Sutradara Kwon marah," kata Donghyun, masih sembari mengatur nafasnya yang tersengal.

"Bukan hal baru, kan?"

"Sesuatu terjadi pada adiknya dan dia mengamuk karena tidak bisa menemukan kunci mobilnya," kata Donghyun, setelah paru-parunya kembali penuh.

Lisa terdiam, tidak bisa berkomentar. Di saat yang sama, gadis itu melihat Jiyong berlari sembari di kejar beberapa staff lainnya. Di kejar Hanbin yang mengatakan kalau Jiyong harus tenang sekarang. Membujuk agar pria itu tidak kehilangan akal. "Donghyun-ah, minggir," suruh Lisa, yang langsung memundurkan mobilnya, berhenti tepat di depan Jiyong yang tengah mencoba membuka van perusahaan. Pria itu memegang sebuah kunci van namun tidak tahu van mana yang bisa ia pakai malam ini. Terlihat jelas kekalutan di wajah pria itu, hingga Lisa mengabaikan panggilan yang kembali masuk ke handphonenya. Panggilan dari Park Bogum lagi.

"Oppa, masuklah, aku akan mengantarmu," kata Lisa, berteriak setelah ia membuka jendela mobilnya. "Berikan kuncinya pada Hanbin, aku akan mengantarkanmu!" serunya sekali lagi, yang langsung Jiyong turuti tanpa banyak bertanya.

"Masukan alamatnya," suruh Lisa, setelah Jiyong masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintunya.

Gadis itu mulai mengemudi, sedang Jiyong memasukan alamat tujuannya sembari memakai seat belt-nya. Panggilan kembali masuk, sekali lagi dari Park Bogum yang langsung Lisa tolak. Ia menelepon Donghyun sebagai gantinya, mengatakan pada Donghyun untuk menggantikannya mengurus lokasi syuting. "Aku akan kembali besok pagi, lalukan semuanya sesuai jadwal. Aku akan kembali sebelum syuting besok pagi, beritahu Hanbin juga," kata Lisa, sembari mengenudi sedang Jiyong duduk dengan resah di sebelahnya. Jangankan memikirkan bagaimana syuting besok, ia bahkan tidak ingat pada handphonenya yang tadi jatuh di tenda makan malam.

"Bisakah kau lebih cepat?" tanya Jiyong, mulai mengigit-gigit ujung kukunya. Bergerak resah di kursinya, berharap mereka punya pintu Doraemon yang bisa membawanya langsung ke hospice tempat adiknya di rawat.

"Tentu," angguk Lisa, mulai menambah konsentrasinya dan mengemudi lebih cepat dari biasanya. "Tapi, apa yang terjadi?" tanya Lisa, yang akhirnya harus menginjak pedal rem karena mereka harus mengantre untuk melewati pintu tol.

"Rose kritis, sepertinya kali ini dia tidak bisa bertahan," singkat Jiyong, mengatakan apa yang tadi ia baca di handphonenya ketika mengambil makan malam. "Ah! Handphoneku? Mana handphoneku?" bingung pria itu, mulai meraba-raba sakunya, mencari handphonenya yang sayangnya tidak ada di sana. Jiyong kehilangan handphonenya.

"Pakai milikku, ada nomor telepon ayahmu di sana, kalau dia tidak mengganti nomor teleponnya," suruh Lisa, yang memberikan miliknya agar Jiyong bisa menghubungi seseorang dan menanyakan keadaan adiknya.

Lisa tidak pernah menduga ini sebelumnya, Jiyong menghafal sebuah nomor telepon yang entah nomor telepon siapa. Pria itu bahkan tidak hafal nomor teleponnya sendiri, namun ia langsung mengetik dan menelepon sederet nomor yang tidak Lisa kenali. "Ini aku, Jiyong. Handphoneku hilang. Bagaimana keadaannya?" tanya Jiyong, setelah panggilannya dijawab.

Sembari mengemudi, ke arah hospice yang Jiyong tuju, Lisa melirik. Memacu lebih cepat mobilnya, secepat yang ia bisa meski yakin besok akan ada surat tilang dikirim ke rumahnya. Ia tidak peduli dengan batas kecepatan selama mereka bisa tiba di tempat tujuan Jiyong dengan selamat. Namun di menit selanjutnya, setelah Jiyong mengakhiri panggilannya, pria itu menyentuh tangan Lisa di roda kemudi. "Pelan-pelan saja," kata pria itu, lemah dan terdengar tidak berdaya. "Sudah terlambat, pelan-pelan saja," ulangnya, membuat Lisa mau tidak mau menuruti permintaannya.

Meski tidak benar-benar pelan, Lisa mengurangi kecepatan mobilnya. Ia singkirkan tangan Jiyong dari miliknya, lantas berbalik menggenggam jemari pria itu. Tanpa mengatakan apapun, hanya mengemudi dengan sebelah tangan menggenggam tangan Jiyong. Menggerakan ibu jarinya untuk mengusap-usap tangan pria di sebelahnya.

"Tidurlah oppa, aku akan membangunkanmu begitu sampai," kata Lisa, masih sembari mengusap-usap punggung tangan Jiyong di atas pahanya. "Kau sudah berkerja seharian ini, tidurlah sebentar saja, begitu sampai nanti kau pasti sibuk," susulnya, mencoba menenangkan Jiyong yang hanya lemas, tidak berdaya. Pria itu menatap keluar jendela, melamun tanpa mengatakan apapun. "Atau menangis lah... Jangan ditahan, tidak apa-apa, kau boleh menangis di sini," tambah Lisa, disusul isakan pelan dari lawan bicaranya. Pria itu sudah sedari tadi menahan dirinya, dan tangisnya langsung pecah begitu Lisa menyuruhnya.

Tetap sembari mengemudi, sesekali ia mengusap bahu juga rambut pria di sebelahnya. Mencoba menenangkannya meski ia ragu dirinya bisa tenang jika berada di posisi Jiyong. Lebih dari dua jam mereka berkendara, namun begitu tiba di hospice, Jiyong justru enggan untuk turun. Rasanya berat menghadapi kehilangan di depannya.

"Tidak apa-apa," tenang Lisa, masih mengusap-usap bahu pria yang menundukan kepalanya di sebelahnya. Dengan lembut ia belai bahu sampai ke punggung pria itu, menenangkannya.

"Bisakah kau menggantikanku?" tanya Jiyong, sudah lama ia berhenti menangis, namun rasa sakitnya belum berkurang. "Aku tidak tahu harus melakukan apa," susulnya dan dengan tenang Lisa mengiyakannya, ia bersedia membantu pria itu mengurus apa yang harus diurus.

Setelah lama merenung, akhirnya Lisa berhasil membawa Jiyong keluar dari mobilnya. Ia peluk lengan pria itu, memastikan Jiyong tidak akan jatuh saat berjalan masuk ke dalam hospice. Begitu tiba, seorang perawat paruh baya menghampiri mereka. Dengan bijak ia menyampaikan berita duka itu, menepuk sembari mengusap pelan lengan Jiyong yang bersedih, kemudian memberitahu mereka dimana Rose berada sekarang.

Sekali lagi pria itu hancur ketika melihat tubuh adik tirinya yang luar biasa pucat. Tidak ada lagi kehidupan di tubuh kurus adik tirinya dan Jiyong kelihatan begitu terpukul. Bukan hanya Jiyong, bahkan ayah pria itu— ayah tiri mendiang— sama hancurnya seperti Jiyong. Kehilangan seorang yang amat penting, membuat kedua pria itu tidak dapat menahan berat tubuhnya. Keduanya merosot di dalam kamar Rose terbaring. Terduduk di lantai, bersandar pada dinding, meski air mata tidak lagi bisa keluar.

"Aku teman Jiyong oppa," kata Lisa. "Aku yang akan mengurus semuanya. Apa yang pertama harus aku lakukan sekarang?" tanyanya, kepada perawat yang menemani mereka menemui Rose.

Di malam itu juga, Lisa mencari rumah pemakaman yang bisa mereka sewa. Tentu ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya, namun untungnya ayahnya yang seorang dokter bisa membantu. Lewat koneksi ayahnya, hanya dengan beberapa panggilan Lisa bisa menyiapkan upacara pemakaman untuk adik tiri rekan kerjanya.

Seorang diri ia urus segalanya, bahkan merawat Jiyong dan ayahnya yang terlampau lemas. Tidak selesai hanya dengan menyewakan ruang di rumah pemakaman dan mengantar Jiyong juga ayahnya ke sana, ia pun menentukan menu jamuan untuk para tamu besok, sampai mencarikan foto mendiang seolah yang meninggal adalah keluarganya.

"Jennie-ya, aku butuh bantuanmu," kata Lisa lewat teleponnya. "Aku butuh setelan untuk Jiyong oppa dan ayahnya, adiknya meninggal malam ini. Bisakah kau mencarikan pakaian untukku? Kirim saja dengan kurir kalau kau tidak bisa datang, akan aku kirim alamatnya," pintanya.

Belum selesai dengan berbagai urusan, seorang petugas kembali bertanya padanya, meminta Lisa membawakan pakaian yang akan mendiang kenakan untuk pemakamannya. Pakaian terakhir mendiang. "Ya... Aku akan mengambilkannya, tunggu sebentar," angguk Lisa, mengiyakan semua tugas yang diberikan padanya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang