9

397 84 1
                                    

***

Setelah lama mengemudi, Kwon Jiyong akhirnya tiba di sebuah bukit dengan bangunan besar di atasnya. Sebagian dinding bangunan itu dibuat dari batu, membuatnya terlihat seperti sebuah kastil. Jiyong tiba ketika sore, saat matahari baru saja akan terbenam. Begitu turun dari mobil, beberapa perawat paruh baya menyapanya. Ia balas menyapa, sedikit berbasa-basi di sana kemudian berpisah dengan perawat-perawat yang akan pergi ke bangunan lain, tidak seberapa jauh dari sana.

Pria itu mengunjungi sebuah hospice sekarang. Tempat mereka yang sudah tua, sakit parah, orang-orang dengan harapan hidup yang rendah tinggal bersama. Para perawat, dokter bahkan pemuka agama bekerja di sana sebagai penolong orang-orang sakit itu. Udara yang sejuk, hampir tidak ada polusi, pemandangan yang indah menjadi tempat istirahat yang nyaman bagi mereka yang sakit parah.

Ia tersenyum, melangkah semakin jauh ke dalam hospice itu. Ia sapa semua yang berpapasan dengannya, lantas tiba di sebuah kamar rawat, di lantai tiga. "Oh? Oppa? Kenapa kau datang?" sapa seorang di dalam kamar rawat itu.

Jiyong mengangkat bahunya, lantas melangkah ke ranjang dengan seprei dan selimut merah muda kemudian berbaring di sana. "Lelahnya," keluh Jiyong, sementara tangannya terulur, memberikan tas belanja bertuliskan Celine pada gadis yang menyapanya tadi.

"Asli atau palsu?" tanya si gadis, yang memakai sebuah gaun terusan pas badan, dengan rok A-line lebar berwarna hitam. Wajahnya pucat, sangat pucat namun Jiyong sudah terbiasa melihat wajah itu hingga ia berhenti bertanya kenapa wajah itu selalu pucat. "Di telepon oppa bilang, oppa memberikan hadiahku pada orang lain? Yang lebih membutuhkan?" tanyanya sekali lagi.

Gadis itu tidak punya rambut, Jiyong mengetahuinya. Namun sore ini ia kenakan rambut palsu berwarna pirang yang entah bagaimana bisa terlihat sangat cocok untuknya. Padahal, ia tidak pernah punya rambut pirang seumur hidupnya. Rambut alaminya berwarna cokelat, dan tidak lagi tumbuh setelah dua tahun lalu mulai rontok.

"Lisa yang memberikannya," kata Jiyong, masih berbaring di ranjang, dengan mata yang sengaja ia pejamkan.

"Lisa? Siapa Lisa?"

"Sutradara acara traveling ke museum yang sering kau tonton."

"Ahh! Sutradara Jung?" tebak gadis itu dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Tapi kenapa dia memberikan ini padaku? Padamu? Kalian berkencan? Oppa sudah punya pacar baru? Padahal belum lama putus?" tanyanya, yang sekarang membuka kotak di dalam bingkisan itu, menemukan sebuah midi dress yang dikemas sangat cantik sangat mewah dalam kotak putih kokoh. "Whoa! Cantik sekali!" serunya kemudian, membuat Jiyong membuka matanya untuk melihat isi bingkisan itu. Jiyong tidak melihat isinya sampai Roseanne Park membuka sendiri kotaknya. Ia masih terlalu kesal untuk mengecek sendiri isinya.

Dalam sekejam mata, Rose— si pasien hospice yang sudah lima tahun tinggal di sana— menghilang ke kamar mandi. Ia pergi untuk mencoba baju barunya, menikmati setiap momen yang masih bisa ia nikmati. Rose menyukainya, berkali-kali ia beritahu Jiyong kalau ia suka gaun itu. "Seleranya lebih baik daripada seleramu, oppa," katanya, enggan melepaskan baju itu meski sudah belasan kali bercermin.

Bosan berada di kamar, Rose mengajak Jiyong keluar. Ia ajak Jiyong ke ruang makan di lantai satu. Di sana, dua orang teman sekamarnya tengah duduk, menikmati makan malam mereka. "Eonni, lihat baju baruku! Dibelikan teman kerja oppaku, cantik bukan?" pamer gadis itu, tersenyum lebar pada teman sekamarnya. Berputar dan mengibaskan bagian rok dari gaunnya, menunjukan betapa cantiknya gaun itu.

