37

369 87 8
                                    

***

"Apa yang Jennie katakan tadi, tidak perlu diambil hati," kata Lisa, membuka pembicaraan sembari ia sibuk menyeduh dua gelas teh untuk mereka. Jiyong duduk di meja makan, menatap punggung lawan bicaranya. Memperhatikan Lisa yang tengah menuangkan air panas ke dalam gelas teh mereka. "Dia hanya kesal karena oppa membuatnya takut. Dia tidak jahat," susulnya.

"Apa yang dia katakan?" balas Jiyong, tidak ingat semua ocehan Jennie di trotoar tadi. .

"Tidak perlu repot-repot mengingatnya," kata Lisa, menyajikan dua gelas teh di atas meja. Ia memilih untuk duduk di sisi lain meja, berhadapan dengan Jiyong. "Tapi kenapa oppa datang? Kebetulan lewat atau memang sengaja datang?" tanyanya sekali lagi.

"Aku sudah bilang tadi," Jiyong menjawabnya sembari tertunduk. "Aku datang karena butuh bantuanmu," ucapnya.

"Sepertinya Jennie benar, aku harus menagih bayaran darimu," gumam Lisa. "Apa ini tidak berlebihan? Oppa datang hampir dua hari sekali. Atau jangan-jangan jantungmu bermasalah? Mau aku temani ke rumah sakit?" tawarnya namun Jiyong menggeleng. Mengatakan kalau ia sudah menemui seorang dokter, sejak lama. "Oppa? Kau menemui seorang dokter? Kenapa?" kaget Lisa, tidak pernah tahu tentang itu.

"Sudah lama, sudah beberapa tahun karena dipaksa perusahaan."

"Kenapa? Kenapa aku tidak diperlakukan begitu? Apa itu perlakuan spesial? Untukmu?"

"Karena aku pemarah?" pria itu menjawab dengan malas. "Apanya yang perlakuan spesial, mereka tidak membayar biaya konselingnya," cibir pria itu kemudian.

Sebentar mereka beradu tatap. Tidak lama, sebab Lisa tidak tahan diperhatikan begitu. Ia kemudian menunduk, menyesap teh buatannya sendiri. Jiyong pun melakukan hal yang sama. Ia menyesap teh yang Lisa berikan padanya, lalu mengulangi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang ia tanyakan ketika baru masuk tadi. Apa Lisa masih menemui Park Bogum?— pria itu penasaran.

"Sesekali kami bertemu," angguk Lisa, setelah tadi ia berhasil mengabaikan pertanyaan itu dengan menyeduh teh. "Apa tidak apa-apa aku bercerita padamu? Oppa sedang punya masalah sendiri," ragunya, merasa ia akan membebani Jiyong dengan ceritanya nanti. "Aku bahkan belum memberitahu Jennie," bisiknya, mendekat ke arah meja agar Jiyong bisa mendengarnya tanpa ketahuan gadis lain di lantai dua.

"Tidak apa-apa," Jiyong ikut mendekat, ikut mengurangi suaranya. "Aku tidak berencana membantu masalahmu, aku hanya penasaran," susulnya, meyakinkan Lisa kalau ceritanya nanti tidak akan membebaninya seperti yang gadis itu khawatirkan.

"Saat syuting dia meneleponku, dia mengajakku bertemu-"

"Tapi kau justru sibuk dengan pemakaman adikku dan tidak bisa menemuinya. Aku tahu sampai sana. Saat meminjam handphonemu, dia memberitahuku kalau kalian punya janji malam itu," potong Jiyong. "Lalu setelah itu?" tanyanya, berlaga seolah ia benar-benar tertarik dengan obrolan itu.

"Setelah semuanya selesai kami bertemu," jawab Lisa. "Tapi aku tidak memberitahu Jennie, dia tidak menyukai ide itu. Aku memberitahunya soal telepon yang kita dengar saat makan pizza dan dia marah," cerita Lisa masih tentang Jennie. Belum juga sampai ke bagian inti yang ingin Jiyong dengar.

"Lalu apa yang kalian bicarakan saat bertemu?"

"Dengan Jennie?"

"Oh ayolah," sebal Jiyong. "Kau akan memberitahuku atau tidak?" keluhnya dan Lisa terkekeh, ia senang melihat wajah itu. Wajah kesal karena tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Kami bertemu hanya untuk makan malam. Awalnya. Tapi aku memberitahunya kalau aku ada di restoran pizza ketika dia menelepon dan dia bilang... Hm, aku tahu kau ada di sana dengan teman priamu," cerita Lisa, membuat mata Jiyong membulat sempurna, tidak percaya dengan plot twist yang baru saja ia dengar itu.

"Dia melihatmu dan tetap mengatakan itu? Dia sengaja?" Jiyong bertanya sembari melirik ke arah tangga, memastikan tidak seorang pun mengintip mereka. "Kenapa? Kenapa dia bicara begitu padahal tahu kau ada di sana? Apa itu adegan yang biasanya ada di drama? Kenapa?" Jiyong tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Cerita itu tidak pernah muncul dalam ekspetasinya sebelumnya.

"Masih ada lainnya," kata Lisa, masih tersenyum, menikmati reaksi Jiyong pada ceritanya. "Dia tidak menelepon siapapun saat itu. Dia hanya berpura-pura menelepon. Coba pikir, tempat parkir restoran itu tidak seberapa. Dia pasti melihat mobilku ketika parkir. Dia tahu aku ada di dalam. Dia juga mungkin melihatku dari luar restoran dan memutuskan untuk melakukannya. Ia ingin memberitahuku apa yang tidak bisa dia katakan padaku. Berakting seolah sedang menelepon agar semuanya terlihat tidak sengaja, alami, kebetulan. Tapi setelah melakukannya, dia menyesal dan menemuiku untuk minta maaf. Lalu kami bertemu dan dia minta maaf. Aku memaafkannya, lalu sudah. Semuanya berjalan seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tamat," ceritanya.

"Apa kau bodoh?" tanya Jiyong kemudian. "Hanya karena dia minta maaf, kau menganggapnya selesai? Begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa? Ya! Kau tidak ingat saat kau menghabiskan lebih dari satu loyang pizza dan masih bilang hatimu terasa kosong karena ucapannya? Lalu semua usahamu untuk melupakan kata-katanya yang sangat mengganggu itu? Kau melupakan semuanya dan memaafkannya? Begitu saja?"

"Lalu? Apa yang harus aku lakukan?" balas Lisa. "Memintanya bertanggung jawab? Bagaimana? Dia harus berkencan denganku meski tidak menyukaiku? Bukankah itu lebih menyedihkan? Untukku?"

"Ah... Kalian tidak berkencan?" bingung Jiyong. "Tapi kau tidak marah diperlakukan begitu? Kau tidak membencinya?"

"Tentu saja tidak dan tentu saja marah," katanya. "Dia sangat tidak menyukaiku sampai membuat akting seperti itu, bagaimana bisa tidak marah? Tapi itu sudah lama berlalu. Maksudku, sudah hampir dua bulan lalu. Untuk sekarang, aku tidak memikirkannya lagi. Kalau pun kami bertemu, aku masih bisa menyapanya. Hanya menyapa, kalau untuk pergi berdua, berkendara semalaman, sepertinya masih sulit. Aku tidak ingin kelihatan buruk dengan memakinya. Bagaimana pun wajahnya tetap terlalu manis untuk dimaki-maki, tidak seperti seseorang," ia menunjuk wajah Jiyong, yang secara tidak langsung mengatakan kalau ia bisa dengan mudah memaki pria itu.

Perbincangan tentang Park Bogum terus berlangsung. Sampai keduanya pindah ke ruang tengah, mengobrol sembari mendengarkan suara orang lain berbincang di TV. Jiyong mampir lebih lama daripada yang Lisa kira, meski gadis itu tidak keberatan karenanya. Film tengah malam yang mereka tonton dari salah satu stasiun TV, kali ini bercerita tentang sebuah keluarga yang hancur karena perundungan. Ayah dari seorang anak yang dirundung, mulai membunuh untuk membalas dendam dan berakhir jadi seorang psikopat berdarah dingin, tipikal film thriller penuh darah pada umumnya.

Lisa tidak banyak bicara ketika menontonnya. Ia menikmati tontonan itu tanpa berkomentar. Sedang Jiyong duduk di sebelahnya, bersandar pada sofa di belakang mereka sembari melamun. Sama sekali tidak menikmati film di depannya. "Aku benci sekali film keluarga," katanya ditengah-tengah film.

"Kenapa baru bilang? Kita bisa menggantinya," kata Lisa, mencari remote TV nya untuk mengganti salurannya. "Aku juga sudah berulang-ulang menonton film ini," susulnya.

"Sudahlah," pria itu kemudian bangkit. "Aku akan pergi sekarang. Beristirahat lah."

"Sudah merasa lebih baik? Oppa boleh menginap kalau belum merasa lebih baik. Atau mau aku peluk lagi?"

"Terima kasih untuk tawarannya, mungkin lain kali. Sudah lewat tengah malam, aku-"

Lisa bangkit dan memeluk pria itu sekali lagi. Membuatnya berhenti bicara, lalu kembali menepuk-nepuk punggungnya. "Aku tahu alasan dadamu sesak karena keluargamu. Meski aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi pada keluargamu. Sampai aku punya pacar, oppa boleh datang. Aku akan memelukmu, kalau itu membantu. Tidak perlu membayar, Jennie hanya bercanda tadi," tenang gadis itu, terus memeluk dan mengusap-usap punggung pria di depannya.

***

Traffic Light Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang