***
Mobil kembali melaju setelah Jiyong merasa sedikit lebih baik. Sembari mengemudi, pria itu mengulang lagi pertanyaannya. Kenapa Lisa menghindarinya? Ia ingin tahu, apa kata-kata Jennie ternyata benar? Kalau Lisa sudah kehabisan kesabarannya dan tidak ingin melihatnya lagi? Karena ia terlalu sering ingin dipeluk dan membuat Lisa sulit untuk dekat dengan pria lain. Akhirnya, setelah merasa lebih baik, pria itu berani bertanya.
"Jennie bilang begitu?" Lisa balas bertanya setelah mendengar ocehan panjang lawan bicaranya. Setelah Jiyong selesai dengan sederet pertanyaan yang mengganggunya selama beberapa hari terakhir ini. "Jadi oppa tidak menemuiku, bukan karena kau sudah tidak perlu dipeluk tapi karena Jennie? Aku kira cuma aku yang mudah dihasut olehnya, ternyata dia juga bisa menghasutmu?" katanya.
"Kenapa kau melakukannya?"
"Apa yang aku lakukan?" Lisa menaikan alisnya. "Menghindarimu? Aku tidak melakukannya," gelengnya, sebab ia tidak pernah merasa menghindari siapapun. Ia datang ke kantor tepat waktu, ia pun pulang setelah pekerjaannya selesai. Ia makan saat waktunya makan siang, juga minum kopi saat mengantuk. Ia tidak pernah menghindari Jiyong.
"Kau pergi setiap kali aku datang."
"Kapan?"
"Saat makan siang, ketika aku datang, kau langsung berdiri pergi."
"Itu karena aku sudah selesai makan dan ada banyak orang yang mengantri untuk duduk. Oppa yang datang terlambat."
"Kau tidak datang ke ruang editor kalau aku ada di sana."
"Oppa yang menyuruhku tidak datang. Aku yang akan mengedit semuanya, kau tidak perlu ikut campur. Oppa yang bilang begitu."
"Kau juga langsung pulang ketika aku bergabung denganmu dan Sutradara Choi di depan mesin kopi."
"Aku memang berniat pulang. Aku tidak punya rencana mengobrol dengan kalian di depan mesin kopi, kalian membuat bajuku bau. Karena oppa sudah datang, karena aku sudah menyapamu, jadi aku pulang. Memang hanya itu niatku."
"Kau langsung pergi setiap kali kita selesai meeting," Jiyong belum selesai. Membuat Lisa jadi merasa lucu, heran karena ia tidak pernah tahu Jiyong akan memikirkan hal-hal kecil seperti itu.
"Lebih baik aku pergi daripada aku menggigitmu karena kesal. Oppa sangat menyebalkan saat meeting, ingat?" jawab Lisa. "Ah... Yang satu itu memang berarti aku menghindarimu. Aku akui. Tapi hanya saat meeting, selebihnya aku tidak mengakuinya."
"Hanbin bilang kau mungkin menghindariku karena terganggu setelah ayahku menemuimu."
"Aku masih bertemu dengannya minggu lalu. Aku diundang ke pengadilan, dikenalkan juga pada teman-temannya. Mereka bertanya apa aku bisa membantu mereka menyutradarai iklan layanan masyarakat."
"Kau menyutradarai iklan? Tanpa memberitahuku?"
"Aku harus memberitahumu? Sejak kapan oppa jadi managerku?"
"Augh! Memalukan," Jiyong akhirnya menggerutu, mengeluh, menyesali semua pertanyaan yang ia keluarkan. Menyesali semua kata-kata dan komentar yang terlontar dari mulutnya.
Melihatnya Lisa terkekeh. Senyumnya mengembang, mengatakan kalau Jiyong sangat manis sore ini. Gadis itu menggodanya, mengejek Jiyong yang kesal karena merasa dihindari. Ia buat Jiyong jadi semakin malu malam itu.
Meski begitu, Jiyong tetap jadi lebih ceria setelah tahu kalau Lisa tidak menghindarinya. Mereka makan malam bersama, tetap tertawa meski Lisa tidak jadi menonton musikal yang sudah lama ditunggunya. Tentu tanpa memberitahu Jiyong kalau ia menunggu-nunggu penampilan musikal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traffic Light
FanfictionAku sudah menentukan tujuanku, tetapi sesuatu menghentikanku, padahal jalanku masih panjang. Di atas jalan yang terlihat seperti piano, ada banyak benda bundar, bergerak dan berhenti mengikuti rambu, tapi mereka bukan urusanku. Jeda tiga detik di an...