"Teman kerjamu? Bukan kekasihmu?" tanya seorang wanita, tidak lebih tua dari Jiyong namun masih lebih tua dari Rose.

"Bukan kekasihku," geleng Jiyong, yang melangkah santai, pergi menyeduh secangkir kopi instan, untuk dirinya sendiri.

"Sutradara Jung yang membelikannya, sutradara acara jalan-jalan ke museum, yang eonni suka itu," jelas Rose, yang datang ke sana bukan untuk makan, tapi hanya ingin pamer. "Seleranya bagus ya? Dia pasti cantik, fashionable, iya kan?" katanya namun Jiyong hanya menghela nafasnya, sesekali mengernyit ketika mendengar pujian berlebihan Rose. "Oppa, kau punya fotonya? Atau Instagram-nya? Kami ingin melihatnya, Sutradara Jung," pinta Rose, mewakili dua teman sekamarnya— Lee Hyeri dan Kang Hana.

"Kalau dia rekan kerjamu, tidak bisa kah kau mengajaknya ke sini?" kali ini Kang Hana yang berbicara, si ketua kamar, yang paling tua— begitu Rose menyebutnya.

"Tidak," tolak Jiyong. "Semua pertanyaan kalian, jawabannya tidak. Aku tidak punya fotonya, tidak tahu Instagram-nya dan tidak bisa mengajaknya ke sini," katanya, yang langsung dijejali berbagai pertanyaan oleh gadis-gadis itu.

"Tsk... Akan aku cari sendiri," cibir Rose yang selanjutnya mulai memakai handphone serta otaknya untuk menemukan Lisa dan sosial medianya. Jiyong tengah menyesap kopinya ketika Rose tiba-tiba memukul meja di depannya, mengejutkan Jiyong serta dua temannya, juga beberapa pasien lain di meja sebelah. "Ini Sutradara Jung?!" tanyanya, menunjukan sebuah foto pada Jiyong. "Wanita ini mantan kekasihmu!" serunya kemudian, yang dilanjutkan dengan cibiran berlebihan, "dia bukan kekasihku," katanya, mengikuti bagaimana cara Jiyong bicara dengan ekspresi yang lebih menyebalkan. "Dia gadis yang mengira kalau aku simpananmu, iya kan?!" desak Rose, sedang Jiyong hanya memutar bola matanya, tidak memberikan jawaban apapun.

Demi memuaskan rasa penasaran Lee Hyeri juga Kang Hana, Rose akhirnya bercerita. Gadis itu bilang kalau hampir sembilan tahun lalu ibunya menikah dengan ayah Jiyong. Ibu dan ayahnya bercerai kemudian ibunya menikahi pria lain, dan pria itu adalah ayah Jiyong. Saat itu Rose masih kuliah, ketika ia menemui Jiyong untuk meminta Jiyong membatalkan pernikahan itu. Rose tidak menyetujui pernikahan itu dan ia ingin Jiyong membatalkannya, sebab ibunya tidak akan mendengarkannya. Karena Rose, lantas pernikahan itu tertunda. Ayah Jiyong, enggan menikahi ibu Rose kalau Rose tidak menyetujuinya.

Ayah Jiyong ingin mendapatkan restu dari Rose sebelum menikahi wanita yang ia cintai. Namun saat itu Rose masih sangat kekanakan, ia tidak bisa memahami perasaan orangtuanya, perasaan ibunya. Sampai di suatu sore, Lisa melihat Rose mencium Jiyong. "Aku menyukai Jiyong oppa, aku ingin menikahinya karena itu eomma tidak boleh menikahi ayahnya!" kata Rose saat bercerita. "Aku melihat Sutradara Jung, aku juga melihatnya berlari pergi, tapi aku tidak tahu kalau dia berkencan dengan Jiyong oppa. Aku baru mengetahuinya setelah mereka putus, karenaku," ceritanya.

"Saat itu kau mengenal Sutradara Jung?" Hyeri bertanya dan Rose menggeleng.

"Aku menemuinya saat Jiyong oppa tiba-tiba pergi wamil," gelengnya. "Aku menjelaskan semuanya padanya, tapi aku tidak tahu dia percaya atau tidak karena saat itu dia bilang, dia sudah menyukai pria lain. Lalu aku mulai sibuk dan sakit, aku tidak tahu kalau oppa bertemu lagi dengannya," katanya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang